Budaya Pop

Apakah Rapper Asia Melakukan Apropriasi Budaya? Yang Jelas, Amerika Serikat Bukan Pusat Dunia

Raka Ibrahim — Asumsi.co

featured image

Mainkan “Indonesia Raya”, sebab ada satu peristiwa lagi yang bikin dada Overproud Indonesians kembang kempis. Video klip “Cashmere” karya rapper Ramengvrl ditanggapi Cardi B, T.I, dan Chance the Rapper. Cuplikan reaksi mereka ditayangkan akun media sosial Netflix Indonesia sebagai bagian dari promosi acara pencarian bakat Rhythm & Flow. “She just said that?” ucap Cardi B dengan tampang terperangah. “Oh shit, she just said that!”

Tiga tahun lalu, trik serupa pernah digunakan untuk mengenalkan dunia kepada Brian Imanuel alias Rich Brian, rapper belia Jakarta yang masih menggunakan nama Rich Chigga. 88rising, label sekaligus manajemen Brian, merekam reaksi rapper tenar seperti Flatbush Zombies, 21savage, Desiigner, dan Ghostface Killah terhadap “Dat Stick”, single perdana Brian.

Respon antusias mereka menjadi titik tolak bagi karier Brian yang sejauh ini telah menghasilkan dua album dan serangkaian tur yang sukses. Saat artikel ini ditulis, video tersebut telah ditonton lebih dari 20 juta kali.

Tentu Rich Brian tidak sendirian. Ia adalah bagian dari angkatan baru yang menegaskan kelindan erat Asia dengan hip hop. Kian meluasnya akses internet, momentum pasca PSY memaksa seisi bumi bergoyang “Gangnam Style”, hingga kerja keras label ngotot seperti 88rising mendorong hip hop Asia keluar dari cangkangnya. Panggung-panggung festival besar dunia pun tak asing lagi dengan rapper Asia seperti Keith Ape, Dumbfoundead, dan Higher Brothers.

Dobrakan para jago Asia dalam kancah hip hop tentu tak lepas dari ontran-ontran. Rapper-rapper muda ini kerap dituding melakukan apropriasi budaya–sebuah praktik adopsi budaya ras atau suku tertentu secara serampangan oleh anggota ras atau suku lain. Dalam konteks hip hop, subyek ini tambah penting. Subkultur tersebut lahir dari masyarakat kulit hitam miskin perkotaan Amerika Serikat. Elemen visual, lirik, musikal, maupun praktik-praktik dalam kancah hip hop begitu terikat dengan latar belakang tersebut. Kehadiran bocah-bocah ingusan dari dataran jauh yang mendadak berlagak ghetto, berdandan ala gangsta, dan memainkan musik trap tentu tidak dianggap main-main.

Hip hop Asia pun berulang kali tersandung skandal tak penting, seolah memamerkan posisi mereka sebagai anak bawang dalam konstelasi hip hop global. Pada tahun baru 2018, Brian mengumumkan bahwa ia hendak memensiunkan nama panggung lawasnya, Rich Chigga. Keputusan tersebut menyudahi rangkaian kontroversi yang membuntutinya sejak “Dat Stick” mendunia. Brian tak hanya menggunakan julukan Chigga (penggabungan kata China dan kata-N), ia sengaja mengucapkan banyak kata-N dalam lagu tersebut.

“Saya ingin membuat orang tidak begitu sensitif terhadap kata tersebut dan mengambil kekuatan di balik kata tersebut,” kata Brian saat diwawancarai Genius. “Kemudian saya sadar bahwa saya tidak berada dalam posisi yang tepat untuk melakukan itu.” Sejak saat itu pula, tiap manggung ia mengganti kata-N di bait yang bersangkutan dengan “people.

Kasus agak berbeda terjadi pada Higher Brothers, grup hip hop asal Chengdu, Cina. Sekali waktu, wartawan Sumiko Wilson menghadiri konser mereka di Kanada dan menyadari sesuatu yang ganjil. “Sebagai seorang kulit hitam, saya merasa dikerubungi oleh Kehitaman yang penuh sandiwara,” tulis Wilson untuk Now Toronto.

Ia mengaku heran mendengar Higher Brothers berulang kali menggunakan gaya berbahasa Inggris khas komunitas kulit hitam di Amerika Utara dalam lirik dan interaksinya dengan penonton. “Anehnya,” lanjut Wilson. “Hanya ada segelintir orang kulit hitam yang terlihat di kerumunan.”

