Budaya Pop

Bertahan dalam Relasi Abusif: Cinta Butuh Pengorbanan?

Nicky Stephani — Asumsi.co

featured image

Minggu lalu seorang teman curhat kepada saya. Singkat cerita, suaminya telah beberapa kali melakukan tindak kekerasan terhadap dia. Frekuensi kekerasan semakin menjadi setelah suaminya dirumahkan oleh kantor sebagai dampak pandemi COVID-19.

Tindak kekerasan biasanya terjadi karena teman saya melakukan kesalahan yang, menurut suaminya, tidak bisa ditolerir. Lupa menyiapkan kopi bisa berbuah makian tiada henti, menerima telepon dari sepupu laki-laki mengakibatkan lengan teman saya memar-memar. Sebenarnya ini bukan kali pertama dan teman saya selalu menangis setiap kali berkisah. Saya berulang kali menanyakan, “Kok gak lapor Komnas Perempuan aja?” atau “Kok gak cerai aja?” Ia selalu menanggapinya dengan jawaban “Gw cinta banget sama dia dan gw percaya suatu saat dia bakal berubah.”

Mendengar jawaban itu, terjadi perang antara hati dan pikiran saya. Saya paham betul rasanya jatuh cinta, tapi di mana logika mencintai seseorang sedemikian rupa sehingga kita bisa menyakiti mereka? Mengapa kita memilih bertahan dalam relasi yang, atas nama cinta, mengancam kesehatan fisik dan mental kita?

Berawal dari Dongeng Cinta

Kita kerap enggan mempertanyakan apa pun yang menyangkut cinta. Pola pikir yang sama kita gunakan sehari-hari untuk menyikapi relasi yang posesif, sarat dengan obsesi, kontrol dan kecemburuan, tanpa batasan yang jelas dan tidak menghargai konsen individu. Ada yang bilang cemburu itu tanda bahwa pasangan mencintai kita. Tidak ada yang berani menggugat kecemburuan kalau alasannya cinta. Kalau sudah cinta, apa mau dikata?

Cinta, seperti agama, adalah candu. Dan candu itu berasal dari dongeng-dongeng cinta yang selama ini ditanamkan di kepala kita. Formula dongeng cinta terdiri dari pangeran tampan, putri cantik, masalah atau konflik, dan cinta yang mampu mengalahkan segalanya. Tidak ada yang berubah dari formula tersebut sejak Disney merilis film Snow White di tahun 1937. Versi modernnya melibatkan laki-laki tampan, kaya, dan berkuasa, perempuan cantik yang hidupnya biasa-biasa saja, konflik kepentingan, dan cinta keduanya yang berujung bahagia selamanya. Versi Indonesianya bisa kita temukan dalam sinetron atau FTV (Film Televisi) yang berseliweran di layar kaca: anak orang kaya atau pengusaha ganteng tidak sengaja bertemu dengan gadis cantik penjual gorengan, mereka pun bertikai karena sesuatu dan lain hal, kemudian mereka jatuh cinta dan cinta mereka mampu mengatasi segala rintangan yang menghadang. Mereka pun hidup bahagia selamanya.

George Gerbner melalui teori kultivasinya menjelaskan bahwa orang yang menghabiskan lebih banyak waktu menonton televisi memiliki kecenderungan untuk memahami dunia nyata sesuai dengan apa yang digambarkan dalam tayangan televisi. Teori ini awalnya digunakan untuk mengkaji efek tayangan kekerasan di televisi terhadap penontonnya. Hasilnya, orang yang sering menyaksikan tayangan kekerasan (seperti berita kejahatan dan kriminalitas) cenderung meyakini bahwa dunia luar itu jahat, meskipun kenyataannya tidak semua orang melakukan tindak kejahatan di luar sana. Teori yang sama dapat menjelaskan bagaimana dongeng cinta yang dipopulerkan oleh media mempengaruhi persepsi kita tentang cinta di dunia nyata.

