Covid-19

Awas Virus Corona Eek, Ini Bahaya dan Cara Cegah Penularannya

Ramadhan — Asumsi.co

featured image
Foto: Kemenlu RI

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melaporkan bahwa kasus mutasi virus SARS-CoV-2 varian E484K atau yang disebut juga “Eek” telah ditemukan di Indonesia, khususnya DKI Jakarta, setelah melalui pemeriksaan Whole Genome Sequence (WGS) pada Februari 2021. Apa itu virus Corona varian Eek?

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Kemenkes Siti Nadia Tarmizi, sudah mengonfirmasi kabar tersebut. Menurut Nadia, pemeriksaan spesimen virus Corona E484K dilakukan oleh otoritas berwenang di Indonesia sejak Februari 2021.

“Tetapi dilaporkannya [temuan kasus] pada 2 atau 3 hari yang lalu di GISAID oleh Lembaga Biologi Molekuler Eijkman,” kata Nadia seperti dilansir Antara, Senin (5/4/21). Adapun GISAID adalah organisasi nirlaba yang menyediakan bank data untuk acuan riset pengurutan genom virus Corona penyebab COVID-19.

Data mengenai persebaran varian-varian baru hasil mutasi virus Corona dari seluruh negara juga ditampung GISAID sehingga bisa diamati oleh semua peneliti di dunia.

Kenali Dulu Apa Itu Virus Corona Eek

Dalam laporan Reuters, Minggu (4/4), mutasi virus Corona E484K atau Eek oleh beberapa ilmuwan ditemukan pada 10 dari 14 orang yang dites positif COVID-19 di Tokyo Medical and Dental University Medical Hospital.

Sementara itu berdasarkan data Februari hingga Maret, terdapat 12 dari 36 pasien COVID-19 yang membawa mutasi virus Corona Eek. Padahal, tidak ada satu pun dari pasien itu yang baru-baru ini pergi ke luar negeri.

Mereka juga tidak terdeteksi melakukan kontak dengan pasien yang terinfeksi virus corona dengan mutasi Eek. Ini merupakan indikasi bahwa mutasi Eek menyebar via penularan lokal di Tokyo.

Mutasi corona E484K atau Eek ini pun diduga kuat bisa menurunkan kemanjuran vaksin. Karena itu, penemuan sebaran virus Corona Eek di Jepang memicu kekhawatiran. 

Mutasi virus corona Eek ini muncul di tengah persiapan Jepang menjadi tuan rumah Olimpiade musim panas pada Juli mendatang. Berdasarkan laporan, terdapat 446 infeksi baru virus Corona terjadi di Tokyo. Angka ini masih di bawah puncak penularan sebanyak 2.500 orang pada Januari. Di Osaka, laporan kasus infeksi baru muncul menembus rekor di angka 666.

Sementara di Indonesia, peringatan untuk mewaspadai risiko penularan varian virus Corona E484K sudah disampaikan juru bicara Satgas Penanganan COVID-19, Wiku Adisasmito, awal April lalu.

Menurut Wiku, E484K merupakan hasil mutasi dari B117, varian baru virus Corona (SARS-CoV-2) yang terbukti punya tingkat penularan tinggi dan pertama kali teridentifikasi di Inggris.

Wiku menjelaskan bahwa mutasi E484K yang terjadi pada protein spike virus Corona juga ditemukan di varian Afrika Selatan (B1351) dan Varian Brazil (P1).

“Berdasarkan hasil penelitian, varian ini lebih cepat menular. Oleh karena itu, masyarakat diminta tetap mematuhi protokol kesehatan di setiap aktivitas yang dilakukan, sebagai upaya mencegah penularan,” kata Wiku, Kamis (1/4). 

Apakah Virus Corona Varian Eek Bikin COVID-19 Lebih Kebal Vaksin?

Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Prof Amin Subandrio mengungkapkan bahwa mutasi virus Corona E484K atau Eek di Indonesia ditemukan pada pasien COVID-19 dengan infeksi varian B117 asal Inggris.

Dari 10 pasien varian B117, lanjutnya, satu orang terkena virus ini. Ia menambahkan, memang ada kemungkinan mutasi E484K atau varian Eek ‘lolos’ dari antibodi yang dibentuk oleh suntikan vaksin.

“Vaksin ini merangsang pembentukan antibodi. Antibodi punya spesifitas akan mengenal bagian tertentu dari virus, tidak seluruh bagian itu akan bisa dilawan. Hanya bagian tertentu saja oleh antibodi,” kata Prof Amin saat dikonfirmasi Asumsi.co, Rabu (7/4).

Memang, varian B117 terbukti manjur dilawan oleh vaksin COVID-19 yang sudah ada. Namun, mutasi E484K yang sejauh ini ditemukan pada pasien COVID-19 varian B117 berpotensi berbeda, sehingga antibodi yang terbentuk dari vaksin tak bisa mengenali mutasi ini.

“Setiap antibodi punya spesifitas hanya menempel ke bagian tertentu si virus. Kalau bagian itu (mutasi virus) berubah, antibodi jadi nggak bisa menempel lagi, nggak bisa mengenali lagi. Itu yang dikhawatirkan. Setidaknya, dayanya akan menurun.”

