Budaya Pop

#CancelNetflix Mengudara, Tapi Persoalan Lebih Rumit Dari yang Kamu Kira

Raka Ibrahim — Asumsi.co

featured image

Netflix sedang ditekan habis-habisan untuk berhenti menayangkan “Cuties”, film asal Perancis yang disutradarai oleh Maimouna Doucoure. Kalau kamu melihat cuplikan film tersebut yang beredar sekelebat di linimasa media sosial, kamu akan lekas paham kenapa banyak orang mencak-mencak.

Film tersebut berkisah tentang seorang bocah perempuan 11 tahun yang kabur dari keluarganya dan bergabung dengan kelompok penari seumuran yang berjoged dengan gaya seksi. Gara-gara premisnya yang bikin bergidik dan potongan adegan pesta dansa dari film tersebut, tagar #CancelNetflix langsung memuncaki trending topic di Twitter global. Bahkan, sebuah petisi daring di Change.org yang bertujuan menurunkan film tersebut telah ditandatangani 600 ribu orang.

Masuk akal. Film yang dibintangi kuartet anak perempuan berusia 11 tahun, kabarnya banyak berisi adegan dewasa dan nomor dansa rancak, jelas bikin gerah banyak pihak. Namun, telusuri lebih jauh, dan kontroversi ini lebih rumit dari yang kamu kira.

“Cuties” sebenarnya bukan film baru. Film tersebut telah dirilis sejak tahun lalu dan memenangkan penghargaan di Sundance Film Festival 2019, salah satu festival film independen paling mentereng di dunia. “Cuties” adalah film debut dari Doucoure, seorang sutradara perempuan asal Perancis yang keturunan imigran Senegal. Film ini ditulis berdasarkan film pendek “Maman(s)”, tentang seorang bocah imigran 8 tahun yang marah-marah setelah ayahnya membawa pulang istri kedua.

Setali tiga uang dengan “Maman(s)”, film “Cuties” lagi-lagi mengeksplorasi pertentangan batin seorang anak perempuan muda di tengah komunitas imigran Perancis. Kali ini, karakter utamanya tertekan tak hanya oleh rasisme serta kemiskinan, tetapi juga keluarganya yang kasar dan kultur Islam dan Afrika yang kental. Konteks itu tak jauh dari latar belakang kehidupan sang sutradara, yang juga tumbuh di tengah komunitas imigran Perancis.

Amy, karakter utama film ini, menemukan pelarian di sebuah kelompok tari yang beranggotakan tiga orang bocah perempuan seumurannya. Namun, keadaan berubah awur-awuran ketika mereka hendak mengikuti kompetisi dansa dan mulai mengulik gaya-gaya menari yang seronok.

Dari sinilah kontroversi bermula. Di atas kertas, penonton yang tak lihai atau hanya melihat potongan film tersebut hanya akan melihat adegan-adegan di mana para karakter utama “Cuties” disajikan dalam pose seronok. Mereka belajar twerking, mengirim foto seksi ke karakter yang jauh lebih tua, dan bersolek agar penampilannya kian menggoda. Para pahlawan film ini perlahan jatuh dalam lubang hitam eksploitasi dan pelecehan.

Semakin parah lagi, Agustus 2020 lalu Netflix merilis poster resmi untuk “Cuties” yang sekadar menunjukkan para pemeran utama dalam kostum dansa dan pose yang seronok. Kontan, Netflix dianggap mempromosikan pedofilia, dan mereka lekas-lekas mengganti poster resmi tersebut. Doucoure dan para kritikus yang sudah menonton film tersebut sejak premiere di Sundance langsung tepok jidat: gara-gara poster tolol Netflix, kebanyakan orang mengira film tersebut adalah film pro-pedofil.

Padahal, kenyataannya sebaliknya. Dalam wawancara tentang film tersebut untuk Deadline, Doucoure menyatakan bahwa film ini hendak mengkritik “dunia yang melakukan hiperseksualisasi ke anak-anak.” Sederhananya, “Cuties” justru hendak mempersoalkan kenapa anak-anak saat ini diharuskan cepat dewasa, dibombardir standar kecantikan dari media sejak dini, dan dimanfaatkan penampilannya untuk menjual produk serta citra sejak muda.

Film ini justru ingin menunjukkan bahaya dari tindakan tersebut, dengan menyajikan kisah seorang bocah yang kehilangan arah gara-gara “terpaksa” mengeksplorasi seksualitasnya sejak dini. Pesan yang subtil, rumit, dan jelas tak mungkin disampaikan oleh potongan-potongan kecil adegan “Cuties” yang viral di dunia maya tanpa memperhatikan konteks.

Kritikus film Anna Menta, yang mengulas “Cuties” secara mendalam untuk Decider, menyatakan bahwa kebanyakan netizen yang ikut-ikutan menghajar film tersebut belum menontonnya secara utuh. Bahkan, Menta menuding bahwa kritik ramai terhadap “Cuties” justru dimulai dari “pecandu teori konspirasi dan pengguna Reddit QAnon yang percaya bahwa partai Demokrat dan selebritis Hollywood adalah dalang di balik jejaring perdagangan manusia.”

Singkatnya, rumor bahwa “Cuties” adalah film pedofil justru dimulai oleh orang-orang keblinger. Diskusi setengah-setengah di media sosial serta kepanikan netizen akibat poster buruk Netflix kian memperkeruh suasana. Bahkan CEO Netflix, Ted Saranados, sudah menghubungi Doucoure secara langsung untuk meminta maaf atas blunder mereka.

Kini, “Cuties” dan Netflix disambut dengan banjir kritik dan cacian. Doucoure menutup semua akun media sosialnya dan menerima ancaman pembunuhan. Netflix bersikeras film tersebut berbicara tentang bagaimana masyarakat menseksualisasi anak kecil, dan mati-matian membela “Cuties”. Namun, kesimpulan paling menghantam datang dari kritikus Anna Menta.

“Film ini tidak nyaman ditonton, dan memang maksudnya begitu,” tulisnya. “Perempuan yang terlalu muda untuk memahami apa itu seks didorong untuk menampilkan dirinya secara seksi, karena mereka diajarkan bahwa seksualitas adalah cara agar perempuan mendapat perhatian dan kekuasaan. Dan apakah mereka salah? Tontonan saja apa yang ada di TikTok, Instagram, dan YouTube.”

Share: #CancelNetflix Mengudara, Tapi Persoalan Lebih Rumit Dari yang Kamu Kira