Budaya Pop

Brand Fashion Lokal: Enggak Untuk yang Berbadan Besar

Nadia Vetta Hamid — Asumsi.co

featured image

Sejak kecil, bentuk badan saya jauh dari kategori ideal untuk masyarakat kebanyakan. Kalau pun pernah agak langsing, mungkin ketika lulus SMA hingga tahun kedua kuliah.

Nah, sejak lima tahun yang lalu, berat badan saya naik hingga 20 kilogram. Kalau tiga tahun lalu saya bisa leluasa belanja baju via online, sekarang harus mencari ukurannya dulu. Biasanya dilihat dari lingkar dada. Kalau di bawah 100 cm, sudah pasti baju tersebut enggak muat sama saya.

Sebagai kelas menengah yang ingin mendukung industri dalam negeri, saya membiasakan diri membeli barang-barang fashion dari brand lokal. Beberapa tahun terakhir, industri kecantikan dalam negeri juga diramaikan dengan brand-brand indie lokal yang kualitasnya bisa disandingkan dengan brand internasional. Karena saya berpikir harganya bisa lebih murah, dan saya enggak akan meninggalkan jejak karbon lebih besar.

Masalahnya, yang buatan lokal belum tentu lebih cocok. Saya justru menemukan kalau brand fashion lokal itu ukurannya kecil-kecil banget. Bahkan, kalau saya kembali ke berat badan yang biasanya dan mengenakan size M, belum tentu muat juga.

Pernah juga, saya menghadiri peluncuran koleksi baru clothing brand milik teman. Di sana, tentunya saya ditawari untuk membeli bajunya, dong. Namun, saya langsung mengurungkan niat untuk membeli karena ukurannya kecil-kecil banget!

Karena pengalaman sejauh ini, saya beberapa kali mengeluh ke teman, “Ini desainer lokal bikin baju buat semut atau slenderman, ya?”

Padahal, banyak juga cewek-cewek Indonesia yang enggak mengenakan size S atau M. Kombinasi pekerjaan yang hectic di kantor, ojek online yang mengirim makanan ke mana pun kita berada, belum lagi tingkat stres yang tinggi membuat banyak orang di sekitar kita (atau mungkin kalian sendiri) mengalami kenaikan berat badan yang cukup signifikan. Meskipun ada juga yang memang terlahir dengan ukuran badan tertentu dari sananya, atau turun-temurun di keluarganya.

Sebagai cewek yang selalu mendapatkan informasi barang-barang terbaru di Instagram, saya pernah menemukan sebuah brand lokal yang ukurannya cukup friendly untuk cewek-cewek berukuran L ke atas. Namun, sebagian besar koleksi mereka terlihat murah banget dengan material yang kurang oke. Saya pernah mencoba beli, dan hasilnya? Celananya cepat banget melarnya.

Salah satu model Caucasian yang digunakan brand lokal untuk promo. Screenshot dari cottonink.co.id

Apapun bentuk tubuh mereka, cewek-cewek Indonesia berhak mengenakan pakaian yang keren dan sesuai dengan personal style mereka. Sayangnya, hal ini yang belum saya lihat di banyak clothing brand Indonesia. Lucunya lagi, kebanyakan modelnya malah orang asing (bule)! Ini sih yang saya belum pahami maksud dan tujuannya apa.

Coba deh kalian buka website-website clothing brand lokal. Model-model di campaign maupun LookBook-nya pasti mayoritas bule. Ada juga beberapa model Indonesia yang nyempil di tengah-tengah bule-bule itu. Barangnya bikinan Indonesia, tapi kok kesannya baju-baju itu ditargetkan untuk skinny white people?

Oke deh, memang enggak salah mau pake model dari manapun. Tapi alangkah baiknya kalau clothing brand asli Indonesia, made in Indonesia, diperagakan oleh cewek-cewek Indonesia dari berbagai suku, bentuk badan, dan warna kulit. Beli barang via online kan harus membuat pembelinya bisa membayangkan barangnya seperti apa ketika dikenakan, secara enggak bisa dicoba.

Saat ini, tren fashion dan kecantikan dunia memang semakin mengarah ke inclusivity. Kalau dulu model-model di cover majalah dan campaign mayoritas berkulit putih, kini semakin banyak people of color (POC) yang tampil.

A post shared by A S H L E Y G R A H A M (@theashleygraham) on Apr 9, 2018 at 9:58am PDT

Semakin banyak juga POC yang memegang posisi penting di dunia fashion, seperti editor-in-chief British Vogue Edward Enninful dan desainer brand Off-White yang baru saja diangkat sebagai artistic director Louis Vuitton untuk koleksi men’s wear, Virgil Abloh. Juga ada model Australia keturunan Sudan Selatan, Duckie Thot, terkenal dengan kulit gelapnya yang cantik dan Ashley Graham kini menjadi salah satu model plus-size paling terkenal di dunia.

Tidak hanya perihal ras maupun bentuk tubuh, desainer Tommy Hilfiger baru saja meluncurkan koleksi Tommy Adaptive, pakaian adaptif yang diperuntukkan untuk penyandang difabel, terutama bagi mereka yang mengenakan prostetik maupun brace.

Untuk koleksi pakaian yang adaptif, I’m just gonna be honest: we still have a long way to go. Tapi, kita bisa memulai gerakan fashion yang lebih inklusif, bukan eksklusif, dengan menyediakan ukuran yang lebih beragam, dari kecil hingga besar.

Saya juga menemukan beberapa brand lokal mengusung semangat feminisme di beragam postingan media sosialnya, biasanya dengan mengunggah quote-quote maupun caption berbau “girl power”. Ada juga brand yang bahkan hingga mengeluarkan kaos dengan tulisan “feminist. Meskipun sepertinya sangat terinspirasi dari kaus Dior bertuliskan “We should all be feminists”, saya hargai semangat brand lokal yang ingin semakin woke.

Kalau memang ingin dianggap sebagai brand yang feminis, seperti yang digembar-gemborkan di media sosial, harusnya koleksinya lebih inklusif, dong. Fashion kan bukan hanya milik orang-orang dengan bentuk badan tertentu saja. It should be for everyone!

Nadia Vetta adalah penulis independen yang masih mencari brand clothing lokal yang sizenya agak besar. Ia bisa diajak ngobrol tentang fashion dan beauty di @nadiavetta.

Share: Brand Fashion Lokal: Enggak Untuk yang Berbadan Besar