Isu Terkini

(Bukan) Sepak Bolanya, Pak

Dex Glenniza — Asumsi.co

featured image

“Sepak bolanya, Pak.”

Kalimat pendek itu adalah pesan pamungkas yang keluar dari mulut Presiden Joko Widodo setelah beliau memperkenalkan Zainudin Amali di Istana Merdeka, Jakarta, pada Rabu (23/10) pagi. Politikus Golkar tersebut masuk menjadi bagian Kabinet Indonesia Maju sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Republik Indonesia yang baru.

Jokowi memang tak menjelaskan secara detail soal “sepak bola” itu. Namun mayoritas masyarakat Indonesia bisa menangkap pesannya; agar Menpora bisa fokus ke sepak bola dalam lima tahun ke depan. Kebetulannya, Indonesia baru saja terpilih menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 2021 pada Kamis (24/10).

Dalam perspektif politik, fokus ke sepak bola bisa menjadi kunci sukses pencitraan. Tak heran sepak bola hampir selalu dipakai menjadi alat politik bagi siapa saja yang ingin berjaya, dari mulai pemilihan kepala desa, wali kota, sampai gubernur, termasuk juga Kemenpora.

Pertanyaan-pertanyaan kemudian bermunculan. Memangnya ada apa, sih, dengan sepak bola? Kenapa sepak bola bisa sangat populer di Indonesia? Apakah karena prestasinya? Atau ini hanya efek dari media saja? Apa pentingnya sepak bola untuk Indonesia? Wew.

Sepak Bola Populer Ditonton, Bukan Dimainkan

Pertanyaan-pertanyaan di atas sejujurnya bukan untuk dijawab, melainkan direnungkan. Tanpa terpilih menjadi tuan rumah Piala Dunia U20 pun sepak bola telah menjadi buah bibir di Indonesia. Menurut penelitian Nielsen Sport, sepak bola adalah olahraga terpopuler di negara kita.

Dari seluruh populasi penduduk Indonesia, 77%-nya tertarik dengan sepak bola. Angka ini menjadikan Indonesia sebagai negara “gila bola” peringkat kedua di bawah Nigeria (83%). Namun sayangnya, Indonesia hanya gemar menonton sepak bola, bukan memainkannya.

Masih menurut survei yang sama, tercatat hanya 17% penduduk Indonesia yang aktif bermain sepak bola setidaknya satu pekan sekali. Itu menjadikan Indonesia ada pada urutan ke-22 dari 34 negara yang disurvei. Di Asia Tenggara, Indonesia masih kalah jauh dari Thailand (41%).

Ada alasan kenapa sepak bola mudah populer di berbagai negara. Olahraga ini relatif mudah dimainkan, sehingga sampai saat ini sepak bola masih dianggap sebagai “bahasa universal” dunia.

Selain hal teknis di atas, ada dua hal yang bisa membuat sebuah olahraga—termasuk sepak bola—menjadi populer di sebuah negara menurut ilmu pemasaran. Dua hal tersebut adalah prestasi dan penyiaran (media).

Soal prestasi, ini juga bisa dinilai dengan banyak cara: perolehan medali di Olimpiade, juara acara besar olahraga (Piala Dunia, Piala Thomas, Piala Uber, dll), menjadi tuan rumah acara olahraga besar (Piala Dunia U20 adalah salah satunya), serta tingkat “prestasi” terendah yaitu angka partisipasi yang aktif.

Prestasi ini pula yang kemudian akan mengerucut kepada pengakuan dunia. Dengan menjadi tuan rumah Piala Dunia U20 pada 20 Mei sampai 11 Juni 2021 misalnya, akan membuat negara kita menjadi sorotan internasional, meski itu hanya turnamen untuk tim nasional tingkat usia di bawah 20 tahun.

Singkat cerita, sepak bola bisa populer di Indonesia tentu bukan karena prestasinya. Sepak bola bisa populer lebih karena efek penyiaran dan media.

Kita bisa menikmati liga-liga sepak bola dunia (terutama Eropa) yang sudah menjadi keseharian. Konsumsi terhadap televisi kabel atau satelit yang harganya tinggi sangat mencerminkan keadaan tersebut.

Pada akhirnya ini membuat sepak bola akan terus populer di Indonesia. Namun popularitasnya tidak sejalan dengan prestasi karena masyarakat Indonesia hanya “juara” dalam hal menonton sepak bola, bukan bermain sepak bola.

Cara-cara Politisi Memanfaatkan Popularitas Sepak Bola

Ada beberapa cara agar popularitas sepak bola bisa berkontribusi kepada prestasi bangsa. Dalam perspektif Kemenpora, pesan Jokowi kepada Zainudin bisa langsung tercermin pada kebijakan yang nantinya akan diambil.

Ada banyak standar dalam penetapan kebijakan olahraga karena ada banyak kepentingan pula yang terlibat, dari mulai bisnis, masyarakat, sampai negara. Karena sepak bola adalah olahraga terpopuler, maka sepak bola akan banyak menyedot minat masyarakat yang pada akhirnya membuat olahraga ini menguntungkan (profitable sport).

Sebagai contoh, andaikan Indonesia diberi uang yang sangat banyak untuk mengembangkan olahraga, apa yang akan dilakukan oleh pemerintah? Pemerintah—dalam hal ini melalui Kemenpora—bisa fokus kepada sepak bola yang sudah populer, biasanya dengan membuat turnamen.