Tak seperti Rich Brian yang berubah setelah dikritik, Higher Brothers bersikukuh. Penelusuran Wilson menelanjangi betapa canggungnya mereka dalam menangani pertanyaan ihwal apropriasi budaya. Dalam wawancara dengan VICE, personel bernama MasiWei menjelaskan bahwa ia mengidolakan Eminem “karena dia kulit putih, itu artinya orang Cina bisa seperti orang kulit putih yang tetap jago bikin musiknya kulit hitam.”

Higher Sister, pembuka konser Higher Brothers, lantas mati-matian membela kawannya dari tuduhan aproproasi budaya. “Konsep ‘budaya’ adalah karangan!” katanya mengeluh di Instagram. “Kalau aku dengar kata ‘apropriasi budaya’ sekali lagi, aku bakal muntah.”

Penting untuk dicatat bahwa perdebatan ini kian riuh usai rapper-rapper tersebut mulai menjejakkan kaki di Amerika Utara, tanah kelahiran hip hop. Dalam konteks Amerika Utara, relasi antara hip hop dengan komunitas Asia-Amerika jauh lebih canggung. “Identitas ‘Asia-Amerika’ masih belia dan belum mampu merangkum pengalaman kolektif keturunan Asia di Amerika,” tulis Muqing M. Zhang di Colorlines. “Karena itulah komunitas Asia-Amerika belum membangun khazanah budaya yang kohesif dan berbeda dari budaya kulit hitam, kulit putih, serta budaya Asia Daratan.”

Bagi Zhang, “kekosongan budaya” ini diisi dengan pencurian aspek-aspek tertentu dari budaya kulit hitam, termasuk hip hop. Zhang melihat gejala ini di musisi serta figur budaya Asia-Amerika seperti Eddie Huang, Awkwafina, hingga Nigahiga. Banyak dari mereka menyangkal tuduhan apropriasi budaya dengan berkilah bahwa mereka tumbuh dikelilingi banyak kulit hitam, atau berlindung di balik identitas mereka sebagai sesama minoritas etnis.

Namun bagi esais Kenyon Farrow, praktik ini tetaplah bermasalah. “Komunitas Asia-Amerika menggunakan kultur hip hop untuk menegaskan dominasi mereka terhadap tubuh kulit hitam tanpa turut serta dalam pembebasan kulit hitam,” kritiknya. Bagi Farrow, komunitas Asia-Amerika hanya mengambil apa yang tampak keren dari kultur hip hop, tetapi menafikan signifikansi politis dari budaya tersebut. “Sebagai keturunan budak, barang orang lain, tak ada yang kami punya,” katanya. “Semua yang kami lakukan, termasuk hip hop dan spoken word, dapat dilakukan oleh siapa saja.”

Di sisi lain, musisi kulit hitam Amerika Serikat berulang kali mengapropriasi budaya Asia. Missy Elliott dan Timbaland menggunakan motif musik bhangra di “Get Your Freak On” dan memasukkan seorang petarung Jepang dan bapak-bapak India di video klipnya. Beyonce sempat dicibir akibat memakai baju bertema India di video klip lagunya bersama Coldplay, “Hymn for the Weekend”. Menjelang rilisnya album DAMN, Kendrick Lamar pun memperkenalkan alter ego anyarnya: seorang jagoan bela diri bernama Kung Fu Kenny.

Pada 2018, rapper Nicki Minaj melepas single kontroversial berjudul “Chun Li”. Melalui lagu tersebut, Minaj tak hanya menyisipkan stereotipe Asia dalam liriknya serta memberi angin bagi alter egonya, Harajuku Barbie. Ia memprakarsai #ChunLiChallenge, di mana fans-nya diajak mengirim video lip sync diiringi lagu tersebut. Tentu, tantangan ini berujung pada timbunan unggahan #ChunLiChallenge di media sosial yang dinilai tak sensitif terhadap budaya Asia.

Namun, kasus paling gawat tentu melibatkan grup hip hop pionir Wu Tang Clan. Kelompok tersebut membangun karier di atas nukilan estetika Asia Timur dan lirik yang memadukan kritik sosial, refleksi atas kehidupan mereka yang keras, serta infusi filosofi Asia kuno. Pemimpin mereka, RZA, pun tak malu-malu mengaku sebagai maniak film-film Wuxia. Malah, ia kerap mengambil efek suara, dialog, dan potongan musik dari film-film tersebut untuk beat khas Wu Tang Clan.

