Isu Terkini

Bung Karno, GANEFO, dan Perjuangan Melawan Imperialisme di Dunia

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Presiden Pertama RI Soekarno pernah menggetarkan dunia lewat bidang olahraga saat mengambil posisi sebagai pemimpin dunia yang berani mengambil keputusan berseberangan. Pada tahun 1963, Soekarno menjadi pelopor pembentukan Ganefo sebagai ajang olahraga tandingan dari Olimpiade. Langkah itu diambil sebagai bentuk menjaga martabat bangsa.

Ganefo (Games of New Emerging Forces) punya sejarah panjang. Pada masanya, kehadiran Ganefo yang merupakan pesta olahraga negara-negara berkembang itu seolah menegaskan bahwa politik tidak bisa dipisahkan dengan olahraga. Hal ini tentu sebagai bentuk aksi menentang doktrin Komite Olimpiade Internasional (KOI) yang berusaha memisahkan antara politik dan olahraga.

Perlu diketahui bahwa keputusan Bung Karno dan Indonesia mendirikan GANEFO muncul setelah adanya kecaman KOI yang bermuatan politis pada Asian Games 1962, karena kala itu Indonesia tidak mengundang Israel dan Taiwan dengan alasan simpati terhadap Tiongkok dan negara-negara Arab. Lantas aksi ini diprotes KOI karena Israel dan Taiwan merupakan anggota resmi KOI.

Sampai akhirnya KOI menangguhkan keanggotaan Indonesia, dan Indonesia diskors untuk mengikuti Olimpiade Musim Panas 1964 di Tokyo. Ini pertama kalinya KOI menangguhkan keanggotaan suatu negara.

Ganefo dengan jargon Onward! No Retreat (Maju Terus! Pantang Mundur), berlangsung pada tanggal 10 sampai 22 November 1963. Kejuaraan olahraga ala negara-negara anti imperialis ini diikuti sekitar 2.700 atlet dari 51 negara di Asia, Afrika, Eropa (Timur), dan Amerika Latin.

Sisi Historis dan Politik dari Cikal Bakal Ganefo

Pada tahun 1961, Bung Karno memunculkan gagasan penting dalam memandang dunia yakni tentang Nefo dan Oldefo. Nefo (The new emerging Forces) mewakili kekuatan baru yang sedang tumbuh yakni negara-negara Asia, Afrika, Amerika Latin. Negara-negara ini sedang berusaha bebas dari neo-kolonialisme dan imperialisme serta berusaha membangun tatanan dunia baru tanpa exploitation l’homme par I’homme.

Sementara Oldefo (The Old Esthablished Forces) mewakili negeri-negeri imperialis dan kekuatan lama yang semakin dekaden. Nefo inilah yang jadi cikal bakal perjuangan Bung Karno di kancah dunia lewat olahraga dan politik.

Lalu, setelah era perjuangan fisik untuk pembebasan nasional selesai, Bung Karno menancapkan keyakinan bahwa selain olahraga sebagai alat pembentuk jasmani, olahraga juga sebagai alat pembangun mental dan rohani yang efektif. Oleh karena itu, olahraga dapat dijadikan salah satu alat untuk membangun bangsa dan karakternya (nation and character building).
Maka dari itu, selain dimaterialkan dalam bentuk kurikulum di sekolah-sekolah dan menggencarkan kegiatan olahraga di kalangan rakyat, Bung Karno juga berusaha menjadikan ajang kejuaraan olahraga untuk menunjukkan nama bangsa Indonesia di dunia internasional.

“Buat apa toh sebetulnya kita ikut-ikutan Asian Games? Kita harus mengangkat kita punya nama. Nama kita yang tiga setengah abad tenggelam dalam kegelapan,” kata Bung Karno.

Soekarno pernah memiliki mimpi besar untuk mengangkat harkat dan martabat Indonesia sebagai sebuah bangsa di pentas dunia. Lewat dunia olahraga, Bung Karno menggagas sebuah ide brilian dengan menjadi tuan rumah pesta akbar olahraga se-Asia atau lebih dikenal Asian Games.

Akhirnya, setelah berhasil mengalahkan Pakistan dalam pemungutan suara, Indonesia berhasil menjadi tuan rumah penyelenggaraan Asian Games ke-IV. Dan sebagai tuan rumah Asian Games ke-IV, Bung Karno berupaya melobi Soviet untuk memperoleh bantuan dalam pembangunan sejumlah proyek olahraga.

