Isu Terkini

Bagaimana Cara Bergaul yang Aman Selama Pembatasan Sosial?

Raka Ibrahim — Asumsi.co

featured image

Semua orang sepakat: cara paling ampuh menghentikan laju pandemi COVID-19 adalah dengan bertahan di rumah dan berjauhan secara fisik dengan orang lain sebisa mungkin. Aturan lockdown, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), hingga anjuran physical distancing menegaskan pentingnya setiap orang menjaga jarak dan tidak menjadi calon penyebar virus. Namun, sudah jadi tabiat manusia untuk membangkang. Lebih lagi bila mereka muda, mabuk, dan berbahaya.

Kemarin (12/4), video yang menampilkan sekelompok warga negara asing (WNA) berpesta di Bali viral di dunia maya. Dalam video yang diunggah akun Instagram @infobalitoday tersebut, puluhan WNA tampak berpesta pora di pinggir kolam renang diiringi musik dentum musik dansa. Seperti dilansir Kompas.com, Kepala Satpol PP Badung I Gusti Agung Ketut Suryanegara menduga bahwa pesta tersebut berlangsung di sebuah vila di wilayah Cemagi, Bali.

Pesta tersebut dianggap melanggar Instruksi Gubernur No. 8551 Tahun 2020 yang telah ditetapkan oleh Gubernur Bali I Wayan Koster. Dalam instruksi tersebut, Pemda Bali membatasi kegiatan keramaian dan obyek wisata dengan menutup operasional obyek wisata, hiburan malam, meniadakan keramaian dan/atau hiburan, serta meniadakan kegiatan lain yang melibatkan banyak orang.

Ketika Bali, pulau sejuta beach club, melarang orang berkumpul atas dasar apa pun, kamu tahu persoalannya serius. Pesta para bule di Cemagi itu tambah mengkhawatirkan saat kamu mengintip data terkini soal kasus positif COVID-19 di Bali. Menurut Ketua Harian Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Provinsi Bali Dewa Made Indra, per Sabtu (11/4) lalu Bali mencatat 79 kasus positif COVID-19. Mayoritas kasus tersebut adalah imported case, atau penularan dari WNA atau WNI yang habis bepergian dari wilayah lain.

Namun, jangan langsung mengeroyok para bule yang berulah di Cemagi. Sebab, bukan mereka saja yang melanggar aturan lockdown atau physical distancing. Seperti dilaporkan The Guardian, kondisi lockdown justru berujung pada meningkatnya insiden “pesta lockdown” atau acara “minum-minum sebelum kiamat”.

Mayoritas peserta pesta sebelum kiamat ini entah anak muda yang disuruh studi jarak jauh, pekerja kantoran yang dapat keringanan work from home, atau keluarga-keluarga yang salah mengira bahwa ini kesempatan liburan dadakan. Di AS, misalnya, mahasiswa di Princeton University dikemplang dekannya setelah berulang kali bikin pesta internal di asrama yang dijuluki pesta “berdansa di bawah gunung berapi.”

Di Berlin, polisi tak hanya kerap menggrebek tongkrongan dan pesta-pesta bawah tanah. Mereka juga menutup lebih dari 60 bar dan klab yang menjuluki dirinya “Corona Speakeasies”–istilah untuk bar-bar tersembunyi yang menjual alkohol di AS pada era pelarangan alkohol. Bar terselubung tersebut hanya bisa dimasuki kalau kamu punya kenalan, atau bila kamu mengetuk pintunya dengan kode rahasia yang hanya diketahui segelintir orang. Macam di film mata-mata.

Sesuai julukannya, para Corona Speakeasies ini jadi tempat nongkrong dan mabuk-mabukan rahasia bagi para warlok yang bosan. Sudah tentu, tempat-tempat ini melanggar hukum. Ribuan orang telah meninggal akibat COVID-19 di Jerman, dan negara tersebut mempraktikkan aturan lockdown.

Di Skotlandia, Menteri Peradilan Humza Yousaf melaporkan bahwa aparat lokal telah mendenda ratusan orang hanya dalam kurun waktu sepekan gara-gara melanggar aturan physical distancing. Pada pekan pertama, 144 denda dikeluarkan oleh polisi Skotlandia–menanjak jadi 537 denda dalam sebulan. Mayoritas denda tersebut diberikan pada warga-warga bebal yang bikin pesta di rumah selama lockdown.

Adapun di Thailand, Kementerian Kesehatan melaporkan bahwa sejumlah pasien positif COVID-19 rupanya ketularan virus setelah mabuk-mabukan dan berbagi rokok dengan kawan-kawannya. Banyak dari mereka habis berpesta di bar atau pub, tak sedikit nongkrong bersama turis-turis asing yang ternyata membawa virus. Menteri Kesehatan Masyarakat Anutin Charnvirakul bahkan mengancam akan mengusir turis asing yang keluyuran dan menolak pakai masker.

Tentu ada alasan penting kenapa aparat di seluruh dunia berbondong-bondong membubarkan tongkrongan, tempat minum-minum, dan pesta. Kondisi tersebut amat memudahkan penularan. Menurut Joshua Barocas, pakar penyakit menular di Boston Medical Center, saat seseorang bersin, partikel air dari saluran pernapasan mereka dapat tersembur sejauh dua meter.

