Isu Terkini

Apa yang Terjadi di Hutan Adat Pubabu, Timor Tengah Selatan?

Permata Adinda — Asumsi.co

featured image

“Hutan adat bukanlah hutan negara.” Pernyataan ini telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi lewat perkara No. 35/PUU-X/2012, tetapi hak-hak masyarakat adat masih diabaikan hingga saat ini.

Presiden Joko Widodo yang memakai busana adat Timor Tengah Selatan pada upacara HUT RI ke-75 pada 17 Agustus lalu menuai kritik keras. WALHI menilai bahwa “masyarakat adat sekadar dianggap konten pelengkap”, sementara hutan adat Pubabu di wilayah tersebut sedang mengalami penggusuran paksa karena proyek Pemerintah Provinsi NTT.

Apa yang terjadi di hutan adat Pubabu?

Sejak 4 Agustus 2020, pemerintah daerah dan aparat penegak hukum mendatangi warga di desa Linamnutu, Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT untuk menginformasikan akan dilaksanakannya penggusuran. Warga yang menolak penggusuran tersebut tetap tinggal di rumah mereka. Ketika sejumlah rumah telah dihancurkan, mereka juga tetap tinggal di posko darurat yang dibangun di tanah kosong di seputar wilayah penggusuran sebagai wujud perlawanan. Pada 18 Agustus, warga di posko darurat diusir oleh aparat penegak hukum menggunakan tindakan-tindakan represif.

Aparat mengancam warga dan melakukan tembakan sebanyak tiga kali untuk mengusir warga. Beberapa anak sempat ditahan dan mengalami kekerasan. Begitu pula dengan perempuan yang mengalami pelecehan seksual.

Rima Shalam selaku Koordinator Divisi Sumber Daya Alam WALHI NTT mengecam keras tindakan aparat tersebut. Pemerintah semestinya melakukan pendekatan persuasif dan mendengarkan langsung aspirasi warga sehingga tercipta win-win solution. “Tindakan yang dilakukan itu bukan tindakan persuasif untuk meminta warga keluar dari situ, tapi malah menggunakan tindakan-tindakan yang represif. Masyarakat ini mau dengan apa mereka melawan? Mereka juga bukan musuh yang siap berperang. Mereka masyarakat biasa,” ujar Rima kepada Asumsi.co (19/8).

Konflik tanah di wilayah hutan Pubabu berawal pada 1982, menurut kronologi yang disusun oleh Ikatan Tokoh Adat Pencari Kebenaran dan Keadilan. Pada saat itu, Pemerintah Provinsi NTT bekerja sama dengan Australia meminta masyarakat untuk menyediakan lahan untuk pelaksanaan proyek intensifikasi peternakan. Kerja sama dengan kontrak selama lima tahun ini diterima oleh Masyarakat Adat Pubabu dengan syarat agar rumah, kebun, dan tanaman milik masyarakat di dalam kawasan proyek tersebut tetap dikelola oleh masyarakat. Total lahan hutan adat yang dipakai adalah sebesar 6.000 hektar, dengan 2.761 hektar di antaranya merupakan lahan masyarakat adat.

Pada 1987, proyek intensifikasi tersebut diambilalih oleh Dinas Kehutanan yang melaksanakan Program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan (GERHAN). Di sinilah masalah mulai muncul. Pemerintah mengklaim kepemilikan hutan sebesar 6.000 hektar tersebut sebagai sarana budi daya tumbuhan komoditas seperti pohon jati dan mahoni dengan skema HGU (hak guna usaha) sepanjang 1988-2008. Proyek ini dilaksanakan tanpa melibatkan ataupun mendapatkan persetujuan dari masyarakat adat.

Pada 2008, ketika telah HGU berakhir, masyarakat adat menolak rencana perpanjangan kontrak karena adanya aktivitas pembabatan hutan selama 2003-2008. Pembabatan dan pembakaran hutan seluas 1.050 hektar ini telah menyebabkan hutan gundul dan kekeringan—membuat  masyarakat sekitar kehilangan air sebagai sumber penghidupan mereka. Mereka juga kehilangan akses terhadap hutan adat karena mereka dilarang masuk hutan walaupun hanya untuk mengambil ranting kering untuk kayu bakar dan pakan ternak.

