Isu Terkini

BPOM: Ivermectin Bukan Obat Covid-19, Melainkan Obat Cacing

Dita — Asumsi.co

featured image
unsplash.com

Peredaran obat terapi Covid-19 buatan PT Indofarma (Persero) Tbk, Ivermectin, menimbulkan pro dan kontra. Dilansir dari CNN, saat ini, Ivermectin telah mengantongi izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan sudah pada tahap produksi dengan kapasitas diharapkan mencapai 4 juta per bulan.

Sebelumnya, pada 10 Juni 2021, BPOM telah merilis pernyataan terkait dengan Ivermectin. Dalam pernyataan itu, BPOM mengatakan masih diperlukan bukti ilmiah yang lebih meyakinkan terkait keamanan, khasiat, dan efektivitas sebagai obat Covid-19 melalui uji klinik lebih lanjut. 

BPOM mengimbau agar masyarakat tidak membeli obat Ivermectin secara bebas tanpa resep dokter, termasuk membeli melalui platform online. Dalam pernyataannya, BPOM mengatakan penggunaan Ivermectin tanpa resep dokter dalam waktu panjang, berisiko mengakibatkan efek samping yakni nyeri otot/sendi, ruam kulit, demam, pusing, sembelit, diare, mengantuk, hingga Sindrom Stevens-Johnson. Saat ini, BPOM masih terus memantau perkembangan penelitian dan pelaksanaan dalam obat ini.

Baca juga: Vaksinasi Dipercepat, Efektifkah di Tengah Lonjakan Covid-19? | Asumsi

Izin Edar Sebagai Obat Cacing

dr. Agus Dwi Susanto selaku Dokter Spesialis Paru mengatakan Ivermectin sudah ada sejak lama sebagai obat parasit atau lebih dikenal luas sebagai obat cacing. Hal senada diungkapkan oleh Kepala BPOM, Penny K Lukito, melalui siaran persnya, Selasa (22/6/2021). Ia mengatakan, izin edar dari BPOM untuk Ivermectin adalah sebagai obat cacing, bukan obat Covid-19.

“Obat-obatan itu kalau dalam penggunaan klinis banyak dipakai untuk penyakit-penyakit yang terkait dengan parasite, sebelum covid itu sudah ada sejak dulu,” kata dr. Agus saat dihubungi Asumsi.co, Selasa (22/6/2021).

Dia menambahkan, pada beberapa kondisi, obat tersebut dapat digunakan untuk hewan. “Itu banyak. Kalau cari di jualan online, obat parasit untuk hewan,” jelasnya.

Maraknya pemberitaan terkait Ivermectin sebagai obat Covid-19 disinyalir muncul dari beberapa riset di luar negeri yang secara in-vitro menunjukkan kemampuan Ivermectine terhadap virus Covid-19. Uji klinis juga dilakukan di beberapa tempat dengan sampel yang belum banyak sehingga informasi dari data tersebut belum cukup efektif.

“Tapi di lain pihak, setelah dilakukan review oleh beberapa organisasi sepeti WHO, itu hampir semua menyatakan sampai hari ini belum cukup bukti kuat bagi Ivermectin sebagai obat terapi pada Covid-19,” kata dr. Agus.

Baca juga: Kasus Covid-19 Melonjak Lagi, Yakin Masih Mau Work From Bali? | Asumsi

Menunggu Hasil Uji Klinis

dr. Agus menyatakan, sebagian besar organisasi kesehatan dunia menyarankan pemakaian Ivermectin dalam rangka uji klinis. Untuk pemakaian bersifal massal, obat tersebut harus dibuktikan betul-betul efektif dan terbukti uji klinis secara kuat di berbagai tempat.

Saat ini, uji klinis di Indonesia tengah berjalan selama kurang lebih satu minggu di sejumlah rumah sakit dikoordinir oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes). Menurut dr. Agus, hasilnya dapat dilihat dalam waktu satu sampai dua bulan mendatang.

“Yang jelas sebagai profesi, sampai hari ini, Perhimpunan Dokter Spesialis seperti Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam (PAPDI), Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dan Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif Indonesia (PERDATIN), dan Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indovesia (PERKI) sudah membuat pedoman untuk teman-teman profesi untuk belum memasukkan Ivermectin bagi terapi Covid-19 karena masih dalam rangka uji klinis,” jelasnya.

Jika kemudian hasil uji klinis baik dan efektif, kata dia, tentu obat ini dapat digunakan untuk terapi Covid-19 ke depannya. Tetapi tetap harus menunggu hasil uji klinis. dr. Agus memperingatkan, jika digunakan secara massal, siapa yang akan bertanggung jawab jika ada masalah?

“Prinsipnya kami dari profesi mengimbau teman-teman profesi bahwasanya selama profesi belum memberikan rekomendasi maka tidak digunakan, pokoknya profesi sudah memberikan anjuran tidak dipakai. Kecuali pengunaannya dalam rangka uji klinis, itu sudah melewati proses etika penelitian terkait efek samping yang dalam pemantauan,” kata dia.

Sebagai tambahan, Kepala BPOM Penny Lukito juga memperingatkan bahan kimia keras yang dapat menimbulkan beragam efek samping. Meskipun begitu, Penny mengatakan obat ini bisa digunakan sebagai obat Covid-19 jika masih dalam pengawasan dokter. Namun, penggunaannya tetap harus melalui uji klinis dan rekomendasi profesi terkait sebagai jaminan keamanan, khasiat, dan mutu produk.

Share: BPOM: Ivermectin Bukan Obat Covid-19, Melainkan Obat Cacing