Isu Terkini

Bisakah Bersepeda dan Berjalan Kaki jadi The New Normal?

Permata Adinda — Asumsi.co

featured image
Asumsi.co

Kenaikan jumlah pesepeda di DKI Jakarta semasa pandemi memang pesat, yaitu hingga 10 kali lipat atau 1000% menurut data dari Institute for Transportation & Development Policy (ITDP) Indonesia. Tak hanya pesepeda, tren berjalan kaki juga diketahui meningkat sebesar 15%–dibandingkan dengan tren menggunakan kendaraan pribadi yang berkurang sebesar 6%.

Antusiasme untuk bersepeda dan berjalan kaki ini dapat disambut sebagai hal baik, sekaligus momen buat kita membayangkan kota Jakarta yang bebas dari kemacetan dan polusi udara kelak. Tak hanya semasa PSBB, tetapi terus berlanjut ketika pandemi telah berakhir. Bisakah cita-cita itu terwujud?

Selain penting untuk mengurangi polusi, kebutuhan akan infrastruktur perjalanan yang ramah pejalan kaki dan pesepeda memang besar di Indonesia. Ciptaghani Antasaputra selaku perwakilan ITDP menunjukkan bahwa berjalan kaki dan bersepeda paling banyak digunakan oleh kelompok masyarakat berpendapatan di bawah Rp1 juta-2 juta.

Sepeda juga jadi opsi transportasi yang dapat mendukung pemulihan COVID-19. Transportasi umum yang kapasitasnya dibatasi selama PSBB dapat diprioritaskan bagi orang yang lebih membutuhkan. Porsi jalanan untuk kendaraan pribadi pun menjadi dapat diprioritaskan bagi kendaraan darurat seperti ambulans, pemadam kebakaran, dan logistik. Lebih dari itu, bersepeda atau berjalan kaki memungkinkan seseorang untuk tetap menjaga jarak.

Ghani memaparkan manfaat berjalan kaki juga meliputi berbagai aspek. Pertama, aspek kesehatan: moda transportasi aktif ini tergolong higienis dan dapat mengurangi risiko kesehatan karena mendorong aktivitas fisik. Kedua, dalam hal lingkungan, bersepeda dan berjalan kaki dapat menghemat 747 gram CO2 untuk setiap perjalanan, dibandingkan dengan jika menggunakan kendaraan pribadi.

Ketiga, keadilan sosial dapat tercapai karena semua segmen masyarakat berdasarkan kemampuan, umur, dan golongan pendapatan dapat menggunakannya. Keempat, kualitas hidup juga meningkat dengan meningkatnya interaksi sosial di ruang kota. Kelima, kesempatan untuk berbisnis dan berusaha juga meningkat di sepanjang koridor yang ramai pejalan kaki dan pesepeda.

Namun, minat masyarakat untuk berjalan kaki dan bersepeda tidak dibarengi dengan infrastruktur yang memadai pula. Kondisi jalanan di DKI Jakarta saat ini masih lebih banyak diperuntukkan bagi kendaraan bermotor yang sebesar 90%. Trotoar yang diperuntukkan bagi pejalan kaki pun kebanyakan tak cukup layak: tak cukup lebar, berlubang, banyak kabel menjuntai, hingga sering diterobos oleh para pengguna motor. Padahal, menurut hierarki transportasi berkelanjutan yang disusun oleh Home Energy Scotland, berjalan kaki dan bersepeda yang termasuk dalam kategori active travel seharusnya jadi prioritas dalam membangun infrastruktur.

Poetoet Soedarjanto selaku perwakilan dari Bike to Work Indonesia juga memaparkan bahwa keamanan pesepeda dan pejalan kaki masih belum terjamin: sepanjang tahun 2020, terdapat 31 pesepeda yang meninggal dunia karena kecelakaan lalu lintas di Indonesia (hingga 30/8). Ada pula 29 pesepeda yang meninggal dunia karena masalah kesehatan seperti terkena serangan jantung atau kelelahan tak lama setelah bersepeda. Sementara itu, korban pesepeda yang luka-luka dan dilarikan ke rumah tercatat sebanyak 20 orang.

Untuk dapat menanggulangi hal itu, fasilitas umum bagi pesepeda mesti dipenuhi. “Jalur sepeda yang aman untuk semua pengguna sepeda mesti dipenuhi. Tak hanya itu, tapi juga mesti ada titik pemberhentian, fasilitas parkir yang baik, hingga fasilitas ganti baju. Fasilitas-fasilitas itu akan mendorong orang untuk lebih mudah lagi bersepeda,” ujar Poetoet dalam diskusi daring “Jakarta, Waking Up for Walking and Cycling!” (2/9).

Poetoet juga merekomendasikan agar Peraturan Gubernur No. 51 Tahun 2020 tentang “Pelaksanaan PSBB pada Masa Transisi Menujju Masyarakat Sehat, Aman, dan Produktif” yang juga mengatur tentang diutamakannya pejalan kaki dan pesepeda dapat diberlakukan seterusnya.

Pasal 21 peraturan ini menyatakan bahwa “selama masa transisi, untuk semua ruas jalan diutamakan bagi pejalan kaki dan pengguna transportasi sepeda sebagai sarana mobilitas penduduk sehari-hari untuk jarak yang mudah dijangkau.” Pengutamaan ini dilakukan dengan peningkatan penggunaan jalur sepeda yang sudah terbangun dan penyediaan parkir khusus sepeda. Gedung-gedung perkantoran, pusat perbelanjaan, halte, terminal, stasiun, dan pelabuhan juga diwajibkan untuk menyediakan fasilitas parkir khusus sepeda.

“Boleh disyukuri bahwa Pemprov DKI telah mengeluarkan peraturan tentang pilihan bersepeda dan berjalan kaki. Persoalannya, pergub ini hanya berlaku saat pandemi. Saya khawatir ketika COVID-19 selesai pasal-pasal ini ikut tercabut,” kata Poetoet.

Menurut Ghani, pelaksanaan PSBB bisa jadi momentum untuk membenahi prioritas pembangunan infrastruktur yang saat ini belum berkelanjutan. “Ketika tadinya pembangunan di jalan-jalan diprioritaskan untuk kendaraan bermotor, proporsi atau ruang yang diberikan kepada pejalan kaki, pesepeda, dan transportasi umum harus lebih besar. Ini adalah momentum kita: apakah kita akan balik ke kondisi normal di mana kita akan stuck dalam traffic, atau kita mulai membenahi kota dan menginvestasikan infrastruktur untuk pesepeda dan pejalan kaki.”

Share: Bisakah Bersepeda dan Berjalan Kaki jadi The New Normal?