General

Bagaimana Cara Menekan Angka Golput di Pemilu?

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Golongan putih alias golput selalu muncul menghantui setiap kontestasi politik baik itu di pentas pemilihan kepala daerah maupun pemilihan presiden. Di tahun politik ini terutama jelang Pilpres 2019, isu golput kembali menguat terutama di lini masa sosial media. Sejauh ini memang belum ada strategi paling ampun untuk menekan angka golput.

Di kancah perpolitikan Indonesia, golput jadi istilah yang populer dikampanyekan pada saat pemerintahan Orde Baru di bawah rezim Soeharto. Isu golput waktu itu ramai digaungkan oleh gerakan mahasiswa kepada masyarakat untuk tidak terlibat dalam pemilihan politik yang diselenggarakan pemerintahan Orde Baru. Faktor yang membuat golput menguat kala itu karena ketiga partai yang terlibat pemilu saat itu, seperti Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Demokrasi Indonesia, merupakan partai boneka dari kepentingan Soeharto sebagai presiden.

Namun, meski semangat untuk golput begitu besar di era Orde Baru, namun angka golput pada masa itu justru lebih rendah jika dibandingkan dengan angka golput di era reformasi. Setelah reformasi jumlah golput makin meningkat. Di Pemilu 1999, angka golput mencapai 10,4 persen.

Lalu di Pemilu 2009, golput legislatif mencapai angka 29,01 persen, di Pilpres 2009 angka golput mencapai 27,77 persen, sementara di Pileg 2004, di mana jumlah golput mencapai 15,9 persen dan angka itu malah meningkat pada pemilu presiden putaran pertama dan kedua masing-masing 21,8 persen dan 23,4 persen.

Baca Juga: Potensi Gelombang Golput dan Dampaknya di Pilpres 2019

Kini di era reformasi, meski keran kebebasan berpendapat dibuka seluas-luasnya, namun angka golput justru terus bertumbuh. Dengan berbagai alasan, golput diyakini masih akan tinggi di kontestasi Pilpres 2019 nanti. Sejauh ini, beberapa alasan yang paling kuat dari orang-orang yang bakal golput adalah karena kecewa dengan kepemimpinan yang ada dan tak ada capres pilihan yang sesuai dengan hati nurani di Pilpres 2019.

Hukuman Golput di Berbagai Negara

Meskipun di Indonesia tak ada hukuman yang diberikan kepada mereka yang memutuskan untuk golput, namun masyarakat sudah sering diingatkan soal tanggung jawab untuk memilih calon pemimpin yang akan memegang kekuasaan. Sayangnya, imbauan untuk memilih justru tak berpengaruh besar bagi orang-orang yang memilih golput.

Namun, beda dengan negara-negara lain yang justru menjatuhkan hukuman tertentu kepada warganya yang tidak menggunakan hak pilih di pemilu. Misalnya saja ada Belgia, negara tertua di dunia yang menempatkan pemungutan suara wajib, yang pertama kali diperkenalkan pada tahun 1892 hanya untuk pemilih laki-laki dan pada tahun 1949 pada pemilih perempuan.

Di pemilu, pemilih berusia 18 tahun ke atas dapat didenda jika mereka tidak memilih. Ada denda ringan, tetapi bila sudah setidaknya 4 kali tidak ikut pemilu ia akan kehilangan hak suara selama 10 tahun kemudian dan dipersulit dalam mendapatkan pekerjaan di sektor publik.

Tak hanya itu saja, sejumlah negara bahkan memberikan sanksi tegas bila warga negaranya tidak dapat membuktikan bahwa mereka telah berpartisipasi dan menggunakan hak pilihnya dalam pemilu, seperti misalnya di Australia. Di negeri kangguru itu, mereka yang gagal memverifikasi kehadiran mereka di pusat pemungutan suara dapat dikenakan denda sebesar AU $ 20 – AU $ 50 (Rp 215.014,87 – Rp 537.537,17) dan dapat dipenjara jika menolak membayar denda.

Baca Juga: Golput adalah Ekspresi, Bukan Sikap Apatis Pada Politik!

Negara-negara lain seperti Yunani akan memberlakukan hukuman kepada warganya yang golput dengan mempersulit dalam memberlakukan paspor dan surat izin mengemudi. Lalu, di Bolivia ada hukuman larangan mengambil gaji dari Bank di Bolivia atau bagi si miskin di Peru akan kesulitan mendapat bantuan sosial.