Pada 2011, Masyarakat Adat Pubabu-Besipae yang tergabung dalam Ikatan Tokoh Adat Pencari Kebenaran dan Keadilan membuat surat pembatalan perpanjangan kontrak ke Dinas Peternakan Provinsi NTT. Namun, pada 2013, pemerintah justru menerbitkan sertifikat hak pakai sebagai dasar kepemilikan pemerintah atas hutan Pubabu. Sertifikat ini semakin memicu konflik antara masyarakat adat dan pemerintah setempat.

Pada 2017, pemerintah setempat melakukan intimidasi terhadap masyarakat adat. Aparat penegak hukum dikerahkan untuk memaksa masyarakat mengosongkan lahan dengan alasan tanah tersebut telah menjadi aset pemerintah. Intimidasi dilakukan dengan menerobos masuk ke rumah-rumah penduduk dan memaksa mereka menandatangani surat pengosongan lahan.

Intimidasi juga dilakukan dengan melecehkan secara seksual para perempuan adat. Salah satu perempuan adat yang baru selesai mandi dan hanya mengenakan handuk difoto dan diancam dengan kata-kata, “foto dia juga supaya kalau dia lari kita bisa tangkap dia.” Perempuan-perempuan adat yang melakukan aksi membuka baju untuk menghadang aparat pada Mei 2020 dituduh telah melakukan pornoaksi dan diminta untuk menuliskan surat permintaan maaf. Pada Agustus 2020, perempuan yang yang melewati markas aparat dilecehkan dengan kata-kata, “mari kita remas-remas mama-mama punya susu biar enak.”

Penggusuran terhadap rumah warga yang terjadi sejak 4 Agustus 2020 lalu juga lekat dengan intimidasi. Mereka diancam untuk tidak melakukan perlawanan. Jika tetap melawan, “risikonya aparat akan melakukan penangkapan.”

“Hutan Pubabu menghasilkan sumber kehidupan, baik untuk memenuhi pangan maupun sebagai ruang yang mengandung nilai spiritual yang diwariskan secara turun-temurun oleh leluhur masyarakat adat Pubabu. Sehingga kehilangan hutan bukan hanya kehilangan penyangga kehidupan, tetapi juga hilangnya jati diri, budaya luhur, dan nilai-nilai spiritualitas yang selama ini menghubungkan mereka dengan leluhur,” ujar Andriyeni dari Solidaritas Perempuan dalam konferensi pers “Hentikan Represifitas Negara terhadap Perempuan Adat yang Mempertahankan Tanah Kehidupannya” (13/8).

Mewakili Masyarakat Adat Pubabu, Komnas HAM telah mengeluarkan surat rekomendasi yang meminta agar Dinas Peternakan Provinsi NTT mengembalikan lahan pertanian yang dipinjam dari masyarakat adat sejak 2012. Namun, surat tersebut tidak diindahkan oleh pemerintah setempat.

Pada 11 Agustus 2020, Komnas HAM kembali berkomunikasi dengan Gubernur dan Kapolda NTT melalui surat setelah menerima aduan dari Masyarakat Adat Pubabu pada 7 Agustus 2020. Namun, penggusuran dan sikap represif aparat tidak juga berakhir. Hingga kini (19/8), penggusuran masih berlangsung dengan total 30 rumah telah dihancurkan.

“Saya mengecam kekerasan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dan juga penggusuran yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kekerasan dan penggusuran itu mencederai prinsip-prinsip hak asasi manusia yang sudah ada dalam konstitusi kita,“ ujar Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara. Ia juga meminta Pemprov NTT untuk menghentikan sementara aktivitas  pembangunan yang ada yang berdampak kepada Masyarakat Adat Pubabu.

Share: Apa yang Terjadi di Hutan Adat Pubabu, Timor Tengah Selatan?