Isu Terkini

Apakah Larangan Berdiskusi Melanggar Nilai Demokrasi?

Hafizh Mulia — Asumsi.co

featured image

Sudah 20 tahun reformasi Indonesia berlalu. Kala itu, ribuan orang memenuhi jalanan di ibu kota, meminta Soeharto untuk turun sekaligus meminta pemerintah mengembalikan hak-hak masyarakat untuk dapat bersuara. Kini, dua puluh tahun berselang, kita sebagai warga negara Indonesia tengah menikmati apa yang telah diperjuangkan. Kebisingan-kebisingan yang diciptakan oleh demokrasi yang pernah kita harapkan akhirnya bisa dirasakan.

Namun sebaliknya, kini justru bermunculan diskursus-diskursus yang menyatakan bahwa demokrasi Indonesia justru sudah kebablasan. Lebih parah lagi, ada yang mencoba untuk melarang diskusi-diskusi, yang sebenarnya adalah akar dari nilai demokrasi itu sendiri. Sebenarnya, bagaimana idealisme demokrasi yang dijalankan negara-negra lain, terutama negara Barat? Lalu, apakah larangan diskusi yang terjadi belakangan ini sudah melanggar nilai-nilai demokrasi yang sesungguhnya?

Nilai-Nilai Demokrasi Ideal

Demokrasi merupakan sebuah gagasan tentang tata kelola pemerintahan yang berkembang dengan pesat di negara barat. Demokrasi ini diciptakan beriringan dengan pemisahan antara praktek agama dan negara, seperti yang termuat dalam Traktat Westphalia 1648. Demokrasi sendiri secara esensial berarti kuasa oleh rakyat. Dalam demokrasi, dengan sistem dan mekanisme tertentu, rakyat di suatu negara memiliki hak memilih, mengkritik, mendukung, dan menurunkan kepala pemerintahan. Jika rakyat kehilangan satu dari haknya ini, demokrasi bisa menjadi pincang.

Immanuel Kant, salah satu pionir demokrasi, memperkenalkan istilah “Republik” dari pemikirannya. Di saat yang bersamaan, gagasan demokrasi saat itu masih belum begitu terkenal. Dalam penjelasannya mengenai Republik, seperti yang dijelaskan dalam Ensiklopedia Filosofi Stanford, adalah bentuk pemerintahan yang di dalamnya terdapat pemisahan kekuasaan antara eksekutif dan legislatif. Lebih lanjut, Kant pun melihat bahwa dalam proses legislasi, tidak perlu seluruh rakyat yang harus memilih, tetapi hanya representatif yang dipilih oleh rakyat. Bentuk demokrasi ini lah yang dianggap Kant sebagai bentuk demokrasi terbaik.

Dalam bentuk pemerintahan yang sedemikian rupa, demokrasi tentu memiliki nilai-nilai idealnya sendiri agar dapat berfungsi dengan baik. Beberapa di antaranya adalah, berdasarkan Ensiklopedia Britannica, demokrasi dapat menjaga kepentingan fundamental rakyatnya, memastikan hak  fundamental rakyatnya, memastikan kebebasan personal rakyatnya, memberikan kesempatan maksimal untuk rakyat menetapkan hukum yang mengaturnya, memberikan kesempatan maksimal untuk rakyat berpartisipasi dalam kebijakan pemerintah, dan memberikan kesetaraan politik.

Dari sini, terlihat bahwa sebenarnya nilai-nilai dari demokrasi yang ideal jelas: menjaga hak individu sebagai warga dan memberikan kepastian hukum untuk dapat berperan dalam proses pemerintahan. Bentuk kritik terhadap pemerintah merupakan sesuatu yang diperlukan, dan demokrasi juga memastikan adanya perlindungan terhadap hal tersebut.

Demokrasi Dalam Konteks Indonesia

Setelah mengetahui nilai-nilai ideal dari demokrasi itu sendiri, tentu kita tidak bisa mengambil secara keseluruhan nilai ideal dari demokrasi, secara tiba-tiba meletakannya pada sistem pemerintahan di Indonesia, dan berharap kesuksesan nyata. Perlu analisis historis dan ideologis untuk melihat bagaimana demokrasi dapat diletakkan dalam konteks masyarakat Indonesia.