Gelagat Wu Tang Clan dan Kendrick sebetulnya dapat dimaklumi. Bahkan sebelum kemunculan hip hop, budaya Asia dan kulit hitam telah menjalin relasi yang rumit. Menulis untuk Complex, Shawn Setaro menjelaskan bahwa pada dekade 1970an, bioskop-bioskop di daerah kumuh New York getol menayangkan film laga Hong Kong. Penyebabnya sederhana: film-film tersebut murah, dan bisa dibeli kodian.

Sepanjang satu dekade, kaum miskin kota yang mayoritas kulit hitam dicekoki film-film laga Hong Kong. Budayawan Adisa Banjoko, yang diwawancarai oleh Setaro, mengutarakan bahwa film-film tersebut laku sebab ia pas dengan semangat zaman. “Kita kerap lupa bahwa hip hop terlahir dari puing gerakan hak sipil, dan gerakan tersebut begitu terikat dengan upaya mengembalikan harga diri laki-laki kulit hitam.” Ucap Banjoko.

“Film-film ini–terutama film Bruce Lee dan Shaw Brothers–banyak berkisah tentang satu pria yang melawan sebuah organisasi, atau satu orang yang menentang negara yang lalim,” lanjut Banjoko. “Perlawanan ini pun dilakukan dengan tangan kosong, sehingga dekat dengan hati kaum miskin kota. Kamu tidak perlu menjadi kaya raya untuk memiliki keterampilan tersebut. Kamu hanya perlu bekerja keras dan tekun.”

Bagi cendekiawan Joseph Schloss, film-film tersebut pun memengaruhi pola kerja hip hop. “Hampir selalu ada sosok karakter yang belajar dari seorang guru,” tutur Schloss. “Hal itu menunjukkan bahwa kamu dapat menghormati seorang mentor tanpa mesti kehilangan harga diri.” Menurut Schloss, ini adalah salah satu inspirasi di balik kultur di mana seorang rapper senior akan menjadi produser sekaligus “mentor” bagi rapper junior. Sosok maesenas yang tegas tetapi mengayomi seperti Dr. Dre dan Diddy terilhami oleh praktik ini.

Tentu saja, budaya Asia bukanlah “leluhur sesungguhnya” dari hip hop. Klaim semacam itu tak hanya picik dan ngawur, tetapi juga reduktif. Hip hop lahir dari sejarah panjang opresi, keterpinggiran sosial-politik, dan keterpurukan urban yang memberatkan minoritas etnis di Amerika Serikat, terutama kulit hitam. Budaya Asia hadir dalam konstelasi tersebut, dan dengan satu atau lain cara, keduanya berkelindan.

Di sisi lain, ketegangan antarras dalam konteks Amerika Serikat diperparah oleh perlakuan ras mayoritas yang tak berimbang. Sejak abad ke-20, komunitas Asia di Amerika mengemban titel menggelikan “minoritas panutan.” Argumen rasis tersebut menyatakan bahwa minoritas Asia-Amerika berhasil meraih pendidikan tinggi dan posisi penting dalam perekonomian negara sebab mereka bekerja keras, memprioritaskan keluarga, dan tak banyak mengeluh. Hal ini dikontraskan dengan stereotip tentang minoritas kulit hitam di Amerika Serikat. Tak heran bila debat kusir minoritas panutan mengemuka pasca pembebasan budak di Perang Saudara, dan bertambah tajam kala gelombang protes hak sipil kulit hitam bergejolak pada dekade 1950an.

Tak hanya untuk mendiskreditkan gerakan hak sipil, narasi minoritas panutan pun dipelihara agar publik tak perlu menghadapi fakta bahwa keterpurukan minoritas ras di Amerika Serikat terang-terangan disebabkan oleh rasisme struktural. “Kemajuan komunitas Asia-Amerika tidak disebabkan oleh etos kerja, Ibu galak, atau norma Konfusius,” tulis Jeff Guo di Washington Post. “Tetapi karena Amerika memperlakukan kami dengan lebih baik.”

Relasi kompleks ini berarti kedua budaya–kulit hitam maupun Asia–sebetulnya sering meminjam simbol satu sama lain. Dalam pertukaran ini, tak heran bila ada makna yang luput. Dalam esainya untuk Nextshark, Nia Tucker berpendapat bahwa “orang Asia mengambil alih budaya kulit hitam supaya tampak lebih maskulin, sementara kulit hitam mengambil simbol budaya Asia supaya mereka tampak lebih berbudaya tanpa dituduh agresif.”

