Isu Terkini

Bagaimana Nasib Tunawisma Selama Pandemi COVID-19?

MM Ridho — Asumsi.co

featured image

Ketika jutaan manusia ditekan untuk tetap berada di rumah selama pandemi COVID-19, ada orang-orang yang bahkan tidak punya rumah. Bagi mereka, para tunawisma, tempat tinggal adalah kemewahan yang tidak tergapai. Mereka tak butuh pandemi untuk bersiap celaka setiap saat.

Hal ini layak dibicarakan secara serius bukan hanya karena nyawa banyak orang terancam dan penyebaran pandemi bisa semakin parah, melainkan: buruknya penanggulanan pandemi bagi tunawisma disebabkan oleh kegagalan pemerintah dalam persiapan dan pendataan.

New York City, misalnya, sebagai episentrum penyebaran pandemi di Amerika Serikat, dinilai tidak dapat berbuat banyak dalam mengurangi potensi penyebaran virus di panti-panti sosial penampungan para tunawisma. Padahal jelas, kondisi di shelter dapat berkontribusi terhadap penyebarannya COVID-19; Tidak ada fasilitas memasak kecuali sebuah microwave komunal, yang digunakan bersama oleh hampir 70 orang dewasa dan 55 anak-anak; dan setiap keluarga hanya memiliki satu kamar. Hasilnya, pada Minggu (29/3), 99 orang yang tinggal di tempat penampungan kota positif terinfeksi COVID-19.

Pada situasi normal sebelum pandemi merebak, panti penampungan tunawisma bahkan dinilai sudah menjadi tempat yang buruk bagi kesehatan para penghuninya. Sejumlah besar penghuni usia lanjut sudah hidup dengan masalah kesehatan yang serius.

Menurut Eve Garrow, pengamat kebijakan tunawisma The American Civil Liberties Union (ACLU), masalah sanitasi dan akomodasi di beberapa tempat penampungan membuat sebagian besar warga tidak mungkin mematuhi tindakan pencegahan COVID-19 yang direkomendasikan oleh Centers for Disease Control (CDC). Tahun lalu, ia melaporkan betapa buruknya serta tidak amannya lingkungan hidup yang menjadi tempat tinggal para tunawisma di Orange County, Californa.

“Ini resep bencana. Jika COVID-19 berdampak pada orang di tempat penampungan, virus akan menyebar seperti api,” kata Garrow kepada The Guardian

Kurang lebihnya, itulah kondisi yang dihadapi para tunawisma di penampungan. Di sisi lain, tidak bisa dimungkiri bahwa hanya sebagian tunawisma tertampung dalam shelter. Selain jumlahnya yang terlampau banyak berbanding dengan lahan dan sumber daya yang terbatas, pendataan sering kali belum mencakup seluruh populasi tunawisma.

Sebuah artikel di Washington Post memperkirakan Pemerintah AS luput menghimpun lebih dari 200 ribu tunawisma yang berada di jalanan. Penyebabnya beragam: para relawan yang membantu pendataan belum tentu dapat menyisir setiap jalan, mengamati tiap sudut kota yang memungkinkan dihuni oleh para tunawisma, atau membujuk semua orang untuk menjawab dalam kurun waktu yang ditentukan. Sebuah studi bahkan memperkirakan perhitungan Kota New York mungkin meleset hingga setengah dari populasi para tunawisma di kota tersebut.

Kondisi pandemi yang mengharuskan semua orang mengarantina diri di rumah dan para pemberi bantuan bergerak sesuai dengan protokol, membuat banyak tunawisma di jalanan luput dari perhatian. Sedangkan, satu-satunya cara mereka untuk tetap hidup adalah dengan menadahkan tangan terhadap bantuan dari orang lain.

Willy, seorang tunawisma di Glasgow, menyatakan kekhawatirannya pada The Guardian sambil bersila di trotoar kota yang biasanya ramai tersebut.

“Tidak ada orang di sekitar, sehingga ini sulit. Artinya, saya tidak bisa makan apapun,” kata Willy  sambil menambahkan, “tentu saja aku takut, aku sangat takut. Tapi tidak ada yang bisa saya lakukan, diperlukan rumah atau atap di atas kepala untuk mengisolasi diri. Saya hanya bisa menjaga kesehatan diri saya sebisa mungkin.”

Sementara di Indonesia, hingga satu bulan COVID-19 dinyatakan sebagai pandemi dan tercatat 2.738 kasus positif pada Selasa (7/4), belum ada informasi resmi tentang perlindungan tunawisma yang diterbitkan oleh pemerintah. Padahal, pada bulan Agustus 2019, pemerintah memperkirakan ada sekitar 77.500 gelandangan dan pengemis yang tersebar di kota-kota besar di Indonesia.

“Tapi jumlah ini tidak bisa dijadikan patokan karena agak sulit mendata populasi gepeng (gelandangan dan pengemis), apalagi ini naik pada saat hari-hari besar seperti hari raya,” kata Menteri Sosial Agus Gumiwang Kartasasmita pada Kamis (22/8/2019), dikutip dari Antara.

Meski belum ada data resmi yang disediakan Kemensos RI, jumlah Masyarakat Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) di Jawa Tengah saja terhitung sebanyak 3,04 juta pada tahun 2019. Kenyataan ini jelas mengkhawatirkan. Selain hanya bisa mengacu data yang jauh dari kepastian, akses terhadap informasi ini terhadang proses birokrasi yang berbelit.

Saya sempat mencoba mengakses data dari Panti Sosial Bina Insan. “Harus dapat surat izin dulu dari Dinas Sosial, Mas,” kata petugas call center-nya. Ketika menghubungi pusat kontak Dinas Sosial DKI Jakarta, petugas yang mengangkat panggilan saya tidak mau menyambungkannya kepada pihak humas.

Saya juga tidak mendapatkan respons sama sekali ketika menghubungi Kementerian Sosial RI. Hal serupa juga dialami Harian Nasional ketika mencoba menghubungi Kemensos pekan lalu. Di Indonesia, nasib tunawisma semasa pandemi menjadi mimpi yang luar biasa buruk karena harus ditambah pula dengan keruwetan dan ketidakjelasan birokrasi.

Share: Bagaimana Nasib Tunawisma Selama Pandemi COVID-19?