Meski Soviet sendiri sebenarnya kurang nyaman dengan kedekatan politik antara Indonesia dengan Tiongkok, namun Soviet sendiri akhirnya tetap bersedia memberi bantuan sebesar 10,5 juta dollar AS. Menurut Maulwi Saelan, salah satu ajudan Presiden Bung Karno pada saat itu, pinjaman Soviet itu akan dibayar oleh pihak Indonesia dengan karet alam dalam tempo dua tahun.

Bung Karno dan Indonesia Membangun Kompleks Olahraga Megah

Perjuangan dan usaha Bung Karno terbukti ampuh dan tak sia-sia. Indonesia berhasil membangun kompleks olahraga terbesar di Asia Tenggara kala itu. Kompleks olahraga itu punya stadion utama yang memiliki kapasitas 100.000 penonton (sebelum diciutkan menjadi 80.000 pada tahun 2007), dan menggunakan arsitektur temu gelang.

Beberapa bangunan seperti Istana Olahraga (Istora) selesai dibangun pada 21 Mei 1961, lalu Stadion Renang, Stadion Madya, dan dan Stadion Tenis (Desember 1961), Gedung Basket (Juni 1962), serta Stadion Utama (21 Juli 1962). Kompleks stadion olahraga ini dibangun selama 2,5 tahun, sepanjang siang dan malam, oleh 14 insinyur Indonesia dan 12.000 pekerja sipil dan militer yang bekerja secara bergantian dalam 3 shift.

Tak hanya itu saja, selain berhasil membangun kompleks olahraga, Indonesia juga berhasil membangun Hotel Indonesia (HI), memperluas ruas jalan Thamrin, Jalan jenderal Sudirman, jalan Grogol (sekarang: Jalan S. Parman), dan pembangunan jembatan Semanggi yang didesain oleh Ir. Sutami.

Di ajang Asian Games itu, Indonesia berhasil menunjukkan prestasi yang membanggakan, yakni menempati urutan kedua perolehan medali setelah Jepang. Sarengat, pelari terbaik Indonesia saat itu, berhasil menjadi pelari tercepat dan memecahkan rekor Asia.

Namun, perjalanan Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games untuk pertama kalinya bukan tanpa hambatan. Kemegahan arena olahraga Istora Senayan saat menggelar Asian Games IV pada 1962, sedikit tercoreng. Penolakan Indonesia untuk mengundang Israel dan Taiwan ke Asian Games ternyata berbuntut panjang.

Kemudian, paham politik yang dianut Indonesia kala itu yakni Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme), ikut berpengaruh besar dalam kebijakan politik luar negeri termasuk dalam penyelenggaraan Asian Games ini. Terhadap Israel, Indonesia menolak kolonialisme di tanah Palestina, sedangkan Taiwan, Bung Karno memiliki hubungan dekat dengan China yang berhaluan komunis. Maka dari itu, Bung Karno menolak mengundang kedua negara itu.

Akibatnya, setelah Israel dan Taiwan ditolak keikutsertaannya dalam Asian Games 1962. Komite Olimpiade Internasional (IOC) mengambil langkah tegas karena dalam hal ini IOC menegaskan bahwa olahraga harus dipisahkan dari politik.

Indonesia pun dihukum. Akhirnya IOC menangguhkan keanggotaan Indonesia, dan Indonesia diskors untuk mengikuti Olimpiade 1964 di Tokyo. Menanggapi keputusan sepihak IOC tersebut, Bung Karno menegaskan bahwa Indonesia menyatakan keluar dari IOC. Indonesia menganggap organisasi tersebut sebagai perpanjangan tangan dari kepentingan neo-kolonialisme dan imperialisme.

Bung Karno Melawan Imperialisme Lewat Olahraga

Bung Karno pun menegaskan pentingnya menciptakan asosiasi olahraga yang dibasiskan kepada Nefo. Untuk itu, melalui menteri Olahraga saat itu, Maladi, sebanyak 12 negara diundang untuk menghadiri konferensi persiapan pelaksanaan Ganefo di Jakarta, pada 27 April 1963, di antaranya Tiongkok (RRT), Uni Soviet (USSR), Pakistan, Kamboja, Irak, Vietnam Utara, dan Mali.

