Untuk pertama kalinya dalam sejarah musik, sebuah grup pop asal Korea Selatan berhasil meraih nominasi dalam Grammy Award, salah satu perhelatan musik terbesar di dunia yang sebelumnya memiliki reputasi yang prestisius.
Bagi banyak orang keturunan Asia, nominasi Bangtan Sonyeondan atau BTS menjadi langkah yang krusial dalam perjuangan pelaku seni di Hollywood dalam mencapai Asian visibility, atau representasi orang Asia yang sepantasnya. Sayangnya, kali ini BTS belum berhasil membawa pulang piala kategori Best Pop Duo/Group Performance, walaupun tidak bisa dipungkiri bahwa penampilan BTS merupakan yang paling ditunggu pada malam itu (14/3/2021).
Sebagai sebuah grup musik, BTS sendiri adalah sebuah fenomena yang kerap disandingkan dengan The Beatles pada masanya. Hal ini diakui sendiri oleh Sir Paul McCartney, salah satu frontman, basis, dan vokalis dari The Beatles, di dalam sebuah wawancara podcast. McCartney menyebut bahwa apa yang dialami oleh BTS sekarang serupa dengan yang dirasakan The Beatles dulu. BTS sendiri merasa sama sekali belum sebanding dengan grup legendaris tersebut.
Menurut sebuah studi dari Korea Foundation, sebuah LSM yang memiliki afiliasi dengan pemerintah Korea Selatan, ada peningkatan 22% pada penggemar Hallyu secara global yang dapat diatribusikan pada fenomena BTS. Ini hanya sedikit gambaran dari “BTS effect” pada dunia.
Alasan di balik kekecewaan ARMY
Kekecewaan dari para ARMY–panggilan fans dari BTS–yang membanjiri internet bukan tanpa alasan. Ternyata, terlepas dari besarnya fenomena BTS, kekecewaan ARMY juga melahirkan miskonsepsi pada orang yang awam terhadap kultur pop.
Kritik dan amarah dari para ARMY tidak berakar pada ketidakmampuan fandom menerima kekalahan. Jauh sebelum acara Grammy digelar, perbincangan seputar nepotisme dan rasisme yang mengakar pada institusi Recording Academy yang menganugerahi penghargaan ini sudah menjadi rahasia umum. Setidaknya, ada dua alasan utama penyebab kemarahan ARMY dalam peristiwa ini.
Pertama, kita perlu memahami latar belakang sosio-politis yang mendasari permasalahan ini. Sewaktu nominasi Grammy Award ke-63 diumumkan, penyanyi The Weeknd memberi pernyataan bahwa ia tidak lagi bersedia karyanya dikirimkan kepada Recording Academy. The Weeknd tidak mendapat nominasi terlepas dari albumnya dan singlenya yang berjudul “Blinding Lights” mencetak sejarah sebagai lagu pertama yang berhasil duduk di daftar Top 10 dari Billboard Hot 100 selama satu tahun penuh.
Dalam kejadian yang terpisah, penyanyi Zayn Malik mengecam Grammys melalui akun Twitter-nya dan membuka kartu akan adanya favoritisme, rasisme, politik, dan komite rahasia dalam penjurian Grammy yang kerap menerima hadiah untuk mempengaruhi keputusan mereka. Tentunya mengurai masalah institusional yang mengakar pada Grammys selama bertahun-tahun bisa menjadi studi kasus tersendiri.
Di tahun 2017, kritikus musik Ann Powers pernah menulis untuk NPR mengenai rasisme yang sistemik dalam institusi yang menaungi Grammy.
Di tahun 2018, band Avenged Sevenfold memboikot Grammy di saat mereka mendapat nominasi Best Rock Song Untuk memprotes favoritisme; bagaimana musik rock diperlakukan oleh Recording Academy.
Seperti The Weeknd, BTS juga memecahkan banyak rekor dengan single “Dynamite.” Jika dibandingkan dengan kolaborasi Ariana Grande dan Lady Gaga dalam “Rain On Me” yang hanya bertahan seminggu di nomor satu dalam Billboard Hot 100, “Dynamite” berhasil bertahan selama tiga minggu di nomor satu. 27 minggu kemudian, single “Dynamite” juga masih bertahan dalam chart tersebut. Sementara itu, “Rain On Me” sudah turun dari tangga lagu tersebut. Ini terlepas dari berbagai rekor yang berhasil dipecahkan oleh Dynamite dalam berbagai chart negara lain.
Menurut data Nielsen, di tahun sebelumnya penonton Grammy berkurang sebanyak 1 juta. Angka ini merupakan angka terendah dalam 10 tahun, dan karena banyaknya kontroversi yang mengelilingi Grammy, sudah ada spekulasi dari jauh hari bahwa angka penonton di 2021 tidak akan lebih baik. Sebaliknya, di tahun 2020, konser daring Map of the Soul ON:E yang berbayar berhasil menarik 993.000 penonton dan memecahkan rekor dunia.
Penyebab kedua, tayangan penampilan BTS yang ternyata ditaruh di penghujung acara membuat para ARMY berspekulasi bahwa Grammy hanya menggunakan BTS untuk menaikkan rating. Diketahui ARMY pasti setia menunggu penampilannya. Padahal, dari daftar penampilan hari H yang diedarkan, nama BTS ditulis seakan bakal tampil di tengah rangkaian acara.