Partikel inilah yang di antaranya menularkan virus COVID-19. Bahkan partikel tersebut dapat tertiup lebih dari dua meter. Karena itulah, semua orang dituntut untuk tetap di rumah dan menjaga jarak 2 meter lebih dari satu sama lain.

Memang, lansia dan orang dengan riwayat penyakit kronis lebih rentan terhadap dampak terburuk COVID-19. Namun, bukan berarti orang yang sehat walafiat dan berusia muda tak mungkin terkena virus tersebut serta menyebarkannya ke orang lain. Studi teranyar dari Korea Selatan mengestimasi bahwa 2,300 dari setiap 8,100 kasus infeksi menjangkiti anak muda berusia 20-29 tahun.

Lebih genting lagi, studi dari British Medical Journal membeberkan bahwa 78% kasus positif COVID-19 tidak menunjukkan gejala sama sekali. Artinya, ia tak mungkin tahu bahwa ia positif COVID-19 kecuali ia tes ke fasilitas kesehatan atau gejalanya memburuk dan ia dites. Ketika tes itu tiba dan pasien dirawat, ia boleh jadi sudah menyebarkannya ke puluhan kenalan, yang kemudian menyebarkan ke kenalan mereka masing-masing. Sebelum kamu dapat tepuk tangan dan bilang “Corona!” ribuan orang sudah tertular gara-gara ulahmu.

Hanya, memang mustahil untuk seratus persen berdiam di rumah dan tidak berinteraksi secara fisik dengan siapapun. Banyak sekali orang tetap harus bekerja entah karena bidang kerjanya dianggap esensial (misal: transportasi, pangan, kesehatan) atau karena keuangannya cekak. Bahkan semisal kamu beruntung bisa physical distancing dan bekerja dari rumah, kamu tetap harus keluar rumah sesekali untuk belanja keperluan sehari-hari atau bila–amit-amit–salah seorang di rumahmu butuh penanganan medis.

Di luar kondisi darurat semacam itu, kebutuhan orang untuk bersosialisasi dan bertemu manusia lain tak dapat dipinggirkan begitu saja. Kecuali kamu pertapa legendaris dari film Wuxia, kamu tak mungkin tahan mengucilkan dirimu dari masyarakat selama berbulan-bulan. Lantas, kalau kamu masih tetap ingin bertemu orang lain atau jalan-jalan ke luar rumah, apa prasyaratnya supaya kamu dan orang-orang di sekitarmu tetap aman?

Menurut Albert Ko, pakar epidemiologi di Yale School of Public Health, kamu harus mengingat prinsip-prinsip dasar mencegah penularan virus: menjaga kebersihan dan menjaga jarak. Semisal kamu bisa nongkrong dengan temanmu sembari tetap menjaga jarak lebih dari 2 meter dari satu sama lain, seharusnya tidak masalah.

Kamu dapat mengobrol dari ambang pintu kosanmu dengan teman-teman satu kos lain, misalnya, atau bahkan berkumpul di depan rumah dan ngobrol sembari tetap berjauhan (seperti di foto ini).

Dalam kondisi sangat khusus, kamu bahkan dapat keluar rumah untuk berolahraga atau jalan kaki. Menurut Crystal Watson, peneliti di Johns Hopkins Center for Health Security, kamu dapat berolahraga atau jalan kaki di luar rumah asal di tempat yang sepi dan bukan tempat umum. Kalau pun kamu perlu ditemani seorang kawan, pastikan kamu jalan dengan teman yang sama (tidak berganti-ganti) dan kalian tetap menjaga jarak aman dari satu sama lain.

Tentu saja, ada beberapa prasyarat yang jadi harga mati. Pertama, semua siasat di atas tidak berlaku untuk orang yang menunjukkan gejala serupa COVID-19 atau orang yang rutin keluar rumah karena pekerjaannya. Mereka harus disiplin dalam physical distancing dan tak bisa kompromi, sebab mereka dinilai paling berisiko terpapar virus dan menularkannya ke orang lain.

Kedua, semua siasat tersebut berlaku untuk tempat-tempat yang privat atau “terkontrol” seperti perumahan, kos-kosan, atau apartemen. Kamu tetap tidak diperkenankan untuk olahraga di tempat umum seperti taman atau kolam renang umum. Lagi-lagi, kamu tidak tahu siapa yang habis berada di sana dan apakah mereka berpotensi jadi carrier virus.

Pada akhirnya, cara terbaik untuk menghindari terkena virus (atau tanpa sengaja menyebarkan virus ke orang lain) adalah dengan berdiam diri di rumah dan menjaga jarak dengan orang lain. Bukan cuma anak muda gila pesta yang gerah dengan aturan ketat tersebut, tetapi itu cara terbaik agar laju pertumbuhan pandemi segera dihentikan dan hidup kembali seperti semula.

Seperti kata Parquet Courts: “Travel where you are, tourism is sin!”

Share: Bagaimana Cara Bergaul yang Aman Selama Pembatasan Sosial?