Budaya Pop

Bingkisan Oscar Senilai 3 Miliar Rupiah buat Apa?

Permata Adinda — Asumsi.co

featured image

Jika kamu datang ke perhelatan Oscar dan mendapat bingkisan, apa yang akan kamu lakukan?

Ini bukan sembarang bingkisan. Setiap tahunnya, penerima nominasi Oscar mendapatkan bingkisan berisi hadiah-hadiah mewah seperti wisata kapal pesiar, perawatan kulit, dan barang/jasa lainnya. Nilai satu bingkisan diperkirakan sebesar US$225.000 atau lebih dari 3 miliar rupiah.

Hadiah ini tak diberikan langsung oleh Academy Awards. Sebuah perusahaan pemasaran bernama Distinctive Assets telah menyiapkan hadiah kepada nominasi aktor perempuan terbaik (utama dan pendukung), laki-laki terbaik (utama dan pendukung), dan sutradara terbaik selama dua dekade. Tahun ini, Distinctive Assets menyiapkan 25 bingkisan untuk 20 penerima nominasi aktor terbaik dan 5 sutradara terbaik.

Menurut pendiri Distinctive Assets, Lash Fary, “Setiap manusia, terlepas dari kekayaan dan ketenarannya, senang mendapat hadiah.”

Namun, tak semua selebritas dan pembuat film menerima hadiah ini dengan senang hati. Aktor Edward Norton menyebut pemberian ini, “menjijikkan dan memalukan,” dan menyarankan agar Oscar memberikan amal atas nama pemain-pemain film. Aktor Sandra Oh pun dikabarkan menolak menerima bingkisan ini.

Pemberian hadiah ini adalah strategi pemasaran. Perusahaan atau brand rela memberikan hadiah bernilai ratusan juta demi mendapatkan exposure dari para selebritas dan mendapatkan keuntungan lebih besar lagi.

Perjuangan Sinema Independen

Di tengah kemewahan yang ditawarkan Academy Awards, ada pembuat film independen berbujet rendah yang kesulitan secara finansial—baik dari segi pendanaan film dan atau pun memenuhi kehidupan sehari-hari.

Manajer Program In-Docs, Varadilla Nurdin, mengatakan bahwa pembuat film panjang dokumenter biasanya mendapatkan hadiah dana sebesar US$5.000-40.000 dari forum pitching atau skema pendanaan lain. “Biasanya dana dikumpulkan dari berbagai sumber untuk bisa mencapai bujet total. Di atas kisaran itu, di UK ada The Whickers dan BFI Film Fund yang memberi grant dengan plafon US$100.000,” kata Vara kepada Asumsi.co lewat email.

Rata-rata bujet film independen adalah sebesar US$750.000, menurut survei The Weekly. Untuk mendapatkan keseluruhan dana itu, pembuat film mesti berkeliling ke lebih dari satu forum pitching. Pembuat film juga mesti menyerahkan ide, rancangan anggaran, dan trailer film. Proses-proses tersebut membutuhkan modal yang tidak murah.

“Untuk bisa memproduksi trailer, pembuat film sudah harus mengeluarkan dana yang biasanya datang dari kantong sendiri. Ini menjadi kesulitan jika belum memiliki modal awal. Menghadiri berbagai forum pitching juga memakan waktu yang panjang dan modal yang besar,” jelas Vara.

Jika 25 bingkisan Oscar dijumlah, nilainya yang mencapai US$5,625 juta dapat membiayai 7-8 film independen. Total biaya produksi Moonlight (2016)—pemenang penghargaan film terbaik Oscar 2017—sebesar US$4 juta juga dapat terpenuhi. Dua tas bingkisan pun dapat membiayai produksi film Mad Max (1979), film cult yang dianggap sebagai penanda Australian New Wave, yang saat itu berbujet US$400.000.

Tak jarang pembuat film mengalami kesulitan finansial walaupun filmnya tenar. Sutradara James Gray yang membuat film Lost City of Z (2016) pernah menyampaikan itu. “Orang-orang berasumsi karena aku seorang sutradara, aku punya banyak uang. Aku kesulitan secara finansial. Usiaku 47 tahun dan aku tinggal di apartemen, tak mampu membeli rumah,” kata Gray dalam wawancaranya dengan Vulture.