Komunikasi antara kedua budaya ini pun canggung, bahkan kerap menyinggung. Terdapat sejarah panjang rapper kulit hitam yang melontarkan lirik-lirik nonsens tentang budaya Asia, mulai dari Drake, Kanye West, hingga Childish Gambino. Fenomena ini termaktub dalam dua kasus menarik: Hopsin dengan lagu “Happy Ending” dan Skepta dengan nomor “Asian Girl.” Dalam “Happy Ending”, Hopsin mengisahkan perjalanannya ke panti pijat plus-plus yang disesaki masseuse perempuan penggoda dari dataran Asia. Dongeng ajaib ini dirajutnya pula dalam video yang kontroversial. Menariknya, nomor “Asian Girl” dari Skepta justru melecehkan perempuan keturunan India–bekas jajahan Inggris, negara asal Skepta.

Hal ini menunjukkan bahwa hip hop juga sedang bergumul dengan problem ketimpangan kuasa antara Global North dengan Global South. Maka, ketika perdebatan tentang apropriasi budaya digiring ke konteks hip hop dari Asia daratan, muncul berbagai persoalan baru yang lebih kompleks. Baik Ramengvrl maupun Rich Brian berasal dari etnis Cina Indonesia. Meski tentu situasinya berbeda dengan kulit hitam di Amerika, minoritas Cina di Indonesia jelas telah menjadi korban penghapusan budaya, genosida, diskriminasi sistemik, serta pelanggaran hak asasi manusia.

Dalam video reaksi terhadap lagu Ramengvrl, rapper Chance the Rapper pun sempat mengeluarkan celetukan menarik. “Eh, apakah dia bersama perempuan kulit hitam?” tanya Chance saat melihat Ramengvrl berpose bersama kawannya di video tersebut. “Ada kulit hitam di Indonesia?” Netizen lokal pun cepat tanggap menerangkan bahwa di Indonesia, terdapat suku minoritas Ambon dan Papua yang berkulit agak gelap. Selama sepersekian detik, kita diundang untuk mempertanyakan apakah definisi “kulit hitam” lebih luas dari bayangan Chance.

Sebab, seberapa lancarkah kita nanti melayangkan tuduhan apropriasi budaya terhadap kancah hip hop yang begitu marak di Papua? Sejarah opresi mereka telah terekam dalam sejarah. Bagaimana pula kita memosisikan rapper seperti Joe Million dan Rand Slam? Keduanya tidak “berkulit hitam” sebab sama-sama bukan orang asli Papua. Tapi mereka sejak kecil di Papua, berbicara dengan logat Papua, sadar tentang signifikansi budaya Papua serta konteks sejarah serta kekerasan di sana, dan terang-terangan nge-rap soal kemerdekaan Papua? Budaya siapa yang mereka apropriasi?

Bahkan, ambil contoh Higher Brothers. Respon defensif mereka terhadap tudingan apropriasi budaya memang tak bijak. Namun, pertimbangkan konteks mereka. Akibat akses internet yang luar biasa terbatas di Cina, grup tersebut mesti menggunakan VPN dan sembunyi-sembunyi memproduksi musik hip hop. Judul album debut mereka, Black Cab, tak hanya mengacu pada taksi gelap yang wara-wiri di jalanan Chengdu. Frasa tersebut adalah metafor untuk musik hip hop yang hanya bisa diakses secara ilegal di Cina.

Tentu mereka mesti belajar lebih jauh tentang hip hop. Namun, seberapa jauhkah kita layak berharap mereka terekspos pada diskursus rumit yang membuntuti sejarahnya? Mau bagaimanapun juga, mereka berasal dari negara di mana akses terhadap perbincangan-perbincangan tersebut nyaris mustahil.

Dobrakan Rich Brian–dan barangkali segera disusul Ramengvrl–menunjukkan bahwa percakapan tentang hip hop dan apropriasi budaya telah sungguh-sungguh mendunia. Narasi Asia-Amerika dan pisau analisis yang begitu terpaku pada Amerika tak lagi cukup. Tobatnya Rich Brian dari julukan lawasnya yang menyinggung menunjukkan bahwa dialog antarbudaya ini dapat berlangsung dengan lebih mulus. Rapper muda mancanegara dapat belajar tentang budaya tersebut, menghormatinya, dan mengamalkannya selagi tetap menghormati muasalnya sendiri. Namun kini, percakapan tersebut mesti terjadi dua arah.

Share: Apakah Rapper Asia Melakukan Apropriasi Budaya? Yang Jelas, Amerika Serikat Bukan Pusat Dunia