Isu Terkini

Bangsa Banyak Gawe

Pringadi Abdi Surya — Asumsi.co

featured image

Dilahirkan di Palembang oleh orangtua berdarah Jawa membuat saya berbangga hati, sebab keduanya identik dengan etos kerja yang tinggi. Tanya saja para pemuda Palembang yang hendak bepergian. Mereka bakal menjawab ado gawe, yang berarti ada pekerjaan. Begitu pula orang-orang Jawa yang sering berkata nyambut gawe, alias bekerja.

Saya membayangkan lelucon semasa baru lulus SMA itu menjadi kenyataan. Barangkali begitu juga jawaban banyak orang saat ditanya Badan Pusat Statistik. Sehingga dari tahun ke tahun, angka pengangguran kita makin membahagiakan. Dalam laporan terbaru (November 2019) yang merangkum situasi ketenagakerjaan Indonesia Agustus 2019, BPS melaporkan tingkat pengangguran kita kembali turun menjadi 5,28% dari tahun sebelumnya 5,34%.

Meski secara persentase turun, jumlah pengangguran sebenarnya bertambah dari 6,99 juta menjadi 7,05 juta. Angkatan kerja Indonesia sendiri berjumlah 133,56 juta orang, naik dari Agustus 2018 sebesar 131,01 juta orang.

Data pengangguran ini sebenarnya memunculkan tanda tanya jika disandingkan dengan data kemiskinan. Jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 25,14 juta orang. Bila memakai asumsi bahwa setiap rumah tangga miskin Indonesia memiliki 4,68 anggota keluarga, akan muncul angka 5,37 juta keluarga. Terdapat selisih 1,68 juta kepala keluarga yang tidak bekerja/pengangguran, tetapi tidak miskin.

Namun, saya mencoba berpikir positif. Belum tentu semuanya kepala keluarga. Barangkali mereka anak-anak muda yang masih ditanggung keluarga. Sebab, definisi angkatan kerja itu sendiri adalah penduduk usia produktif yang berusia 15-64 tahun, sedangkan seseorang dikeluarkan dari keluarga adalah ketika ia sudah menikah di usia rata-rata lebih dari 20 tahun.

Hanya, saya masih merasakan kejanggalan lain. Sebenarnya apa yang dikerjakan oleh rakyat miskin kita? Adakah arti garis kemiskinan itu—mengingat angka ini saja bisa dibaca sebagai semua kepala keluarga miskin adalah pengangguran. Meski prematur, bila kesimpulan tersebut diambil, artinya semua kepala keluarga miskin adalah pengangguran yang tidak memiliki sepeser pun penghasilan.

Makna Pengangguran dan Kelayakan Penghasilan

Padahal, pembahasan pengangguran di atas masih terbatas pada jenis pengangguran terbuka. Pengangguran terbuka adalah pengangguran yang benar-benar tidak memiliki pekerjaan yang terjadi karena kurangnya kesempatan kerja yang ada, tidak mau bekerja, atau tidak cocoknya pekerjaan yang ada dengan latar belakang pendidikan.

Masih ada jenis pengangguran yang lain, yaitu setengah menganggur dan pekerja paruh waktu. Setengah menganggur adalah orang yang pekerjaannya kurang dari 35 jam seminggu, atau bila diukur dengan 5 hari kerja, kurang dari 7 jam per hari dan mereka masih menerima/mencari pekerjaan lain. Sedangkan pekerja paruh waktu, meski sama-sama bekerja kurang dari 35 jam seminggu, tetapi mereka tidak mencari pekerjaan lain. Jumlah setengah menganggur di Indonesia sebesar 6,43%. Sedangkan jumlah pekerja paruh waktu sebesar 22,45%.

Kedua makna pengangguran ini jarang dibahas—bisa dengan alasan yang positif maupun negatif. Dalam makna positif, setengah menganggur bisa saja merujuk ke “generasi baru” yang tidak suka bekerja kantoran, namun justru bisa memiliki penghasilan yang lebih besar dari pekerja kantoran dengan memanfaatkan berbagai kemajuan teknologi yang ada. Dan dalam makna negatifnya, setengah menganggur memang karena lahir dari ketidakmampuan mereka dalam mengikuti ritme bekerja yang baik.

