Isu Terkini

Atlet Asian Para Games Butuh Semangat, Bukan Iba

Winda Chairunisyah Suryani — Asumsi.co

featured image

Beberapa hari terakhir, kabar tentang sepinya penonton Asian Para Games terus bermunculan. Kemudian mulailah banyak orang-orang yang ngajak nonton pertandingan. “Yuk, nonton, yuk! Kasian tau enggak ada yang nonton!”

Sejujurnya saya agak enggak setuju dengan bentuk kalimat ajakan seperti itu. Menonton pertandingan olahraga antar bangsa-bangsa se-Asia itu tujuannya ya untuk memberikan semangat para atlet-atlet kita, bukan karena kasihan. Siapa coba yang mau ‘dikasihani’ saat ingin berjuang mengharumkan nama Indonesia?

Tapi ya udah lah, meski diajak dengan kalimat yang demikian, saya tetap menonton Asian Para Games dengan nawaitu menyalurkan energi semangat untuk para inspirasi. Maka saat datang untuk pertama kalinya ke Balai Kartini untuk melihat pertandingan goalball Indonesia melawan Korea Selatan, saya enggak malu buat teriak berkali-kali ‘IN-DO-NE-SIA’, terus tepuk tangan ‘prok-pro-prok’.

Padahal saya sendiri datang di akhir-akhir pertandingan, di mana kemenangan sangat sulit diraih sebab poin timnas telah tertinggal jauh. Benar saja, kontingen Indonesia kalah telak dengan skor akhir 8-19. Tapi, percaya deh, dari kacamata saya yang tebal ini, buat ukuran altet yang baru pertama kali bertanding skala internasional, semangat timnas ini enggak ada matinya!

Baca juga: Goalball: Perdana Untuk Timnas, Menarik Bagi Penonton

Pendapat saya ini ternyata juga sama dengan pelatih tim goalball putra Korea Selatan Chu Soonyoung, ia menyanjung kegigihan yang ditunjukkan oleh timnas kita. “Ternyata Indonesia susah untuk ditaklukkan. Indonesia sangat kuat, semakin lama kemampuan mereka semakin berkembang. Dia punya power yang luar biasa,” kata Soonyoung seperti dikutip dari laman resmi Asian Para Games, 10 Oktober 2018.

Beneran deh, meski mata para atlet ditutup, tapi kelihatan kok dari gerak-gerik mereka, enggak loyo sama sekali sampai akhir pertandingan. Saya percaya hal itu salah satu faktornya karena para supporter yang enggak berhenti ngasih semangat tiap kali timnas berhasil memasukkan bola ke gawang lawan.

Sekedar Informasi nih, bahwa pertandingan saat itu, tepatnya Rabu, 10 Oktober 2018, tempat duduk penonton penuh, bahkan saya sempat enggak bisa masuk. Tapi berkat kemampuan ‘menyilnap’ di tengah-tengah kerumunan orang, saya berhasil masuk dan dapat tempat duduk. Di situ saya mulai enggak percaya dengan berita tentang Asian Para Games 2018 yang katanya sepi peminat.

Untuk memastikan agar keyakinan saya lebih absolut, maka saya berpindah tempat dari Balai Kartini ke Stadion Gelora Bung Karno (GBK), karena di sana menjadi tempat yang paling banyak pertandingannya. Tempat yang pertama saya singgahi di GBK adalah ke Plaza Festival untuk mencari makan siang. Benar saja, di sana sepi, pengunjung bahkan bisa dihitung jari.

Plaza festival menjadi tempat berburu kuliner di perhelatan Asian Para Games 2018. Foto: Winda/Dok. Asumsi.co

Tapi usut punya usut, sepertinya hal itu terjadi karena harga-harga makanan yang dijual bisa dibilang mahal bagi sebagian orang. Semangkuk bakso malang dipatok harga Rp 35 ribu, segenggam kebab Rp 30 ribu, dan segelas es teh manis harganya Rp 10 ribu, dengan rasa yang biasa aja, namun sedikit membantu mengganjel perut kosong.

Beberapa meter dari Plaza Festival ada venue untuk pertandingan badminton. Kebetulan di sana juga sedang berlangsung beberapa nomor badminton. Dengan membayar Rp 25 ribu, saya dapat tempat duduk serta ruangan ber-AC, dan tentunya bisa menyaksikan berbagai kategori yang diperuntukkan untuk atlet-atlet difabel.

