Komisi Pemilihan Umum (KPU) merancang revisi Peraturan KPU (PKPU) menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020. Namun, draf aturan KPU itu dinilai masyarakat masih bermasalah lantaran membolehkan eks koruptor ikut pilkada dan malah melarang keikutsertaan pemabuk, pezina, dan pejudi.
Pilkada 2020 akan digelar di 270 wilayah di Indonesia yang meliputi sembilan provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Pemungutan suara akan berlangsung pada 23 September.
Dalam salah satu pasalnya, PKPU melarang seseorang yang punya catatan melanggar kesusilaan untuk mencalonkan diri sebagai gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati, dan wali kota-wakil wali kota dalam Pilkada 2020. “Tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang meliputi, satu, judi. Kedua mabuk, ketiga memakai atau mengedarkan narkoba, keempat berzina dan/atau melanggar kesusilaan lainnya,” kata Komisioner KPU Evi Novida Ginting Manik saat uji publik revisi PKPU Pilkada 2020 di kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (02/10/19).
Dalam Pasal 42 ayat (1) huruf h rancangan revisi PKPU, calon kepala daerah harus membuktikan diri mereka bebas masalah kesusilaan dengan SKCK dari polisi. Calon gubernur dan wakil gubernur harus meminta SKCK ke Polda. Sementara calon bupati dan wakil bupati atau calon wali kota dan wakil wali kota harus mendapat SKCK dari Polres.
KPU malah tak mengatur larangan terhadap bekas terpidana korupsi untuk mencalonkan diri. Padahal, jauh sebelumnya, KPU begitu gencar melempar wacana soal larangan eks koruptor untuk ikut dalam pilkada tahun depan.
Dari sekitar 30 poin dalam draf revisi PKPU Nomor 3 Tahun 2017 tentang pencalonan kepala daerah, tak ada satu pun poin larangan terhadap napi koruptor. PKPU tercatat hanya melarang mantan terpidana kasus bandar narkoba dan kejahatan seksual terhadap anak untuk ikut pilkada. Sementara untuk mantan terpidana kasus lainnya diminta untuk mengumumkan ke publik soal statusnya sebagai napi, kecuali telah menjalani masa hukuman lima tahun.
KPU mengakui bahwa pihaknya memang lupa memasukkan larangan napi koruptor tersebut. “Iya ini yang terlewatkan ya. Jadi nanti kami akan bahas ya,” kata Evi.
Evi beralasan KPU juga mempertimbangkan masukan partai politik. Dalam pertemuan itu, banyak perwakilan politik yang mengusulkan agar larangan untuk napi koruptor ikut pilkada tak perlu dicantumkan. KPU juga mempertimbangkan pengalaman mereka saat hendak mencantumkan aturan tersebut dalam PKPU Pemilu 2019.
“Apakah ini kemudian kita masukan atau menunggu revisi undang-undangnya (UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada). Jadi kami usulkan untuk dimasukkan ke revisi undang-undang,” ujarnya.
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) merespons rancangan revisi PKPU. Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini mengatakan larangan pemabuk, pezinah, pejudi, hingga pemakai dan pengedar narkoba untuk mencalonkan diri di pilkada sebenarnya bukanlah aturan yang baru.
Aturan yang kini dimasukkan dalam rancangan (PKPU) tentang Pencalonan di Pilkada 2020 ini, sebelumnya telah dimuat dalam PKPU Nomor 3 Tahun 2017. “Sejak Pilkada 2015 juga sudah ada pelarangan itu. Termasuk pula ketika Pemilu 2019,” kata Titi saat dihubungi Asumsi.co, Sabtu (05/10).
Namun, dalam PKPU 3/2017 tidak ada penyebutan rinci soal pezina, pemabuk, pejudi, hingga pemakai dan pengedar narkoba. PKPU itu hanya memuat larangan seseorang dengan catatan perbuatan tercela untuk maju di Pilkada 2020. Menurut Titi, definisi dari “perbuatan tercela” tersebut sudah dijelaskan lebih detail dalam UU No. 10 Tahun 2016 yang merupakan perubahan kedua atas UU No. 1 Tahun 2015.
Pengaturannya terletak pada penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf j UU No. 10 Tahun 2016 yang menyebutkan bahwa syarat calon kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak pernah melakukan perbuatan tercela berupa judi, mabuk, mengedarkan narkotika, dan zina. “Di Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum juga bisa ditemukan ketentuan yang sama,” ucapnya.
