Covid-19

Edward Suhadi, Main Congklak Sebagai Analogi Penyebaran Virus

Ilham — Asumsi.co

featured image
unsplash

Situasi pandemi Covid-19 di Indonesia semakin memprihatinkan. Hal ini terlihat dari penambahan kasus harian, angka kematian dan kasus aktif yang meningkat signifikan. Berdasarkan data yang dihimpun hingga Rabu (7/7/2021) pukul 12.00 WIB, ada penambahan 34.379 kasus baru Covid-19 dalam 24 jam terakhir.

Angka ini merupakan penambahan kasus harian tertinggi sejak awal pandemi terjadi di Tanah Air. Penambahan tersebut menyebabkan total kasus Covid-19 di Indonesia saat ini mencapai 2.379.397 orang, terhitung sejak kasus pertama diumumkan Presiden Joko Widodo pada 2 Maret 2020. Informasi ini disampaikan Satgas Penanganan Covid-19 kepada wartawan pada Rabu sore.

Selama 6-7 Juli 2021, tercatat sebanyak 1.040 orang positif Covid-19 yang tutup usia. Dengan begitu, total pasien meninggal mencapai 62.908 orang sejak pengumuman kasus perdana pada 2 Maret 2020 hingga Rabu hari ini.

Saking khawatirnya publik atas ledakan kasus saat ini, videografer dan pencerita kawakan Edward Suhadi sengaja membuat video menggunakan mainan congklak atau dakon sebagai analogi terjadinya lonjakan Covid-19.

Kebiasaan berkumpul dan bersilaturrahmi tidak bisa ditinggalkan sampai terjadinya lonjakan pandemi sebelum PPKM darurat. Dalam video itu, ia menggambarkan perilaku senang berkumpul menjadi kendaraan penularan yang luar biasa.

Baca Juga: Luhut Bantah Covid-19 Tak Terkendali: Satu Persatu Masalah Kita Selesaikan dengan Baik

Ia menandai salah satu biji congklak dengan saus sambal sebagai penggambaran bahwa itu merupakan orang yang terkena covid-19.

“Jika kalau ada seseorang terinfeksi virus COVID-19 dan masuk ke dalam lingkaran. Kemungkinan besar orang-orang yang berada di lingkaran tadi akan ada yang terinfeksi. Apalagi dengan varian delta baru yang menular,” tulisnya dalam video berdurasi dua menit itu.

Ia pun mengambil semua biji congklak yang ada dalam lubang yang sudah terisi dan memindahkan satu persatu biji ke dalam lubang-lubang yang lain.

“Maka setiap orang yang terinfeksi ini akan bertemu lingkaran-lingkaran mereka yang lain. Setiap orang yang terinfeksi akan bertemu lingkaran yang lain. Yang akhirnya menularkan ke orang-orang itu,” pesannya dalam video sudah tersebar luas itu.

Dalam pesan video tersebut, ia menulis setiap orang yang ada di dalam lingkaran lain akan menularkan dengan sendirinya.

Inilah kata dia, yang disebut pertumbuhan eksponensial (pertambahan jumlah semakin meningkat sesuai populasi covid-19 yang semakin membesar).

Menurutnya hal tersebut yang saat ini kasus yang terjadi di Indonesia.

Ia menyebut, banyak yang terkecoh bahwa jika ada satu yang terinfeksi hanya dia terinfeksi, padahal tidak. Jika orang yang terinfeksi tidak isolasi maka dia akan menyebarkan virus itu ke populasi lain.

“Kita nggak pernah tahu siapa yang menularkan. Jadi mudah-mudahan kasusnya bisa direm dari pemahaman video saya,” katanya.

Kata Epidemiolog

Senada dengan Edward Suhadi yang punya atensi besar untuk memperingatkan masyarakat agar taat protokol kesehatan, dosen epidemiologi Universitas Indonesia, Tri Yunis Niko mengatakan lonjakan kasus COVID-19 yang terjadi saat ini terjadi karena budaya masyarakat Indonesia yang suka berkumpul. Terlebih kebiasaan tersebut belum bisa dihilangkan saat varian dan mutasi COVID-19 terus bermunculan di Indonesia.

“Jadi penularannya luar biasa, sehingga sekarang ini menjadi menumpuk. Jadi tidak hanya budaya kumpul saja,” katanya saat dihubungi Asumsi.co.

Baca Juga: Luhut Pandjaitan: 90% Penularan di Jakarta Itu Sudah Varian Delta

Tri mengusulkan agar pemerintah melakukan lockdown sejak tiga minggu yang lalu, sehingga terjadi pembatasan sosial, tidak ada kerumunan. Meski ini sementara. Menurutnya yang harus segera dilakukan pemerintah adalah membuat undang-undang dilarang berkerumun dan memakai masker harus dilakukan, kalau tidak bakal panjang.

“Saya nggak yakin dengan PPKM Darurat, COVID-19 di Indonesia akan turun dengan sempurna. Nggak ada, kalau lockdown sebulan baru turun, berbeda dengan PPKM. Paling, satu setengah bulan baru turun,” katanya.

Hal senada yang disampaikan oleh epidemiolog Bigwanto bahwa peningkatan kasus, tidak hanya budaya kerumun, tapi kemungkinan besar didominasi oleh varian Delta yang memang lebih mudah menular.

“Ditambah imbas dari masih banyaknya pelanggaran selama larangan mudik lebaran dan lambatnya pemerintah mengambil keputusan pengetatan atau PPKM darurat,” katanya saat dihubungi Asumsi.co, Kamis (8/7/2021).

Share: Edward Suhadi, Main Congklak Sebagai Analogi Penyebaran Virus