Isu Terkini

Apakah Anak Magang Harus Dibayar?

Raka Ibrahim — Asumsi.co

featured image

Sudah jatuh, tertimpa boomer. Kiranya begitulah gambaran nasib anak muda masa kini yang mesti menanggung perihnya masa magang, lalu terpaksa melayani debat soal apakah pengabdian mereka layak dibayar. Pertanyaan soal apakah anak magang harusnya dibayar memang telah lama jadi persoalan kontroversial, baik di Indonesia maupun dunia. Untuk memulai percakapan ini secara beradab, dan memahami hak dan kewajiban seorang anak magang, kita tidak sepatutnya mengacu kepada KBBI. Cukup bersandar pada aturan hukum.

Ada dua produk hukum utama di Indonesia yang mengatur persoalan magang–Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, serta Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 36 tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pemagangan di Dalam Negeri. Mudahnya, UU Ketenagakerjaan dan Permenaker 36/2016.

Pertama-tama, kita harus menegaskan dulu apa yang dimaksud dengan “magang”. Menurut kedua aturan tersebut, pemagangan adalah “bagian dari sistem pelatihan kerja yang diselenggarakan secara terpadu antara pelatihan di lembaga pelatihan dengan bekerja secara langsung di bawah bimbingan dan pengawasan instruktur atau pekerja/buruh yang lebih berpengalaman, dalam proses produksi barang dan/atau jasa di perusahaan, dalam rangka menguasai keterampilan atau keahlian tertentu.”

Apakah anak magang berhak dibayar? Tentu saja. Menurut Pasal 22 Ayat (2) UU Ketenagakerjaan, peserta magang berhak memperoleh uang saku dan/atau uang transportasi, memperoleh jaminan sosial tenaga kerja, dan memperoleh sertifikat apabila lulus di akhir program.

Jaminan sosial yang dimaksud adalah jaminan kecelakaan kerja dan kematian, seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Apabila perusahaan tempatmu bekerja tidak menyediakan jaminan sosial, mereka bisa mendapatkan sanksi administratif dari pemerintah.

Mereka pun harusnya tidak boleh main-main terkait kontrak dan jangka waktu pemagangan. Menurut Pasal 10 ayat (2) Permenaker 36/2016, perjanjian pemagangan antara anak magang dan perusahaan harus diketahui dan disahkan oleh Kabupaten atau Kota setempat dalam jangka waktu paling lama tiga hari kerja. Perjanjian tersebut pun wajib mencantumkan hak dan kewajiban peserta pemagangan, hak dan kewajiban penyelenggara pemagangan, program pemagangan, dan besaran uang saku.

Menurut Pasal 6 ayat (7) Permenaker 36/2016, jangka waktu magang pun dibatasi paling lama satu tahun sejak perjanjian ditandatangani. Misalkan ada kondisi khusus di mana untuk mencapai kualifikasi kompetensi tertentu membutuhkan magang lebih dari setahun, maka harus ada perjanjian pemagangan baru dan harus dilaporkan lagi ke Dinas Kabupaten atau Kota setempat.

Bahkan, ada angin segar untuk siapa saja yang magang untuk keperluan kuliah. Tahun ini, Kemenristek Dikti menerbitkan Keputusan Menteri Nomor 123/M/KPT/2019 yang mengatur pengukuran satuan kredit semester (SKS) untuk magang kuliah. Dalam aturan baru tersebut, program magang selama 45 jam akan dihitung setara satu SKS. Mahasiswa pun bisa mengikuti program magang minimal satu bulan dengan lima hari kerja per minggu, dan waktu magang tidak boleh lebih dari delapan jam sehari.

Di atas kertas, perlindungan hukum untuk pemagang di Indonesia sepertinya lumayan oke. Tetapi, realita di lapangan jauh panggang dari api dengan aturan hukum.

Mari menilik kembali definisi “magang” menurut UU Ketenagakerjaan. Esensi dari magang, menurut definisi hukum, adalah untuk menambah pengalaman atau menguasai keterampilan atau keahlian tertentu. Hal inilah yang menjadikannya rancu dengan orang yang magang untuk keperluan akademik–misalnya mahasiswa kedokteran yang melakukan koas, atau mahasiswa pemasaran yang magang jadi copywriter demi memenuhi prasyarat kampus.

Mengacu pada interpretasi ahli legal di Hukumonline.com, seseorang yang magang untuk keperluan akademis tidak termasuk dalam definisi “pemagang” menurut UU Ketenagakerjaan–sebab mereka magang demi keperluan akademis, bukan demi mengasah keterampilan. Namun, bagi Ketua Umum Serikat SINDIKASI Ellena Ekarahendy, siapapun yang magang atas alasan apapun seharusnya dilindungi oleh UU Ketenagakerjaan dan dijamin haknya.

“Dalam proses pelatihan kerja itu saja sudah ada hubungan kerja di dalamnya,” terang Ellena. “Ada perintah kerja, ada pemberi kerja, ada jenis pekerjaan yang harus diselesaikan. Karenanya, ada upah yang harusnya diberikan.” Singkat kata, walaupun kamu magang demi nilai kuliah, pada praktiknya kamu sudah bertindak sebagai pekerja. Oleh karena itu, kamu layak mendapat hak-hak pekerja sebagaimana semestinya: termasuk jaminan sosial, sertifikat, dan uang saku.