Titi mengatakan, larangan pezina, pemabuk, hingga pejudi maju di Pilkada kini menjadi kontroversial karena KPU tidak lebih dulu menjelaskan bahwa aturan tersebut merupakan turunan dari Undang-undang. “Sehingga tugas KPU adalah menjelaskan soal ini dengan baik pada publik agar tidak salah kaprah. Kalau ada yang keberatan maka bisa menguji UU-nya ke MK atau mendorong perubahan UU Pilkada,” katanya.
“Dalam Pasal 7 ayat (2) huruf j disebutkan bahwa tidak pernah melakukan perbuatan tercela itu dibuktikan dengan adanya Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK).”
Menurut Titi, norma tersebut jadi seolah-olah seperti pengaturan baru dan jadi kontroversial karena dalam rancangan PKPU Pencalonan yang diuji publik KPU kemarin, KPU memasukkan norma penjelasan UU 10/2016 itu ke dalam Pasal di batang tubuh PKPU. Sebelumnya, lanjut Titi, hal itu justru tidak diurai menjadi pointers pasal persyaratan calon oleh KPU.
“Sehingga banyak pihak yang tidak sadar keberadaannya. Jadi sederhananya, ini teknik legal drafting atau perancangan PKPU saja yang dilakukan berbeda oleh KPU, yakni memasukkan seluruh norma penjelasan UU ke dalam batang tubuh PKPU,” kata Titi.
Titi menyebut kontroversi muncul karena bisa jadi tak semua orang menguasai aturan pilkada yang ada. Padahal, lanjutnya, ketentuan tersebut selama ini tak lebih sekedar formalitas, karena dipenuhi oleh calon yang dengan mudahnya hanya menyertakan SKCK saja. “Saya kira hampir tidak ada calon yang tidak mendapat SKCK.”
Untuk itu, Titi menegaskan bahwa sudah jadi tugas KPU untuk menjelaskan soal ini dengan baik pada publik agar tidak salah kaprah. Kalau ada yang keberatan maka bisa menguji UU-nya ke MK atau mendorong perubahan UU Pilkada
Lebih lanjut, Titi juga menyarankan agar KPU menyiapkan revisi UU Pilkada untuk melarang pencalonan terpidana kasus korupsi atau mantan koruptor di Pilkada 2020. Titi menegaskan bahwa kalau larangan itu diatur dalam UU, maka landasan hukumnya akan menjadi lebih kuat.
“Dalam pandangan kami justru kami mendorong agar pengaturan tersebut diadopsi di dalam regulasi setingkat undang-undang karena kalau itu pun di PKPU, akan mengandung kerentanan digugat para pihak ke MA,” kata Titi.
Titi sendiri sebetulnya tak mempermasalahkan KPU tidak mencantumkan larangan eks koruptor ikut Pilkada 2020 dalam draf PKPU tersebut. Ia menilai KPU malah terkesan sedang menyusun taktik untuk meloloskan larangan pencalonan mantan koruptor. Sebab saat mengatur larangan itu di Pemilu 2019 lewat PKPU Nomor 20 tahun 2018, KPU digugat ke Mahkamah Agung.
Saat itu, gugatan dilakukan oleh beberapa caleg yang pernah terjerat kasus korupsi, seperti M Taufik, Djekmon Emisi, dan Wa Ode Nurhayati. Pada September 2018, MA mengabulkan gugatan uji materi untuk pembatalan larangan itu. PKPU 20/2018 dinilai bertentangan dengan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Lebih lanjut, MA menyarankan seharusnya larangan pencalonan mantan koruptor ada di tingkat undang-undang. Saat ini, menurut Titi adalah kesempatan baik bagi KPU jika serius ingin membatasi hak politik para koruptor, sehingga KPU disarankan mulai melakukan lobi untuk revisi UU Pilkada.
Menurut Titi, pengaturan soal pencalonan mantan napi korupsi sebaiknya diatur dalam revisi UU Pilkada. Sebab, pengaturan dalam materi muatan UU soal pencalonan para mantan napi korupsi dan pelaku kejahatan berat lainnya di pilkada terbilang sangat mendesak.
“Itikad baik KPU mestinya disambut progresif oleh pembuat UU, agar pilkada betul-betul bisa jadi saringan bagi keterpilihan pemimpin daerah yang berintegritas. Akan sulit kalau norma seperti itu hanya diatur di PKPU. Terlalu banyak kontroversi dan perdebatan, serta pasti akan menuai gugatan ke MA oleh para mantan napi korupsi yang ingin ikut pilkada,” ujarnya.