Isu Terkini

Apakah Menjadi Miliarder Merupakan Pelanggaran Etika?

Permata Adinda — Asumsi.co

featured image

“Menurut saya, seharusnya miliarder itu tidak ada.” Anand Giridharadas, penulis Winners Take All: The Elite Charade of Changing the World mengatakan itu dalam episode terbaru Patriot Act with Hasan Minhaj. Anand dan Hasan kemudian menguraikan bahwa kegiatan filantropi orang-orang terkaya di dunia tak berdampak signifikan dalam mengentaskan kemiskinan dan mengurangi kesenjangan ekonomi.

Kegiatan amal justru merupakan cara untuk menghindari pajak dan memengaruhi pemerintah dalam membuat kebijakan. Ia mencontohkan Bill Gates yang memengaruhi pengesahan undang-undang tentang pengadaan sekolah charter (sekolah negeri yang dijalankan secara privat) di Washington DC dengan menyumbangkan jutaan dolar untuk kampanye.

Anand menganalogikan perilaku para miliarder dengan karakter fiktif Bruce Wayne atau Batman. “Batman adalah contoh perilaku semua plutokrat. Kamu dan perusahaanmu membuat masalah di siang hari, lalu di malam hari kamu memakai kostum dan berpura-pura kamulah solusi dari masalah itu,” ujar Anand.

Dalam Winners Take All, ia juga memaparkan hasil investigasinya tentang ketimpangan ekonomi. Menurutnya, “solusi” orang-orang kaya untuk memperbaiki dunia tak lain dari upaya untuk mengalihkan pandangan publik dari permasalahan yang mereka timbulkan.

Filantropi Tidak Menghapuskan Ketimpangan

Dengan melebarnya ketimpangan ekonomi di berbagai belahan dunia, orang-orang terkaya di dunia pun semakin mendapat sorotan. New York Times memuat artikel opini bertajuk “Abolish Billionaires” pada Februari lalu. Huffington Post mempertanyakan keberadaan miliarder lewat artikelnya “Should Billionaires Even Exist?”

Alexandria Ocasio-Cortez menyatakan bahwa tidaklah bermoral untuk hidup di masyarakat di mana ada miliarder di dalamnya. “Ada yang salah dengan sistem yang membiarkan keberadaan miliarder ketika masih banyak orang tidak punya akses ke layanan kesehatan,” kata AOC. Ia juga mengusulkan untuk menetapkan pajak sebesar 70% pada orang dengan pendapatan lebih dari US$10 juta setiap tahunnya.

AOC dan kekhawatirannya tentang ketimpangan ekonomi tidak sembarangan. Hasil laporan Oxfam International yang dirilis pada awal Januari lalu menunjukkan semakin gawatnya ketimpangan ekonomi di dunia kini: sebanyak 26 orang di dunia punya kekayaan setara dengan 3,8 miliar orang termiskin di dunia.

Laporan ini juga menyebutkan bahwa kekayaan 2.200 miliarder dunia meningkat sebanyak 12%–sementara orang termiskin di dunia menjadi semakin miskin karena kekayaannya menurun sebanyak 11%. Tak hanya itu, orang-orang miskin di beberapa negara juga membayar pajak dengan persentase lebih besar dari orang-orang kaya.

Ketimpangan ini tak terselesaikan dengan kegiatan-kegiatan amal yang seringkali dilakukan para miliarder dunia. Mark Zuckeberg dan istrinya, Priscilla Chan, misalnya, pernah mendonasikan US$3 miliar untuk mengatasi krisis permukiman di daerah Silicon Valley. Menurut mereka, donasi ini dibuat dalam rangka mendukung keluarga yang kesulitan mencari rumah dan mendukung penelitian untuk mencari solusi yang lebih berjangka panjang.

Silicon Valley punya reputasi sebagai salah satu daerah dengan ketimpangan ekonomi yang besar. Harga rumah di daerah ini telah meningkat dua kali lipat selama tahun 2012-2017 lalu, menjadi sekitar US$2 miliar. Mark dan Priscilla sekilas terlihat hendak membantu mengentaskan permasalahan ini. Namun, jika dikulik lebih dalam, salah satu penyebab utama meningkat tajamnya harga rumah di Silicon Valley adalah Facebook—yang pada periode itu penggunanya berlipat ganda dan nilai perusahaannya turut meningkat tajam.

