Isu Terkini

Apa Artinya “Bertahan” Semasa Pandemi?

MM Ridho — Asumsi.co

featured image

Kata bertahan terdengar sangat berbeda hari-hari ini. Bagi sebagian orang, maknanya mungkin ratusan kali lebih kuat dibandingkan sebelum kehadiran pandemi.

Bagi saya yang beruntung, bertahan hanyalah menjaga diri supaya tidak mati karena dua hal: bosan atau tertular.

Setelah berminggu-minggu menghabiskan sebagian besar waktu saya untuk menatap tembok kamar, Jumat (27/3) lalu tibalah kesempatan untuk berbelanja kebutuhan mingguan. Ibu memberikan daftar belanjaan, saya menyiapkan peralatan tempur. Masker dan hand sanitizer sudah cukup.

Begitu membuka pintu dan melihat dunia luar–tidak, saya tidak setakjub itu–semua masih relatif normal. Segera terlintas di benak saya: bagaimana agar saya bisa sedikit lebih lama di luar rumah, berinteraksi dengan seseorang tapi tidak berisiko terinfeksi?

Sesaat kemudian, ketika hendak mengikat tali sepatu, rambut bagian depan saya menutupi mata. Aha! pikir saya, inilah waktunya potong rambut. Kebetulan, saya baru mendapat rekomendasi tempat pangkas rambut dari seorang teman.

Maka saya menghubungi Bagus, si tukang pangkas, untuk mengatur jadwal. Ia menanyakan riwayat kontak dan kondisi kesehatan saya. “Maaf ya, untuk berjaga-jaga saja,” kata Bagus, “lebih baik mencegah.” Saya senang pada kewaspadaannya. Bagaimana pun, saya tak mau paru-paru saya ikut tercukur.

Bagus bekerja di kawasan Panglima Polim. Sebentar saja melihat berkeliling, saya lega. Tempat itu menerapkan semua protokol keamanan COVID-19 bagi rumah pangkas: memastikan kondisi calon pelanggannya, memiliki hand sanitizer di depan pintu masuk, menggunakan masker serta sarung tangan, dan hanya mengizinkan dua pelanggan dengan jarak empat meter di dalam ruangan.

Setelah beberapa saat berbicara, saya tahu bahwa kami dipertemukan alasan yang sama: bertahan. Bagi saya, dari kebosanan. Bagi Bagus, tidak sesederhana itu. Ia harus bertahan dari lapar, dari risiko tertular pelanggan, dan dari kerinduan terhadap keluarga dan kampung halamannya

Biasanya, Bagus memangkas rambut delapan sampai sepuluh orang per hari. Sekarang, “Nyukur satu orang saja udah bersyukur,” katanya. “Walaupun nggak nutup untuk makan sehari, lumayanlah, daripada nggak ada.”

Jumlah upah Bagus tergantung pada jumlah kepala yang digarapnya.

“Dari pertengahan Maret, kami udah ngerasain penurunan drastis, sih. Sangat drastis, di bawah 50% hari-hari biasanya,” kata Bagus.

Bagus berencana menikah dengan pacarnya 11 April mendatang. Sejak Desember tahun lalu, mereka menyiapkan pesta dan segala macam. Namun, kini rencana harus berubah: sekadar akad di KUA dengan tamu delapan orang, anggota kedua keluarga. Resepsi ditunda entah sampai kapan.

Hanya sedikit yang bisa kami bicarakan pada hari itu karena saya harus lanjut berbelanja. Namun, ketika Presiden Jokowi menyampaikan arahan tentang mudik, saya teringat kepada Bagus dan ingin tahu pendapatnya.

Berbeda dari dugaan saya, yang pernah mendengar cerita tentang betapa ia merindukan kampung halamannya, Bagus malah mendukung rencana tersebut.

“Buat gue, pulang nggak harus lebaran. Kesehatan keluarga kita di kampung harus lebih diutamakan. Gue nggak mau juga pulang tapi nanti saudara-saudara gue, apalagi yang manula kayak bokap nyokap kenapa-kenapa karena ternyata kita carrier,” katanya

Kerelaan Bagus sederhana saja, dan semestinya ia dimiliki semua orang. Namun, saya tahu persis bahwa bertahan, termasuk dari hasrat mementingkan diri sendiri, bukanlah perkara mudah.

Katakanlah, seandainya semua orang memikirkan dampak perilaku masing-masing, mungkin tenaga medis tak sekelimpungan sekarang.

“Kita ngerasain ini juga sama-sama,” kata Bagus. Ia berharap agar upaya semua orang yang bertahan tak jadi sia-sia. Untuk itu, ia, juga saya, mendongak kepada pemerintah. Katanya: “Kita berharap pemerintah cepat ajalah langkahnya. Gercep-lah mau tes apa gimana, karantina wilayahnya gimana. Terus orang-orang [pekerja] informal dan kurang mampu, ada subsidi nggak? Mungkin okelah orang-orang menengah ke atas yang punya simpanan. Kalo yang nggak punya, kan, kasian juga.”

Saya tak tahu bahwa kata bertahan bisa terasa sesentimentil ini.

Share: Apa Artinya “Bertahan” Semasa Pandemi?