Ada yang pakai kursi roda, ada yang menggunakan kaki palsu, ada pula yang hanya punya tangan satu. Saya kagum sekali dengan koordinasi serta keseimbangan yang mereka lakukan. Bayangin deh, menangkis raket lawan sekaligus mengemudikan kursi roda, menurut saya itu hanya bisa dilakukan oleh tangan-tangan manusia super.

Setelah menonton, saya mulai memperhatikan orang-orang yang berada di luar arena pertandingan. Di sana, tidak ada lagi ‘mata-mata jahil’ dan ekspresi wajah iba tiap melihat perbedaan fisik. Semua berjalan beriringan. Sikap inklusif yang memandang positif ketika berhadapan dengan perbedaan inilah yang paling saya kagumi dari perhelatan Asian Para Games 2018.

Ibu-ibu mendokumentasikan anak-anaknya yang baru saja selesai menonton pertandingan badminton Asian Para Games 2018. Foto: Winda/Dok. Asumsi.co 

Di balik pro kontra Indonesia menjadi tuan rumah, saya rasa ini menjadi salah satu langkah yang tepat untuk mengedukasi masyarakat, bagaimana hidup berdampingan dengan perbedaan. Bukan hanya beda agama dan ras saja, tapi kita juga perlu terbiasa dengan perbedaan bentuk fisik, perbedaan kemampuan sistem otak. Kelainan yang dimiliki orang lain tak semestinya membuat kita jadi ekslusif dan berpandangan negatif.

Saya pahami, masih banyak orang yang bingung saat bertemu dengan mereka yang berkebutuhan khusus di tempat umum, hal itu juga terjadi pada saya. Ada niat ingin membantu, tapi khawatir salah sikap dan malah jadi menyakiti perasaan. Hal itu terjadi karena masyarakat tidak terbiasa berdampingan dengan orang-orang berkebutuhan khusus. Mungkin kita yang tidak mau membuka diri, dan tidak mau mencoba berkomunikasi.

Tak puas hanya menonton dua jenis cabang olahraga, saya pun menunggu matahari terbenam untuk melihat pertandingan atletik yang berlangsung di stadion utama GBK. Di sana ada lomba lari dengan berbagai kategori, ada juga melompat serta lempar cakram.

Supporter yang menonton pertadingan cabang olahraga altetik Asian Para Games di Stadion GBK, Rabu, 10 Oktober 2018. Foto: Winda/Dok. Asumsi.co

Keriuhan penonton yang memberikan dukungan pun masih sama ramainya dengan goalball. Apalagi saat Indonesia Raya dikumandangkan sebagai selebrasi kemenangan tiga pelari Indonesia sekaligus di nomor 100 meter T13. Kategori itu adalah kompetisi lari jarak pendek untuk para altet berpenglihatan terbatas dengan jarak maksimal enam meter.

Hingga sekitar pukul 9 malam, penonton masih banyak yang berseliweran di sekitaran GBK. Bahkan bus Transjakarta yang berkeliling secara gratis untuk membantu mobilitas penonton ke berbagai stadion tak pernah kosong, dan selalu hampir semuanya penuh. Dari sini bisa kita simpulkan, bahwa Asian Para Games tidak sesepi yang ada di berita-berita.

Bahkan di hari itu, kontingen Indonesia juga sudah berhasil lampaui target 16 medali emas. Hingga Rabu, 10 Oktober 2018 malam kemarin saja, Indonesia tercatat mengumpulkan 86 medali yang terdiri dari 23 medali emas, 29 perak, dan 34 perunggu. Perolehan ini menjadi raihan medali terbanyak sepanjang sejarah keikutsertaan Indonesia di Asian Para Games, dan itu masih terus bertambah mengingat pertandingan masih terus berlangsung hingga Sabtu, 13 Oktober 2018 besok.

Para penonton mengantre naik bus Transjakarta setelah menyaksikan pertandingan atletik Asian Para Games 2018. Foto: Winda/Dok. Asumsi.co

Terus semangat, #ParaInspirasi!

Share: Atlet Asian Para Games Butuh Semangat, Bukan Iba