Berlanjut ke negara tetangga Singapura, di mana warga negara yang tak menggunakan hak pilihnya alias golput, maka nama mereka akan dihapus dari daftar pemilih. Mereka dapat mendaftar ulang, tetapi harus menyatakan alasan kegagalan mereka memilih sebelumnya.

Sementara di Italia, tak ada tindakan khusus yang akan dikenakan pada mereka yang tidak memilih. Meskipun demikian, absen di pemungutan suara dianggap sebagai pelanggaran moral dan akan menghadapi kesulitan dalam melanjutkan kehidupan di masyarakat. Sebuah surat yang dikenal sebagai ‘larangan tidak berbahaya’ akan dikeluarkan untuk non-pemilih yang menyebabkan orangtua yang sulit misalnya untuk mendapatkan pusat perawatan untuk anak-anak.

Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Bisa kah angka golput ditekan sebelum hari H pencoblosan di Pilpres 2019 nanti? Kalau pun ada, kira-kira cara seperti apa yang efektif untuk menghilangkan atau setidaknya meminimalisir tumbuh tingginya angka golput?

Adakah Cara Efektif Menekan Angka Golput di Indonesia?

Pengamat Politik dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Bakir Ihsan mengungkapkan bahwa ada sejumlah faktor yang membuat masyarakat di Indonesia akhirnya memilih untuk golput dan tak menggunakan hak pilihnya di pemilu. Ketiga faktor tersebut, lanjut Bakir, memiliki dasar yang berbeda-beda.

“Faktor menjadi Golput itu ada tiga, pertama masalah teknis, misalnya tidak terdaftar, waktu pencoblosan sedang ada halangan, misalnya sakit atau lainnya. Kedua masalah pengetahuan. Tidak tau informasi tentang Pilpres, Pileg, atau pemilihan lainnya. Ketiga masalah kesadaran di mana dari calon yang ada, namun tidak ada yang sesuai dengan harapannya” kata Bakir kepada Asumsi.co, Rabu, 23 Januari 2019.

Baca Juga: Melanggengkan Humor dalam Berpolitik

Menurut Bakir, masing-masing faktor tersebut membutuhkan solusi yang berbeda-beda. Misalnya saja untuk masalah teknis, Bakir mengatakan solusinya dengan cara memaksimalkan proses pendaftaran, sehingga tidak ada lagi pemilih yang tidak terdaftar. Lalu, bagi warga yang sakit, lanjut Bakir, penyelenggara harus pro aktif untuk memberikan kesempatan bagi yang sakit untuk mencoblos di hari H pemilu.

“Sementara masalah kurangnya pengetahuan pemilih bisa dilakukan melalui sosialisasi yang intens dan maksimal tentang urgensi partisipasi dalam pemilu. Adapun golput karena kesadaran pemilih akibat calon pemimpinnya yang tidak sesuai harapan, maka perlu langkah komprehensif khususnya dari partai politik untuk menawarkan calon pemimpin yang kredibel, berintegritas, dan memiliki kapasitas sesuai dengan harapan masyarakat,” ujar Bakir.

Lalu, berkaca pada situasi sekarang ini terutama jelang hari pencoblosan di Pilpres 2019 pada 17 April mendatang, Bakir mengatakan bahwa memang ada yang kecewa dengan pilihan calon pemimpin mereka. Sehingga, pada akhirnya, tak adanya pilihan yang sesuai dengan hati pun membuat orang banyak yang golput.

“Kalau golputnya karena kecewa terhadap calon yang ada, jalan keluarnya harus ada calon lain, tapi sudah tidak mungkin. Perlu diingat juga sebagian masyarakat golput karena ideologis, misalnya masyarakat yang menganggap demokrasi kafir, mereka pasti tidak ikut berpartisipasi,” ujarnya.

Bakir pun melihat masalah golput yang disebabkan karena faktor kesadaran, untuk mengubahnya memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Menurut Bakir, perlu proses panjang yang harus dilakukan oleh semua pihak, khususnya partai politik sebagai salah satu pihak yang bertanggungjawab atas munculnya calon pemimpin, yang bagi pelaku golput mengecewakan melalui agregasi dan artikulasi aspirasi masyarakat, sehingga pilihan partai sesuai dengan pilihan masyarakat.

“Tidak kalah pentingnya juga adalah peran civil society dan tokoh masyarakat untuk meyakinkan warga tentang urgensi memilih. Misalnya perlunya sosialisasi tentang pran orang-orang baik apabila tidak memilih, berarti memberi kesempatan para penjahat untuk menguasai negeri ini,” kata Bakir.

Share: Bagaimana Cara Menekan Angka Golput di Pemilu?