Popularisasi dongeng cinta menghasilkan apa yang disebut filsuf Michael Novak (2013) sebagai mitos cinta romantis. Selama ini kita berusaha mati-matian mencari cinta yang sanggup membahagiakan kita selamanya, meyakini bahwa cinta mampu mengubah kepribadian orang, dan memuja cinta yang abadi. Itulah kecenderungan seseorang yang terlalu banyak mengonsumsi dongeng cinta. Alhasil, pemahaman kita tentang cinta terdistorsi dan kita masuk ke dalam perangkap mitos. Kenyataan cinta sejatinya tidak seindah yang ditampilkan film roman picisan, tidak semenggugah yang dikisahkan dalam roman, dan tidak semerdu yang digaungkan lagu cinta. Kita seharusnya bisa menerima bahwa tidak semua orang memiliki kisah cinta seperti Habibie dan Ainun, termasuk, barangkali, Habibie dan Ainun sendiri.

Alain de Botton (2016) menyatakan bahwa dongeng cinta seharusnya bertanggung jawab atas remuknya kesempatan kita untuk merasakan cinta yang bahagia. Alih-alih mengantarkan kita kepada kebahagiaan, mitos cinta romantis justru menghasilkan bias persepsi yang mengaburkan batasan antara cinta dan kekerasan. Kita termehek-mehek menyaksikan Ryan Gosling dalam film The Notebook yang berbaring di jalan raya dan berkata bahwa ia lebih baik mati daripada ditolak berkencan. Dalam hati, kita bergumam “Ada gak ya laki-laki yang rela mati demi gw?” tanpa menyadari bahwa ia sebenarnya tengah mengancam perempuan secara emosional dan tidak menghormati hak perempuan itu untuk bilang “tidak”. Coba bayangkan, andai laki-laki itu bukanlah Ryan Gosling, apakah kita masih mendambakan perlakuan serupa di dunia nyata?

Para penggemar trilogi Fifty Shades of Grey pasti tahu kisah cinta Christian Grey dan Anastasia Steele. Sulit rasanya tidak terpesona dengan karakter Christian Grey yang tampan, dingin, dan misterius. Ditambah lagi saat kita mengetahui bahwa Christian Grey adalah seorang pengusaha kaya dengan selera seksual, yang menurutnya, ‘spesifik.’ Para perempuan membayangkan diri sebagai Anastasia Steele yang dengan segala kesederhanaan dan keluguannya mampu menaklukan hati seorang Christian Grey.

Kita, para perempuan, sering kali mendambakan kehadiran Christian Grey dalam hidup. Bahagia rasanya jika ada laki-laki yang memerhatikan, menjaga, memanja, dan selalu ada untuk kita dalam keadaan apa pun. Apa betul?

Roxanne Gay (2012) menyatakan bahwa Fifty Shades of Grey adalah dongeng cinta populer yang dipenuhi dengan perilaku posesif, pelanggaran batas, dan pelecehan terhadap otonomi perempuan. Ia juga mengidentifikasi perlakuan Christian terhadap Ana sebagai romantisisme ketidakmampuan laki-laki menghargai otoritas perempuan. Christian menghujani Ana dengan hadiah, membiarkannya tinggal di hunian mewah, memastikannya makan dengan benar, mengawasi kegiatannya sehari-hari, menyewa pengawal pribadi untuk menjaganya, bahkan sampai membeli perusahaan tempatnya bekerja untuk memastikan keamanan dan kenyamanannya. Kalau boleh jujur, semua perlakuan itu lebih mirip upaya mengisolasi korban dibanding ungkapan cinta kepada seorang kekasih. Tapi kita sudah kepalang mabuk dengan karakter Christian Grey dan segala perilakunya yang mengistimewakan Ana. Halusinasi hidup bersama dengan seorang Christian Grey di kondominium mewah mengaburkan kesadaran kita bahwa penjara tetaplah penjara, tidak peduli pagarnya indah atau reyot.

Beranjak ke Kompromi

Kehebatan dongeng cinta yang lain adalah narasinya yang mampu membuat seseorang rela berkorban tanpa merasa dirinya sedang berkorban. Padahal, nilai-nilai maskulinitas heteronormatif yang bersemayam di dalam dongeng cinta menuntun feminitas untuk kembali ke kodratnya yaitu sebagai pihak yang lemah, submisif, dan sudah sepantasnya mengalah. Narasinya kira-kira begini: sang putri menemukan pangerannya, tapi ada harga yang harus dibayar, semacam kompromi yang perlu dilakukan untuk memperoleh kebahagiaan bersama selamanya. Berapa harganya? Setara dengan kesadaran diri perempuan itu sendiri.