Ketika ketiga jenis pengangguran tersebut digabungkan, jumlah pengangguran di Indonesia adalah 33,16% atau sebesar 44,29 juta orang. Coba bayangkan kalau narasi seperti ini yang digunakan Pemerintah? Sayangnya, narasi soal pengangguran selama ini terpaku pada sebatas “tingkat pengangguran terbuka”.

Ketidaksinkronan data antara pengangguran dan kemiskinan tersebut, bila dipadukan dengan data lain seperti NPWP, akan bisa menghasilkan intertpretasi lain atas apa yang sebenarnya terjadi. Berdasarkan informasi yang disampaikan pemerintah dalam Nota Keuangan 2020, jumlah WP pada 2019 tercatat sebanyak 42 juta. Sebanyak 38,7 juta di antaranya adalah WP orang pribadi. Padahal, jumlah orang yang bekerja di sektor formal sebanyak 56,02 juta orang.

Mengingat bahwa orang pribadi yang wajib memiliki NPWP adalah mereka yang memiliki penghasilan di atas penghasilan tidak kena pajak (PTKP), yakni 54 juta setahun atau 4,5 juta sebulan, hal ini menunjukkan bahwa di sektor formal sekalipun ada ketidaklayakan dalam penghasilan dari lapangan kerja yang ada.

Di atas kertas, ada 17,32 juta pekerja formal yang penghasilannya di bawah PTKP. Itu pun dengan asumsi bahwa yang punya NPWP semuanya adalah pekerja formal. Meski faktanya tidak demikian. Dan lebih parahnya lagi, yang melapor pada tahun pajak 2018 lalu (per 1 April 2019), hanya sekitar 11,03 juta WP orang pribadi. Jumlah itu menunjukkan dua kemungkinan, pertama ada ketidakpatuhan wajib pajak atau memang hanya sejumlah itu yang penghasilannya di atas PTKP.

Angka-angka ini seharusnya memunculkan narasi yang lebih serius. Kelayakan pekerjaan dalam hal penghasilan. Hal itu juga yang sempat ditulis oleh Chatib Basri, bahwa yang kita butuhkan saat ini bukanlah sekadar lapangan pekerjaan, tetapi juga lapangan pekerjaan yang layak.

Ketiga data, baik itu pengangguran, kemiskinan, dan pajak, seharusnya memunculkan hubungan yang saling mempengaruhi. Namun, entah saya harus mengaminkan Bloomberg yang pernah bilang mencari data yang akurat di Indonesia sama saja seperti mencari Pokemon, atau memang data itu berdiri sendiri—yang rasanya tidak mungkin.

Pada titik ini, saya jadi berpikir, narasi kelayakan pekerjaan belum lahir karena sifat permisif manusia Indonesia itu sendiri. Seperti curhat seorang lulusan fresh graduate UI yang sempat viral ketika mencemooh gaji 8 juta sebulan. Seperti juga banyak pekerjaan influencer dan penulis yang dibayar sekian puluh ribu untuk satu postingan atau tulisan 500 kata. Seperti juga banyak cibiran ketika para buruh meminta kenaikan upah. Padahal seharusnya sah-sah saja bagi siapa pun menuntut kelayakan penghasilan yang diterima selama ia merasa kemampuan dan komitmennya dalam pekerjaan layak dihargai lebih.

Maka kita bisa menggugat William E. Berret yang mengatakan, “Kelaparan bukanlah hal terburuk dari seorang pengangguran, tapi kemalasan”. Tidak, tidak. Hal terburuk dari pengangguran adalah tidak ada lapangan pekerjaan yang layak.

Pringadi Abdi Surya. Ia adalah penulis dan analis kebijakan publik. Sehari-hari ia mengelola blog pribadinya di https://catatanpringadi.com

Share: Bangsa Banyak Gawe