Fenomena influencer yang kerap mempromosikan suatu barang dagangan milik orang lain kini kian menjamur. Mereka para influencer yang punya jumlah followers atau audience yang cukup banyak di media sosial, tentu memiliki pengaruh yang kuat untuk ngasih sugesti kepada pengikutnya di Twitter, YouTube, ataupun Instagram.
Dua tahun belakangan ini, para pengguna media sosial khususnya Instagram kerap dibanjiri dengan iklan-iklan berbagai bentuk. Dalam dunia promosi barang dan jasa di Instagram, ada dua istilah yang paling sering digunakan, yaitu endorse dan paid promote.
Endorse merupakan cara selebgram membantu usaha orang lain dengan mencoba secara langsung barang atau jasa yang dijual. Sedangkan, paid promote ini hanya membantu menyebar poster atau video yang sudah disiapkan oleh pemilik usaha tersebut.
Kerja sama antar selebgram dan pemilik usaha dengan cara paid promote ini biasanya memiliki ongkos yang lebih murah, sebab sang seleb hanya punya tanggung jawabnya untuk menyebar saja. Berbeda dengan endorsement, di mana para seleb punya tanggungan yang lebih berat. Salah satunya adalah adanya tugas memikirkan konten atau teknik berbicara di depan kamera, layaknya para artis yang mengisi iklan di televisi.
Sayangnya, para selebgram yang memiliki pengaruh kuat dalam memberikan rekomendasi suatu barang atau jasa milik orang lain terkadang tidak diimbangi dengan sifat yang bijaksana. Bebeerapa di antara mereka tak segan-segan merekomendasikan produk-produk palsu, bahkan obat-obatan yang tidak jelas izin edarnya.
Contohnya, mereka para selebgram yang memiliki badan ideal sering merekomendasikan beragam produk kecantikan, seperti: peninggi badan, pembesar payudara, dan masih banyak lagi. Bahkan, baru-baru ini pemilik akun Instagram @awkarin yang memiliki 3,5 juta followers mempromosikan akun bernama @kinam_alkes, yang menjual produk injeksi pembesar payudara dan pengencang vagina, lengkap dengan jarum suntiknya.
Hal ini pun akhirnya menjadi kontroversi tersendiri di media sosial. Penyebabnya, jarum suntik memiliki regulasi tersendiri terkait produksinya. Perlu kalian ketahui, Kementerian Kesehatan sebenarnya memiliki banyak regulasi yang mengatur tentang pengawasan alat kesehatan di Indonesia. Contohnya aja, ada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan, di mana pada Pasal 196 dituliskan bahwa;
“Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau syarat keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak satu miliar rupiah.”
Perusahaan industri farmasi pertama di Indonesia, Kimia Farma saja tidak menjual jarum suntik secara bebas. Sesuai dengan prosedur perusahaan, mereka hanya menjual jarum suntik jika ada permintaan atau resep langsung dari dokter. Hal itu memang perlu dilakukan, sebab jarum suntuk rawan disalahgunakan.
Meskipun Awkarin yang punya nama asli Karin Novilda itu sebenarnya bukan pihak yang menjual, namun dirinya turut membantu mempromosikan peredaran jarum suntik serta cairan injeksi yang tidak disertakan nomor edarnya. Tak ayal, para netizen pun ikut berkomentar dan mengkritik sikap Karin yang kurang bijak dalam memilih kerja sama endorse.
Duh gila banget sih ini. Emang akun nya ngga bisa ditindak ya? ???????????? https://t.co/7vFMBWiaDF— Ernest Prakasa (@ernestprakasa) August 7, 2018
Duh Ko, ini tuh banyak banget di IG. Orang jualan alkes sama jasa ini itu padahal orangnya nggak kompeten untuk melakukan tindakan tersebut. Endorser juga kurang kritis, malah bikin yang beginian tambah banyak.
Coba deh cek IG korbantukanggigi dan dokteroid. ????♀️— ???????? (@Christy_Kuri) August 7, 2018
Yg tanya kandungan obatnya . Ini ada info dari dokter @falla_adinda . Isinya estradiol . Itu hormon replacement therapy. Setiap Klinik Atau RS aja punya blm tentu punya obat ini loh . Bisa digoogle penggunannya untuk apa . Sedih akutuu ???? pic.twitter.com/kdc0ABr7TL— ???? (@sucasn) August 8, 2018
Oleh sebab itu, dalam Pasal 197 tertulis secara jelas, “Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak satu miliar lima ratus juta rupiah.”
Nah, berikut ini deretan regulasi penting yang mengatur tentang pengawasan alat kesehatan di Indonesia.