Padahal, filmnya Lost City of Z masuk daftar 10 film pilihan majalah Time, dan dipuji sebagai “karya langka sinema klasik kontemporer” oleh The Hollywood Reporter. Gray pun mempermasalahkan monopoli pasar yang membuat film-film independen sulit untuk mendapatkan jam tayang di bioskop.

Tak jarang para pembuat film melakukan penggalangan dana sendiri karena sulitnya mendapatkan investor. Film dokumenter The Art of Life (2016) yang mengikuti kehidupan pribadi sutradara David Lynch, misalnya, dibuat dari uang penggalangan dana yang dikumpulkan melalui platform Kickstarter. Film ini berhasil tayang perdana di Festival Film Internasional Venice ke-73.

Pembuat-pembuat film independen lain berkata bahwa ada perubahan skema pendanaan film yang merugikan pembuat film. “Dulu, ketika film independenmu sukses di Sundance, kamu akan ditawarkan US$3 juta oleh distributor. Mereka akan memperoleh filmmu dan mendanai filmmu selanjutnya. Saat itu ada sistem. Sekarang tidak,” kata Chip Hourihan kepada Indie Wire. Pembuat-pembuat film lainnya sepakat bahwa ada perubahan lanskap, dan hampir tidak mungkin bagi mereka untuk bekerja sebagai pembuat film tanpa mengambil pekerjaan sampingan.

Kampanye Oscars Miliaran Rupiah

Dengan bujet yang terbatas, para pembuat film independen semakin sukar menembus ajang penghargaan seperti Academy Awards. Sebab, mendapatkan nominasi penghargaan bukan cuma perkara kualitas film, tetapi juga kemampuan untuk mempromosikannya.

Pada 2015, Variety mengestimasikan sebuah film dapat menghabiskan dana sebanyak US$3 juta-10 juta untuk melobi voters Oscar. Angka ini meningkat tajam pada 2019. Dikabarkan bahwa film seperti A Star Is Born (2018), Roma (2018), dan First Man (2018) mengeluarkan biaya sebanyak US$20-30 juta untuk berkampanye agar filmnya dapat menjadi nomine. Roma menghabiskan dana US$30 juta untuk promosi, dua kali lipat biaya produksi yang besarnya US$15 juta.

Kampanye atau promosi membuat suatu film dikenal oleh banyak orang dan meningkatkan kesempatan untuk dilirik Oscars. Bentuk-bentuk kampanye dapat berupa iklan, lobi, undangan ke pesta, undangan menonton, hingga menyebarkan berita miring tentang kompetitor. Aktor Casey Affleck diduga termasuk yang kena getahnya. Ketika ia dinominasikan sebagai aktor terbaik untuk film Manchester by The Sea (2016), tuduhan pelecehan seksual muncul ke permukaan.

Berita tersebut benar, namun kata Scott Feinberg di The Hollywood Reporter, rumor ini kembali diangkat oleh konsultan aktor yang berkompetisi dengan Casey Affleck.

Strategi kampanye lain yang paling sering dilakukan adalah mencocokkan narasi film dengan situasi terkini, membuatnya relevan. Sutradara dan aktor La La Land (2016), misalnya, menceritakan kisah-kisah personal mereka berjuang di Hollywood di acara-acara pemutaran, festival, dan meetup untuk memberikan konteks kepada penonton terkait kisah La La Land. Begitu pula dengan Lion (2016) yang menekankan persoalan imigran dan imigrasi dalam pemasarannya—yang saat itu jadi relevan karena kebijakan baru Presiden Donald Trump tentang imigran.

Jordan Horowitz, sutradara yang telah mendapatkan dua nominasi film terbaik Oscar untuk film La La Land dan The Kids Are All Right (2010), mengatakan pentingnya membuat narasi yang relevan selama kampanye. “Membuat narasi yang sesuai dengan film dan di luar film itu sama-sama penting,” kata Horowitz, dilansir Vox.com.

“Bagaimana kamu memasarkan filmmu, siapa yang menonton, bagaimana mereka membicarakannya. Semua itu membentuk narasi tentang filmmu—terutama di musim penghargaan,” ujar Horowitz lagi.

Share: Bingkisan Oscar Senilai 3 Miliar Rupiah buat Apa?