Film Korea Kim Ji Young, Born 1982 terasa sangat pas untuk menggambarkan narasi tersebut. Ji Young adalah seorang istri dan ibu beranak satu yang tidak memerhatikan dirinya sendiri karena kesibukannya membesarkan anak, mengurus rumah tangga, hingga membantu keluarga mertuanya. Suatu saat, ia ingin kembali bekerja untuk mengatasi kejenuhannya. Ia pun mendiskusikan hal tersebut dengan suaminya (diperankan oleh Gong Yoo).

Ji Young sebenarnya menjalani kehidupan yang didambakan oleh kebanyakan perempuan: menikah, memiliki suami yang tampan, mapan, dan setia, memiliki anak yang lucu, tinggal di apartemen yang layak, dan hidup berkecukupan tanpa harus bekerja. Sayangnya tidak ada yang cuma-cuma di dunia ini, bahkan untuk urusan cinta. Ji Young membayar semua kenikmatan tersebut dengan mengorbankan diri dan mimpinya. Tidak ada satu orang pun yang akhirnya mendukung niat Ji Young untuk kembali bekerja. Ji Young pun kembali menjalani rutinitas hariannya sebagai ibu rumah tangga penuh waktu karena ia merasa bertanggung jawab untuk menjalankan peran itu.

Sejak awal, Ji Young sadar bahwa hidupnya akan banyak berubah setelah memiliki anak. Kesadaran ini ia ungkapkan kepada suaminya saat mereka berencana memiliki anak. Sang suami menanggapi bahwa hidupnya juga akan berubah dan ia berjanji akan selalu membantu Ji Young mengurus anak. Perubahan hidup yang dimaksud sang suami adalah dirinya tidak bisa lagi bersenang-senang dengan temannya seusai jam kantor. Sedangkan hidup Ji Young berubah seratus delapan puluh derajat. Ia berhenti dari pekerjaannya dan mengabdikan diri sepenuhnya untuk anak serta suaminya.

Ji Young bisa saja tidak memilih antara keluarga atau karier. Ia menyadari bahwa dirinya mampu menjalani keduanya. Tidak ada pihak yang terang-terangan melarang Ji Young, tapi mereka terus-menerus meragukan dan mempertanyakan niat Ji Young untuk kembali bekerja. Mereka menasihati dan selalu mengingatkan Ji Young tentang perannya sebagai seorang istri dan ibu yang baik. Melalui adegan tersebut kita dapat menyaksikan bagaimana ideologi patriarki bekerja dalam senyap, di bawah alam sadar orang-orang terdekat Ji Young.

Mungkin karakter Gong Yoo yang tampan dan penuh cinta sebegitu memesonanya sehingga kita lupa bahwa dirinyalah yang berinisiatif memiliki anak dan meyakinkan Ji Young bahwa cinta mampu menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Kalau kita sebagai penonton saja lupa, tak heran jika Ji Young yang setiap hari menjalani hidup bersama Gong Yoo juga lupa bahwa ia tidak melulu harus berkorban dalam kisah ini. Bahkan perempuan yang memiliki kesadaran pun pada akhirnya akan menggadaikan kesadarannya untuk memperoleh hidup sempurna bak negeri dongeng. Sekali lagi, pangeran tampan nan romantis berhasil mengalihkan perhatian kita dari invasi terhadap otoritas perempuan. Untunglah cerita Kim Ji Young, Born 1982 tidak berhenti sampai di situ.

Dari pengalaman teman saya dan ketiga film sebelumnya, saya melihat begitu banyak orang yang tenggelam dalam cinta hingga kehilangan diri sendiri. Saya pun bertanya-tanya, apakah cinta hanyalah upaya untuk menghancurkan otonomi orang yang kita cintai dan mungkin diri kita sendiri pada akhirnya?

Berakhir dengan “Unhappily Ever After”

Dalam bukunya Desire/Love, Lauren Berlant (2012) mengidentifikasi alasan banyak orang terpikat pada dongeng cinta atau roman. Dongeng cinta merupakan salah satu cara masyarakat melarikan diri dari realita hidup yang sarat kesepian dan kejenuhan. Kita terhibur ketika menyaksikan dua insan bersatu, saling menatap penuh gairah, dan saling mencintai seumur hidup mereka. Seperti ada pihak yang berjanji bahwa kita tidak sendirian di dunia ini dan kita akan bertemu dengan belahan jiwa kita suatu hari nanti. Namun, tidak ada satu pun skenario yang menceritakan bahwa cinta romantis juga dapat berujung pada kekerasan mental dan fisik yang fatal.