Pada era Kemenpora 2014-2019 bersama Imam Nahrawi misalnya, sepak bola dipakai sebagai alat pencitraan melalui Liga Santri Nusantara. Kalau boleh jujur, tidak ada dampak nyata (melalui prestasi) dari penyelenggaraan Liga Santri ini selain sepak bola yang dijadikan “kendaraan” untuk “jualan” Kemenpora.

Sementara itu, Tim Nasional Indonesia yang berhasil menjadi juara Piala AFF U16 2018 dan Piala AFF U22 2019 juga tak bisa diklaim merupakan prestasi Kemenpora. Itu lantaran urusan prestasi timnas (segala tingkat usia) adalah tugas PSSI sebagai federasi, bukan Kemenpora sebagai pengambil kebijakan.

Jika bukan dari hal-hal di atas, Kemenpora bisa memaksimalkan sepak bola dalam kebijakan mereka dengan pengadaan lapangan (program Satu Lapangan Satu Desa) dan pelatih (program 100 Ribu Pelatih).

Melihat kembali data survei Nielsen Sport, pengadaan lapangan dan pelatih seharusnya bisa meningkatkan tingkat keaktifan masyarakat Indonesia dalam bermain sepak bola, bukan hanya menonton sepak bola. Kedua program tersebut sebenarnya masuk ke rencana Kemenpora terdahulu, namun entah bagaimana kabar pelaksanaan dan keberlanjutannya.

Tidak seperti penyelenggaraan turnamen, program pengadaan lapangan dan pelatih di atas tak akan berdampak dalam jangka pendek. Efeknya mungkin baru akan terlihat paling cepat 50-100 tahun ke depan; setelah Indonesia berganti generasi.

Mental beberapa orang yang ingin cepat sukses dengan instan, secara alamiah membuat proyek jangka panjang seperti itu sulit terlaksana secara berkelanjutan.

Ada yang Lebih Penting daripada Sepak Bola

Dilihat dari sejarah prestasi, kebiasaan, sampai faktor genetika (alami), Indonesia tak pernah mendapatkan pengakuan dunia dari sepak bola, kecuali dengan kontroversi (negara yang disanksi FIFA atau negara yang terkenal mafia sepak bolanya).

Akan berbeda jika pemerintah fokus kepada cabang olahraga yang lebih memiliki peluang untuk menghasilkan prestasi seperti bulu tangkis, angkat besi, panahan, panjat tebing (sport climbing), sampai pencak silat. Atau, pemerintah juga bisa fokus kepada olahraga masyarakat (rekreasi) alih-alih olahraga tingkat elite.

Jika hal di atas yang pemerintah lakukan, kebijakan mereka memang tidak akan populer, bahkan mungkin akan sedikit sulit untuk sampai kepada seluruh masyarakat. Namun secara strategis dan prestasi, langkah tersebut mungkin menjadi langkah yang paling jitu.

Zainudin Amali perlu menyebarkan fokus bukan hanya ke sepak bola karena Indonesia akan mengikuti ajang olahraga multi-cabang pada SEA Games 2019 (Manila, Filipina), Olimpiade 2020 (Tokyo, Jepang) dan Asian Games 2022 (Hangzhou, Tiongkok) pada masa kepemimpinannya sebagai Menpora. Kesiapan para atlet akan sangat berpengaruh pada tiga ajang di atas.

Sementara itu, kesiapan lokasi atau venue pada Pekan Olahraga Nasional 2020 (Papua) juga menjadi agenda olahraga lainnya. Untuk memastikan agenda-agenda tersebut berjalan mulus, Kemenpora harus bisa memperbaiki komunikasi dengan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) dan Komite Olahraga Indonesia (KOI).

Selain empat ajang olahraga tersebut, Indonesia juga akan menjadi tuan rumah Piala Dunia Sepak Bola U20 2021, MotoGP 2021 (Lombok), dan Piala Dunia Bola Basket 2023 (bersama Filipina dan Jepang). Sebagai tambahan, untuk jangka panjangnya Kemenpora memiliki tugas berat dalam menyiapkan bidding menjadi tuan rumah Olimpiade 2032.

Sepak bola memang selalu menjadi buah bibir bagi masyarakat kita. Namun melihat Indonesia yang sedang mempersiapkan diri mengikuti tiga ajang olahraga multi-cabang, menjadi tuan rumah di tiga cabang olahraga lainnya, serta menyiapkan bidding tuan rumah Olimpiade 2032, ada baiknya kita tidak terlalu berlarut-larut fokus kepada sepak bola yang sebenarnya sangat kecil kemungkinannya (bahkan hampir mustahil) untuk menghasilkan prestasi dan world recognition bagi Indonesia.

Sejujurnya yang dibutuhkan dalam setiap kebijakan olahraga bukanlah keuntungan materi atau ketepatan pencitraan (dengan fokus kepada sepak bola yang lebih populer), melainkan peningkatan di tingkat akar rumput (grassroots atau pembinaan) dan juga partisipasi masyarakat sebanyak-banyaknya.

Satu hal penting yang perlu sama-sama kita tanam adalah bahwa ada hubungan yang saling menguntungkan antara kesehatan masyarakat, menciptakan atlet elite, prestasi atlet nasional, dan kebanggaan negara.

Semua hal di atas harus dimulai dari level terbawah, yaitu level partisipasi yang banyak melibatkan masyarakat. Semua itu juga baru bisa dinilai sukses atau tidaknya dalam jangka panjang, bukan pada lini masa yang pendek dan instan. Di situ Kemenpora justru bisa banyak berperan.

Pada garis start Kabinet Indonesia Maju ini, saya jadi berpikir, jangan-jangan maksud Jokowi adalah:

“Bukan sepakbolanya, Pak.”

Share: (Bukan) Sepak Bolanya, Pak