Pajak Lebih dari Filantropi

Di Amerika Serikat, beramal atau memberikan donasi juga berpengaruh pada nilai pajak yang mesti diserahkan. Dengan berdonasi, seseorang tidak perlu membayar pajak atas uang yang mereka donasikan.

Namun, hal ini tidak berlaku bagi orang-orang berpenghasilan rendah. Sebab, pengurangan pajak dengan berdonasi ini punya standar pengurangan yang hanya bisa dicapai oleh orang-orang kaya: estimasinya, hanya 10% pembayar pajak yang menerima subsidi pajak setelah kebijakan ini berlaku.

Jurnal ilmiah “Founders’ Fortunes and Philanthropy: A History of the U.S. Charitable-Contribution Deduction” dari Universitas California Selatan menunjukkan bahwa pengurangan pajak ini dibuat dengan tujuan membuat industri berskala besar menyumbang lebih banyak.

Sejak lebih dari seabad lalu, pemangku kebijakan percaya bahwa layanan-layanan publik seperti panti asuhan, perpustakaan, rumah sakit, dan lain-lain lebih baik disumbangkan oleh orang-orang kaya daripada jadi kewajiban negara. Kebijakan ini berakhir membuat orang kaya diuntungkan dengan keringanan pajak.

Padahal donasi orang-orang kaya ini belum tentu menguntungkan bagi publik. Hasil sensus “Wealth-X 2019 Billionaire Census” menunjukkan bahwa kurang dari 1% orang terkaya di dunia yang berdonasi untuk perumahan dan shelter charities, banyak miliarder yang memilih almamaternya sebagai target donasi, dan lebih memilih berdonasi untuk hal-hal yang menarik minat publik.

Ekonom Gabriel Zucman juga mengkompilasi data jumlah uang yang didonasikan oleh 20 orang terkaya di Amerika Serikat pada 2018. Hasilnya, kebanyakan orang-orang seperti Jeff Bezos (CEO Amazon), Mark Zuckerberg, dan lain-lain hanya mendonasikan 0,3% kekayaannya ke publik. Persentase tertinggi dicapai oleh Warren Buffett yang menyumbangkan 3,9% kekayaannya dan Bill Gates yang menyumbangkan sebesar 2,6%.

Sementara itu, orang-orang dengan pendapatan yang jauh lebih rendah terbukti lebih dermawan menyumbangkan uangnya. Sebanyak 20% orang paling miskin di Amerika Serikat menyumbangkan 3,2% penghasilannya untuk amal.

Untuk mengentaskan masalah ini dan supaya distribusi penyaluran uang dapat lebih merata serta sesuai kebutuhan, penetapan pajak kekayaan yang lebih besar diusulkan. Elizabeth Warren mengusulkan pajak sebesar 2-3%, sementara Bernie Sanders mengusulkan pajak sebesar 1-8% bergantung dari jumlah kekayaan seseorang. Usulan ini pun dikritik oleh Bill Gates yang mengatakan bahwa penetapan pajak yang terlalu besar dikhawatirkan akan menghambat inovasi. Ia juga menyebutkan bahwa kegiatan filantropi penting untuk melakukan apa yang tidak bisa dilakukan pemerintah.

“Jika saya mesti membayar pajak sebesar US$20 miliar, bukan masalah. Tapi jika jumlahnya mencapai US$100 miliar, saya mesti berpikir ulang,” kata Bill Gates merespons usulan Elizabeth dan Bernie.

Bernie Sanders merespons balik Bill Gates lewat Twitter. Ia mengatakan menetapkan pajak sebesar US$100 miliar bagi Bill Gates sebenarnya adalah ide yang baik. “Kita bisa mengakhiri tunawisma dan memastikan air minum tersedia bagi semua orang di negeri ini. Bill tetap akan jadi seorang multimillionaire,” kata Bernie.

“Pesan kami: para miliarder tak bisa memiliki semua ketika banyak orang yang tak punya apa-apa,” katanya lagi.

Share: Apakah Menjadi Miliarder Merupakan Pelanggaran Etika?