Budaya Pop

Antara Sukarno, Nyi Loro Kidul, dan Warisan Djuanda

Iman Herdiana — Asumsi.co

featured image

Sebagian besar wilayah Indonesia adalah lautan. Dan nenek moyang kita dikenal pelaut yang mampu mengarungi belahan dunia. Namun kini di laut kita kedodoran.

Pidato Sukarno, Presiden pertama RI pun kembali bergema di acara Pemasangan Prasasti Deklarasi Djuanda di Taman Hutan Raya Djuanda, Bandung, Sabtu sore (15/12) pekan lalu. “Usahakanlah agar kita menjadi bangsa pelaut kembali,” kata Sukarno, mengenakan stelan putih-putih, dasi merah dan peci hitam yang menjadi fesyen khasnya. Suaranya berat dan bertenaga.

Pesan Sukarno hadir dalam peringatan Deklarasi Djuanda lewat monolog yang diperankan aktor teater Wawan Sofwan. Suara dan gerak-gerik Wawan mirip betul dengan gaya Proklamator RI. Dengan intonasi suara yang tegas dan berwibawa, Wawan membawakan pidato Sukarno saat peresmian Akademi Ilmu Pelayaran yang kini Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Jakarta 27 Februari 1957.

Di tengah acara yang antara lain dihadiri Nurwati, putri bungsu Ir H Djoeanda sang pencetus Deklarasi Djuanda, menteri era Soeharto dan pasca-reformasi Sarwono Kusumaatmadja, dan mantan Kepala Staf TNI Angkatan Laut (Kasal) Laksamana TNI Ade Supandi, Wawan menggebu menyampaikan pesan Sukarno agar Indonesia menjadi bangsa pelaut.

Bangsa pelaut yang dimaksud Sukarno dalam arti yang seluas-luasnya. “Bukan sekadar menjadi jongos-jongos di kapal, bukan! Tetapi bangsa pelaut dalam arti kata cakrawati samudra. Bangsa pelaut yang mempunyai armada niaga, bangsa pelaut yang mempunyai armada militer, bangsa pelaut yang kesibukannya di laut menandingi irama gelombang lautan itu sendiri,” kata Wawan.

Dari pidato itu tampak bahwa Bung Karno, demikian ia biasa dipanggil, memiliki pandangan konprehensif tentang Indonesia sebagai negara kelautan sebagaimana ditegaskan Perdana Menteri Djuanda.

Sukarno kemudian menggali mitologi-mitologi tentang laut nusantara. Bahwa di zaman kerajaan nusantara, seorang raja harus menikah dengan ratu penguasa lautan jika kerajaannya ingin besar dan kuat.

“Raja yang besar dan kuat, negara bisa menjadi besar dan kuat, ratu hanyalah bisa menjadi ratu yang hanyakrawarti hambahudenda, jikalau sang ratu itu beristerikan pula Ratu Loro Kidul, ratu dari Lautan Selatan, ratu dari samudera yang dulu bernama Samudera Hindia, tetapi kemudian kita robah dengan nama Samudera Indonesia, saudara-saudara…”

Ia menegaskan, pidato tersebut bukan ingin menggali benar atau tidak dongeng, legenda atau mitologi-mitologi nusantara tentang laut. Sebab persoalannya bukan itu.

“Apakah benar Sang Senopati, Sang Senopati Hangabei Loringpasar Sutowidoyo, Sutawijaya, yang mendirikan Kerajaan Majapahit, benar atau tidak, yaitu benar-benar kawin dengan Ratu Loro Kidul? Itu bukan soal sebetulnya bagi kita. Tetapi nyata bahwa ini berisi satu simbolik, kepercayaan ini berisi satu simbolik bahwa tidak bisa seseorang raja, bahwa tidak bisa sesuatu negara di Indonesia ini menjadi kuat jikalau tidak dia punya raja kawin beristrikan Ratu Loro Kidul.”

Ratu Loro Kidul dalam legenda tersebut menurut Sukarno bisa ditafsirkan sebagai laut itu sendiri. Jadi, “Jikalau negara di Indonesia ingin menjadi kuat, sentosa, sejahtera, maka dia harus kawin juga dengan laut.”

Kawin bisa ditafsirkan sebagai upaya sungguh-sungguh menggali potensi laut. Terlebih Indonesia negara kepulauan di mana lautan lebih luas daripada daratan. Sehingga, kata Sukarno, Indonesia harus membangun armada niaga laut, armada militer laut yang tangguh, sehingga “kesibukannya di laut menandingi irama gelombang lautan itu sendiri.”

Monolog dari Wawan Sofwan itu mendapat sambutan dari puluhan hadirin di acara peringatan Hari Nusantara Deklarasi Djuanda yang digagas komunitas Masyarakat Garis Depan Nusantara.

Hubungan Sukarno dan Djuanda

Negeri kepulauan Indonesia yang kita kenal sekarang ini tak lepas dari jasa besar Ir H Djoeanda Kartawidjaya. Berkat Deklarasi Djuanda yang dikumandangkanlah 13 Desember 1957, tanah dan air nusantara adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Konsep negara kelautan (archipelagic states) kemudian diakui United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) pada 1982.

Dengan konsep tersebut, negara sebesar dan semaju apa pun tidak bisa sembarangan masuk ke perairan Indonesia, apalagi dengan enaknya menangkap ikan atau melakukan eksplorasi bawah laut.

Sarwono Kusumaatmadja punya pandangan tersendiri pada Perdana Menteri Djuanda. Menurutnya, warisan Djuanda bukan saja Deklarasi Djuanda. Tetapi tokoh kelahiran Jawa Barat ini memiliki integritas tinggi, suatu sikap hidup yang sulit dicari pada pejabat atau politikus saat ini.

Sarwono yang sudah malang melintang di kursi kabinet Orde Baru maupun kabinet reformasi menuturkan, ketika Indonesia menganut sistem parlementer di mana pemerintahan dipimpin Perdana Menteri, Djuanda selalu menempati posisi penting.

“Dia selalu ada di tiap kabinet ketika sistem parlementer kabinet itu jatuh bangun. Dia dikasih pekerjaan-pekerjaan penting dan berat,” katanya.

Padahal Djuanda bukan orang partai politik. Lalu di saat Bung Hatta mundur sebagai Wakil Presiden, Djuandalah yang menjadi penjabat presiden manakala Sukarno ke luar negeri. Sebagai penjabat presiden, Djuanda tidak boleh membuat keputusan atau kebijakan.

“Ada semacam konvensi atau hukum tidak tertulis bahwa penjabat presiden itu tidak boleh bikin keputusan. Di mana perlu Pak Djuanda bikin keputusan. Bung Karno marah tidak? Engga bisa. Karena Bung Karno pun percaya bahwa keputusan itu diambil berdasarkan integritas sebagai landasannya,” tutur Sarwono.

Integritas inilah yang langka di zaman sekarang. Buktinya, banyak pejabat atau kepala daerah yang menjadi sasaran operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Selain itu, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini ia melihat sudah tidak ada lagi rasa saling percaya.

Integritas sendiri merupakan fondasi untuk tumbuhnya suasana saling percaya. Jika integritas dan saling percaya hilang, setiap program pembangunan bangsa akan sulit berjalan.

“Yang langka sekarang dalam kehidupan nasional kita adalah itu. Kita jadi susah percaya sama orang. Segala macam disoalin. Kalau gitu terus suasananya di antara kita, kita akan susah maju,” tandasnya.

Share: Antara Sukarno, Nyi Loro Kidul, dan Warisan Djuanda