Namun, adanya ranah abu-abu ini menjadikan anak muda rentan dimanfaatkan tenaganya oleh perusahaan yang “nakal”, apalagi saat mereka magang demi memenuhi keperluan kuliah. “Yang katanya hanya untuk kebutuhan akademis, akhirnya dipelintir jadi kesempatan buat cari tenaga kerja murah.” Kritik Ellena. “Bisa coba tanya berapa banyak anak magang yang beban kerjanya sudah seperti pekerja betulan.”

Persoalan lain adalah keterikatan pemagangan dengan sistem pelatihan kerja. Secara praktik, pelatihan kerja ini kerap diorganisir oleh lembaga pelatihan kerja (LPK) yang “menyalurkan” anak magang ke perusahaan-perusahaan besar. Kamu pasti tepok jidat saat tahu bahwa LPK-LPK ini kerap menyalahi aturan dan menipu anak magang dengan janji-janji surga.

Tirto menelusuri praktik kejam ini dalam investigasinya pada 2017. Makelar-makelar dari LPK akan mendatangi sekolah di kota-kota kecil. Mereka membawa tawaran menggiurkan: uang saku yang mendekati UMR, janji dikontrak setelah magang sekian bulan, hingga fasilitas tempat tinggal di mess. Namun ada prasyarat yang mengejutkan: mereka harus membayar uang muka sekian juta di depan sebagai “uang administratif”. Bila tidak, gaji pertama mereka akan dipotong dan jalur mereka dikontrak akan bertambah sulit.

Bagi banyak anak muda di kota-kota kecil yang tidak memiliki prospek kerja cerah, tawaran ini amat menarik. Mereka nekat membayar “uang muka” tidak jelas itu, diboyong ke kawasan industri, lantas terlunta-lunta selama berminggu-minggu–bahkan ada yang berbulan-bulan–menunggu “panggilan magang” yang tak kunjung datang. Sebagian menyerah dan pulang kampung. Sebagian memperoleh pekerjaan lain di kota. Hanya segelintir yang bisa sungguh-sungguh magang di perusahaan–itupun belum tentu di perusahaan yang dijanjikan, dan dengan nilai uang saku serta fasilitas yang di bawah standar.

Permenaker 36/2016, yang harusnya mempertegas perlindungan bagi pemagang belum diberlakukan secara baik di lapangan. Menurut aturan tersebut, pencari kerja boleh ikut program magang perusahaan di kawasan industri. Namun, banyak pekerja magang justru ditempatkan pada bagian penunjang produksi. Kontrak kerja pun tidak jelas–peserta magang menerima kontrak berdurasi antara tiga bulan sampai satu tahun, dan kontrak tersebut dapat disudahi secara tiba-tiba tanpa penjelasan berarti. Jaminan mereka diangkat jadi pegawai pun hampir tidak ada.

Meski implementasinya masih compang-camping, pemerintah masih bersikeras ngegas dengan program magang. Bagi pemerintah, magang adalah solusi praktis untuk menanggulangi tingginya angka pengangguran anak muda dan mempermudah penyerapan tenaga kerja. Bahkan sejak 2017, pemerintah memberikan subsidi biaya sertifikasi magang. Tahun itu, 56 ribu orang tercatat mengikuti program magang di berbagai perusahaan lintas industri. Pada 2019, pemerintah mencanangkan peserta sebanyak 210 ribu orang.

Lembaga pengamat hak buruh Trade Union Rights Centre (TURC) sempat mengkritik komitmen pemerintah yang lembek untuk melindungi peserta magang. Jenis pekerjaan yang bisa dimagangkan tidak ada batasannya, berbeda dengan praktik outsourcing yang membatas jenis pekerjaan tertentu yang dapat di-outsourcing. Selain itu, tidak ada standar minimal pembayaran upah bagi peserta magang.

Tak heran bila TURC menyebut bahwa metode magang berpotensi sekadar menjadi “pengganti praktik outsourcing“. Perusahaan dapat memperoleh pekerja dengan harga luar biasa murah sebab secara legal, mereka hanya diwajibkan membayar uang saku dan transportasi–itupun kalau dibayar. Menurut Ellena, penelusuran tim SINDIKASI pun telah mendapatkan indikasi bahwa pemerintah meneken MoU dengan beberapa “serikat buruh kuning” atau abal-abal untuk mendorong program pemagangan.

“Sebenarnya banyak peraturan dan perundangan kita yang punya itikad baik,” pungkas Ellena. “Yang selalu jadi kendala adalah pengawasan dan sanksi. Seringkali, industri pendidikan hanya tunduk pada industri lain agar sekadar bisa menampung lulusannya.”

Pada akhirnya, setiap orang patut tahu bahwa anak magang sekalipun memiliki hak. Uang tidak tumbuh dari dahan pohon, dan tagihan tak bisa dibayar dengan exposure. Karena itulah UU Ketenagakerjaan ada dan diberlakukan hingga sekarang. Ketika anak muda–termasuk anak magang–berdiri dan menuntut haknya, mereka tidak sedang merengek manja. Mereka sedang memperjuangkan sesuatu yang dilindungi secara hukum.

Share: Apakah Anak Magang Harus Dibayar?