Pernyataan dari IOC bahwa “Sports are sports! Do not mix sports with politics” dibalas oleh Indonesia lewat Menteri Olahraga saat itu Maladi. “Sport tidak dapat dipisahkan dengan politik, yang secara terus terang dan terbuka dinyatakan oleh Indonesia kepada dunia,” kata Maladi, Menteri Olahraga era Presiden Soekarno.

Apa yang disampaikan oleh Maladi tersebut kembali disampaikan saat konferensi persiapan GANEFO di Jakarta tersebut. Sikap IOC yang memisahkan politik dari olahraga menjadi bumerang ketika sejarah mencatat keputusan politk di Olimpiade dan African Games.

Maladi menyampaikan “Bukankah itu politik jika Belgia menolak ikut sertanya Jerman dan Austria dalam Olimpiade 1920 Antwerpen? Bukankah itu politik jika pemerintah kolonial di Afrika melarang atlet nasional dari negara-negara jajahan Afrika untuk ikut serta dalam African Games 1929 di Aleksandria?”

Maka dari itu, standar ganda yang dipakai oleh IOC yang digunakan untuk mencekal keikutsertaan Indonesia di Olimpiade tersebut membuat Presiden Soekarno geram.

Di dalam forum itu, Indonesia telah menggarisbawahi arti penting melawan olimpiade internasional yang sejatinya adalah alat imperialisme. “Mereka mengatakan bahwa olahraga harus terpisah dari politik. Tapi, pada kenyataannya, mereka hanya beranggotakan negara non-komunis, yaitu negara-negara yang tidak mau melawan neo-kolonialisme dan imperialisme.”

“Indonesia mengajukan secara jujur, bahwa olahraga adalah sesuatu yang selalu berhubungan dengan politik. Indonesia mengajukan usulan untuk menggabungkan olahraga dan politik, dan melaksanakan sekarang Games of New Emerging Forces (Ganefo), melawan Oldefo,” demikian disampaikan delegasi Indonesia.

Demikianlah, setelah melalui persiapan dan perjuangan berat, Ganefo berhasil dilaksanakan di Jakarta. Prestasi Indonesia pun cukup membanggakan di ajang Ganefo ini, yakni menempati urutan ketiga, setelah RRT dan USSR, dengan perolehan 21 emas, 25 perak, dan 35 perunggu.

Namun, berbeda dengan Olimpiade internasional yang didasarkan pada kompetisi murni untuk mencari juara, Ganefo justru dibasiskan pada olahraga untuk memperkuat persaudaraan dan solidaritas. Sebelum Ganefo dibuka, Bung Karno mengundang kontingen Indonesia ke Istana Negara.

Di sanalah kemudian Bung Karno menegaskan bahwa tugas atlet Indonesia bukan hanya menunjukkan kemampuan mereka di bidang olahraga, tetapi juga membina persahabatan dengan atlet/peserta dari negara lain juga.

Sayang, lengsernya Soekarno dari kursi Presiden Republik Indonesia pada 1967, dan digantikan oleh Soeharto, membuat Indonesia kembali bergabung dengan Komite Olimpiade Internasional (IOC). Kepemimpinan Soeharto jelas mengubah peta politik luar negeri sehingga Indonesia kembali ikut Olimpiade, tepatnya pada 1968 di Mexico City, Meksiko.

Genefo kedua yang dijadwalkan berlangsung di Mesir pada tahun 1967 pun gagal digelar. Lalu, Ganefo ketiga yang rencananya akan digelar di Beijing, China, pada 1970 juga batal digelar setelah pemerintah Negeri Bambu enggan menjadi tuan rumah, dan diberikan kepada Pyongyang, Korea Utara. Namun GANEFO ketiga tak pernah digelar.

Meski begitu, keberhasilan Indonesia melaksanakan Ganefo, sebagai tandingan Olimpiade, pada tahun 1963 merupakan prestasi besar dan mengagungkan. Bung Karno juga membuktikan aksi heroiknya untuk mengawal keberlangsungan ajang olahraga negara-negara berkembang.

Share: Bung Karno, GANEFO, dan Perjuangan Melawan Imperialisme di Dunia