Meski begitu, menurut Prof Amin, belum ada pembuktian lebih lanjut terkait efikasi vaksin COVID-19 di laboratorium terhadap mutasi virus Corona E484K. Hingga kini, identifikasi mutasi-mutasi virus Corona termasuk E484K terus dilakukan. Pasalnya, mutasi ini bisa ada pada varian Corona lainnya seperti B1351 dari Afrika Selatan dan P1 dari Brasil.

Menurut Prof Amin, tidak ada perbedaan yang mencolok antara gejala infeksi mutasi E484K dengan mutasi Corona lainnya. Namun, penularannya berpotensi lebih cepat dibanding mutasi lainnya.

“Kekhawatirannya adalah yang utama, penularannya lebih cepat karena dia replikasinya lebih tinggi, lebih kuat sehingga dari situ dikhawatirkan akan lebih cepat menular dan menularkan ke banyak orang.”

Sementara itu, Ketua Tim Riset Corona dan Formulasi Vaksin dari Professor Nidom Foundation (PNF), Prof dr Chairul Anwar Nidom menjelaskan bahwa virus Corona E484K yang merupakan mutasi dari B117 ini memiliki tingkat penyebaran lebih cepat dan disebut kebal terhadap vaksin.

“Jadi, virus ini diduga dia akan mempunyai masalah dengan vaksin, karena dia tergolong dengan escape mutan. Yaitu mutasi yang disebabkan betul-betul oleh antibodi dalam diri pasien. Jadi kalau ada kecurigaan dengan vaksin ini harus hati-hati. Karena kesitu arahnya,” kata Prof dr Chairul Anwar Nidom, melansir Detik, Rabu (7/4).

“Mungkin tidak semua vaksin (kebal), tapi harus diselidiki dulu. Vaksin apa yang tepat, jadi misalkan AstraZeneca dan Sinovac itu tidak efektif dengan mutasi B117.”

Pakar biologi molekuler Dr. Ahmad Rusdjan Utomo memaparkan bahwa memang ada kemungkinan penularan mutasi virus Corona E484K yang ditemukan di Jepang berasal dari kontak dengan pasien tanpa gejala COVID-19 atau orang tanpa gejala (OTG). Menurutnya, persentase penularan dari OTG lebih rendah dari yang bergejala, tapi tidak nol.

“Setahu saya sih mutasi itu memang bagian alami dari virus Corona. Soal penularannya, misalnya Mr X yang kontak dengan pasien dengan imunokompromi, si Mr X tertular, tapi OTG, lalu si X ketemu sama Y. Nah Y kan nggak pernah ketemu sama si pasien (tapi bisa terkena),” kata Ahmad saat dihubungi Asumsi.co, Rabu (7/4).

Lalu, bagaimana cara mencegah penularannnya? Ahmad menyebut karena virus Corona E484K dinilai lebih cepat menular, maka tak ada jalan lain selain mencegah penyebaran mutasi baru ini dengan menjalankan protokol kesehatan yang ketat dan menjalankan 3T atau testing, tracing, dan treatment, di mana ia menekankan untuk memperluas contact tracing.

“Pencegahan penularannya memang tidak jauh beda dengan tipe yang lain yakni 5M+VDJ+3T. Mungkin yang lebih uren adalah VDJ karena ventilasi buruk dan durasi lama membuat penularan lebih mudah karena aktivitas lama dalam ruang tertutup ber-AC itu berisiko.” ujarnya.

Kondisi itu, kata Ahmad, sangat berisiko apalagi saat ini pemerintah sedang persiapan membuka sekolah dan belajar tatap muka. “Maka perlu dipikirkan kelas sekolah memiliki ventilasi baik, dan hindari AC.”

Sekadar informasi, protokol VDJ, alias Ventilasi-Durasi-Jarak, yang diterapkan pada diri dan lingkungan ini masih terbilang baru. V, yakni ventilasi yang artinya berkaitan dengan sirkulasi udara.

Adapun risiko penularan virus Corona lebih rendah jika ada aliran udara segar, namun beda ceritanya dengan ruangan yang tertutup seperti ber-AC, di mana udara kembali resirkulasi. Sehingga suhu dingin diyakini berpengaruh terhadap penyebaran virus Corona.

Para pakar mengungkapkan bahwa kondisi kering dan dinginnya suhu dapat memudahkan virus menyerang manusia. Selain itu, kondisi lingkungan seperti ini juga bisa membuat virus berkembang dalam waktu yang lebih lama.

Setelah ventilasi, ada pula aspek lainnya yang perlu diperhatikan, yaitu durasi atau “D”. Durasi ini juga menentukan penyebaran virus corona dalam satu lingkungan.

Sebab, semakin lama durasi kita berinteraksi dengan seseorang yang telah terinfeksi atau mengembangkan gejala-gejala COVID-19, maka semakin besar potensi penularan terjadi.

Sehingga, kini diwajibkan menggunakan masker, dan cobalah sebisa mungkin untuk mempersingkat waktu ketika melakukan kegiatan di luar rumah. Apsek yang terakhir adalah “J”, alias jarak. Untuk mencegah penularan virus Corona, setidaknya kita perlu menjaga jarak aman sejauh dua meter dengan orang lain, seperti yang dikemukakan oleh WHO dan pemerintah.

Share: Awas Virus Corona Eek, Ini Bahaya dan Cara Cegah Penularannya