Dalam konteks historis, Indonesia telah melalui beragam fase bentuk pemerintahan. Pertama, bentuk pemerintahan kerajaan yang kental semenjak kerajaan Hindu-Buddha didirikan. Lalu, masuklah pemerintah koloni yang bersifat otokratik dan membuat pribumi Indonesia berada pada tatanan terendah. Kemudian, ketika merdeka, bentuk pemerintahan Indonesia adalah demokrasi. Namun, demokrasi terpimpin ala Soekarno dan ‘demokrasi’ ala Soeharto menandakan sebenarnya bentuk asli pemerintahan Indonesia belumlah demokratik. Semenjak reformasi, barulah Indonesia dapat merasakan demokrasi yang paling mirip dengan demokrasi yang ideal.

Berangkat dari konteks historis, terdapat satu makna yang dapat ditarik, yaitu Indonesia sebenarnya baru benar-benar pernah mengalami kebisingan demokrasi di masa reformasi ini. Dari dulu, masyarakat Indonesia selalu berada dalam bentuk pemerintahan yang membuat warganya ‘teratur’ dan ‘seragam’. Akibatnya, ketika kini dibebaskan untuk berbicara, banyak pihak yang mengalami gegar budaya. Untuk dapat mengakomodasi hal ini, meletakkan demokrasi harus dilakukan secara perlahan. Jika tidak, tentu akan banyak resistensi-resistensi dari pihak-pihak yang masih terkaget-kaget dengan kebebasan dalam demokrasi ini.

Kemudian, dalam kontekes ideologis, Indonesia merupakan negara yang telah beberapa kali mengalami pergantian ide secara dominan. Dominasi gagasan nilai animisme dan dinamisme pernah tergantikan dengan dominasi gagasan Hindu-Buddha. Kemudian, dominasi gagasan Hindu-Buddha di tatanan masyarakat Indonesia tergantikan dengan Islam. Dominasi gagasan Islam ini pun tergantikan di beberapa wilayah dengan gagasan agama Katolik seiring masuknya koloni barat ke Indonesia. Semenjak merdeka, dominasi gagasan ideologis di Indonesia adalah Pancasila. Pancasila menjadi ideologi yang medominasi karena dianggap dapat merangkul seluruh perbedaan di Indonesia.

Berangkat dari konteks ideologis ini, meletakkan demokrasi berarti harus kompatibel dengan Pancasila. Lima asas Pancasila harus didahulukan, baru demokrasi dapat mengikutinya. Dengan begitu, demokrasi tidak akan kebablasan, karena Pancasila, yang menjadi acuan hidup seluruh warga negara Indonesia secara resmi, telah didahulukan.

Kemudian, Apakah Larangan Diskusi Termasuk Menodai Nilai-Nilai Demokrasi?

Kembali lagi ke pertanyaan awal, untuk melihat apakah larangan berdiskusi ini merupakan pelanggaran demokrasi di Indonesia, jawabannya tentu iya. Sebagai negara yang secara konstitusi demokratis, Indonesia harus dapat menjamin kebebasan berekspresi warganya, selama masih dalam tatanan menjaga demokrasi itu sendiri. Melarang adanya diskusi dalam bentuk apapun, selama diskusi tersebut tidak bertujuan mengubah tatanan demokrasi itu sendiri, merupakan sesuatu yang seharusnya tidak terjadi di negara yang demokratis. Jika pelarangan ini berlanjut, demokrasi Indonesia dapat dikatakan telah pincang.

Namun demikian, untuk menyikapi pelarangan diskusi, tidak dapat dilakukan tindakan-tindakan balasan yang justru kontra produktif. Karena secara kontekstual, Indonesia baru merasakan kebisingan demokrasi ini. Jika adanya pelarangan diskusi seperti ini, salah satu tindakan yang seharusnya dilakukan bukanlah berteriak-teriak secara tidak perlu, tetapi pendekatan pemahaman dan kajian yang lebih dalam mengenai demokrasi itu sendiri. Dengan begitu, akan lebih banyak warga Indonesia yang lebih paham dengan esensi dari demokrasi itu sendiri.

Hafizh Mulia adalah mahasiswa tingkat akhir program sarjana di Departemen Hubungan Internasional Universitas Indonesia. Tertarik dengan isu-isu ekonomi, politik, dan transnasionalisme. Dapat dihubungi melalui Instagram dan Twitter dengan username @kolejlaif.

Share: Apakah Larangan Berdiskusi Melanggar Nilai Demokrasi?