Sebelumnya, ARMY diduga menjadi fandom yang paling berkontribusi pada acara Musicares, sebuah konser amal yang diadakan oleh Grammy Foundation tepat sehari sebelum acara puncak Grammy Awards.
Atas dasar angka-angka dan faktor di atas, tentu bukan berlebihan jika banyak yang merasakan emosi atas kejanggalan keputusan juri, serta perlakuan yang diduga mengakar pada isu-isu sosiopolitik seperti yang sebelumnya diutarakan oleh Zayn Malik dan banyak artis lainnya. Di tahun 1991, penyanyi Sinead O’Connor bahkan menyebut,
“Grammy lebih menghargai sukses komersil dibanding keunggulan artistik”.
Fenomena fanatisme: bukan hanya K-Pop
Walaupun di satu sisi argumen soal fanatisme K-Popers terhadap idolanya akan selalu memiliki validitas, penggunaan analisis yang sembarangan untuk memukul rata perilaku fans K-Pop adalah buah dari kemalasan berpikir, bentuk seksisme, serta keterbelakangan informasi yang pada akhirnya tidak tepat sasaran. Faktanya, fanatisme tidak hanya hidup di dalam K-Pop, tetapi di setiap subkultur yang ada di dunia ini.
Sebagai contoh dekat, lembaga swadaya masyarakat Save Our Soccer (SOS) mencatat dalam periode 1995–2018, terhitung ada 70 suporter sepak bola Indonesia yang meninggal karena terbentur dalam pertikaian ketika membela tim kesayangannya. Tentunya ada angka yang jauh lebih tinggi lagi di negara-negara lain seperti di Inggris, negara di mana sepak bola terlahir.
Fenomena yang kerap dikenal sebagai football hooliganism juga disebut sebagai English disease, atau secara harfiah berarti ‘penyakit Inggris’. Dalam Bahasa Indonesia, sering kita kenal sebagai jongos bola.
Kekerasan yang diekspresikan oleh jongos bola ini dikategorikan sebagai ‘ritualized male violence’ oleh sosiolog Ramón Spaaij dari Universitas Victoria. Selain itu, ada sebuah studi psikoanalisa aliran Freudian yang dilakukan oleh Paul Bleakley terhadap kasus Millwall di tahun 1970–80an. Dalam Journal of Fandom Studies, Bleakley menyebut football hooliganism atau jongos bola sebagai manifestasi masokisme yang diinternalisasikan.
Masalah jongos bola saat ini jauh membaik setelah campur tangan pemerintah terkait, Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA), upaya banyak LSM, serta ormas lokal dalam mengkampanyekan berbagai isu, antara lain isu non-violence dan anti-rasisme. Namun seperti halnya dalam fandom K-Pop, jongos bola sama sekali tidak mewakili perilaku penggemar sepak bola secara menyeluruh.
Perlu diakui bahwa isu jongos bola jarang disorot dalam pembahasan subkultur di Indonesia. Hal ini dikarenakan banyaknya penulis yang ternyata masih tersangkut di sisi kiri grafik Dunning-Kruger, sehingga mereka terlalu sibuk mem-framing histeria pada perempuan.
Memukul rata penggemar K-Pop sebagai anak perempuan remaja yang histeris adalah sebuah simplifikasi yang lalai dan usang. K-Pop sudah melewati empat generasi, di mana generasi pertama seperti Rain serta penggemarnya sudah menginjak umur kepala empat. BTS merupakan generasi ketiga.
Dalam fandom BTS ARMY sendiri, banyak di antaranya adalah dokter, pengacara, analis keuangan, penulis, musisi, pegulat seperti John Cena, jurnalis, aktivis, sosiolog, peneliti, dan banyak profesi lain yang membuat ‘paguyuban’ tersendiri dalam fandom.
Perlu ada pemahaman bahwa sebuah fandom bukan gerakan yang memiliki AD/ART yang menuntun bagaimana seseorang seharusnya berperilaku. Berbeda dengan instansi kepolisian, di mana perilaku individu yang tergabung di dalamnya secara legal bisa diminta pertanggungjawaban, subkultur memiliki dinamika yang tidak linear. Terlepas dari afiliasi seseorang pada sebuah fandom, perilaku orang yang dijalankan dalam kapasitasnya sebagai individu, baik maupun buruk, murni mewakili dirinya sendiri.
Menanggapi artikel ini, penulis tidak dapat memisahkan apa itu sasaeng atau obsessive fans dengan dedicated fans, di mana dua hal tersebut memiliki definisi yang jauh berbeda. Kesempatan untuk mengupas isu-isu sosial yang hangat diperbincangkan dalam skena entertainment Hollywood sungguh disayangkan.
Saya akan mengutip penyanyi Halsey di akhir tulisan ini agar kita semua bisa kembali pada fokus utama permasalahan yang ada:
“Sudah sewajarnya ARMY protektif terhadap BTS, karena ini sebuah band yang sering diperdaya oleh industri musik atas kekuatan yang dimiliki oleh fandom-nya.”
Gustika Jusuf Hatta adalah peneliti, aktivis sosial, dan co-founder dari Girl, Peace, and Security. Saat ini, ia bekerja untuk Imparsial, sebuah lembaga riset dan advokasi yang fokus kepada reformasi di sektor keamanan, konflik, kekerasan, dan hak asasi manusia.
Mega Dewi adalah seorang Marketing Researcher di sebuah perusahaan teknologi finansial di Jakarta. Sebelumnya ia menyelesaikan studi masternya di New York University jurusan Digital Marketing dan Analytics.