Masyarakat kontemporer memiliki ketakutan berlebih terhadap kesendirian, kesepian, dan kematian. Cinta romantis menjawab fobia tersebut lewat ilusi tentang kebersamaan. M. Scott Peck (2013) dalam bukunya The Road Less Traveled menjelaskan bahwa dongeng cinta membuat kita salah kaprah saat membedakan antara cinta dan ketergantungan. Kesalahpahaman ini membuat kita mengategorikan kecemburuan dan pengawasan terhadap pasangan sebagai tanda cinta. Ketergantungan nampak seperti cinta karena keduanya didasari pada ikatan. Kita mengikat diri kepada orang lain dan lama-kelamaan ikatan itu lebih terasa seperti penjara dibanding cinta. Kita menyesuaikan diri agar betah dalam penjara tersebut dengan meyakinkan diri setiap hari bahwa memang seperti inilah wujud cinta. Kita memaksa diri untuk rela menjalani kisah cinta yang sebenarnya tidak bahagia.

Meskipun cinta romantis pada hakikatnya bersifat tidak terbatas, batasan dalam relasi cinta di dunia nyata tetap diperlukan. Batasan dalam hubungan membantu kita menemukan keseimbangan antara mencintai diri kita sendiri dan pasangan kita. Selama disepakati bersama, batasan dalam relasi cinta membuat kita mampu menjadi dua orang berbeda yang berjalan berdampingan. Bukankah kita tidak perlu menjadi sama dalam urusan cinta?

Erich Fromm (2019) dalam The Art of Loving menyatakan bahwa agar cinta memiliki masa depan, pasangan perlu berubah dari jatuh cinta menjadi bangu cinta. Transisi ini juga membutuhkan pergeseran dari cinta yang menyatukan menjadi cinta yang menghormati independensi dan kebebasan satu sama lain daripada berusaha untuk menghapusnya. Sayangnya, cinta yang membebaskan seperti ini tidak semenarik dongeng cinta yang ditampilkan di film-film Hollywood dan drama Korea. Apa serunya menonton kisah cinta putri yang bisa menemukan kebahagiaannya sendiri tanpa perlu bantuan pangeran tampan?

Saat membaca tulisan ini, mungkin Anda berkomentar, “Ah, itu kan cuma film, buat hiburan aja. Jangan serius-serius bangetlah ngebahasnya.” Syukurlah jika Anda dapat membedakan mana mitos cinta dan mana kenyataan cinta. Itu tandanya Anda masih sadar meskipun sudah menenggak cinta berkali-kali dalam hidup ini. Semoga dengan kesadaran itu Anda tidak lagi menjadikan cinta sebagai pembenaran atas pengorbanan diri yang tak terbatas dalam relasi yang Anda jalani. Suatu kali, Sujiwo Tejo berkata, “Cinta tak perlu pengorbanan. Saat kau mulai merasa berkorban, saat itulah cintamu mulai pudar.”

Nicky Stephani. Dosen Ilmu Komunikasi di Universitas Pembangunan Jaya, Tangerang. Suka mencermati, mengkaji, dan menulis tema gender dan seksualitas di waktu luangnya

Referensi

Berlant, L. (2012). Desire/Love. New York: Punctum Books.

Botton, A. d. (2016). The Course of Love. London: Penguin Books.

Fromm, E. (2019). The Art of Loving. New York: Harper Perennial Modern Classics.

Gay, R. (2012, May 9). “The Trouble With Prince Charming Or He Who Trespassed Against Us.” Retrieved from The Rumpus: https://therumpus.net/2012/05/the-trouble-with-prince-charming-or-he-who-trespassed-against-us/

Gerbner, G. (1987). Science on Television: How It Affects Public Conceptions. Washington D.C.: National Academy of Sciences.

Marx, K. (1976). Introduction to A Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right. New York: Collected Works.

Novak, M. (2013). The Myth of Romantic Love and Other Essays. New Jersey: Transaction Publishers.

Peck, M. S. (2003). The Road Less Traveled: A New Psychology of Love, Traditional Values, and Spiritual Growth. New York: Touchstone.

Starling, J. (2020, April 11). “Why You Need To Stop Looking For Love.” Retrieved from Refinery29: https://www.refinery29.com/en-gb/2020/04/9553679/dating-red-flags-romance

Share: Bertahan dalam Relasi Abusif: Cinta Butuh Pengorbanan?