Isu Terkini

Ananda Badudu: “Sikap Abai Itu Racun”

Raka Ibrahim — Asumsi.co

featured image

Untuk seseorang dengan suara begitu lirih, Ananda Badudu tidak bisa diam. Ia tidak diam meski tiga pekan lalu polisi menggedor kamarnya pagi-pagi buta dan menangkapnya dengan tuduhan mengorkestrasi kekerasan. Ia tidak diam meski disomasi polisi karena mengaku menyaksikan perlakuan semena-mena terhadap mahasiswa, pelajar, dan aktivis yang ditahan usai unjuk rasa. Untuk seseorang yang selalu berhati-hati memilih kata dan bersikeras bahwa ia tidak artikulatif, suara Ananda Badudu amat keras dan menggetarkan.

Orang yang mengenalnya sekilas akan kaget mendengar kabar penangkapannya. Ia dikenal sebagai vokalis Banda Neira, duo indie folk mendayu-dayu yang membius pendengarnya dengan petikan gitar dan performans vokal serba gemulai. Namun, perhatikan lebih seksama dan Anda akan paham bahwa ia punya sisi lain. Seorang bekas wartawan, Ananda bisa keras saat diajak bicara soal isu sosial dan politik.

Kepekaan sekaligus kepala batu ini mendorongnya memulai penggalangan dana di situs Kitabisa.com untuk mendukung demonstrasi #ReformasiDikorupsi. Ia begadang, mengorganisir tenaga medis dan logistik yang hilir mudik menuju lokasi demonstrasi. Kemudian, pada 27 September, polisi menciduk dan melepaskannya dalam hitungan jam.

Ananda Badudu ditangkap secara misterius dan dilepas secara misterius pula. Kasusnya penuh kejanggalan dan berbekas hingga kini. Ketika kami bertemu, Ananda masih tampak ragu berbicara detail tentang penangkapannya. Sesekali ia menyembunyikan rasa ragu itu dengan melontarkan lelucon, tetapi luka batinnya masih kentara. Misalkan ia tidak berkenan diwawancarai, batal juga tidak apa-apa, pikir saya.

Tapi, yah, namanya juga orang keras kepala.

Sebagai musisi, kenapa lo merasa harus melibatkan diri dalam demonstrasi kemarin?

Modal utama seniman itu kekayaan batin, dan batin lo enggak akan kaya kalau sejak zaman kuliah sampai usia 30-an lo ngomongin cinta melulu. Apalagi kalau lo berkutat di situ-situ saja tanpa melibatkan diri dalam masalah-masalah keseharian, masalah publik.

Gue juga sempat mengalami masa-masa buntu karena gue merasa tidak mengalami apa-apa. Kayak enggak ada artinya. Gue terlalu egois karena cuma membicarakan perasaan gue sendiri. Perenungan di fase itu bikin gue sampai ke pemikiran bahwa sebagai seniman, sebagai manusia, gue akan mati kalau tidak melibatkan diri dalam masalah publik.

Kekayaan batin seperti apa yang lo maksud?

Seniman kan modalnya cuma emosi berlebihan yang enggak tahu mau ditumpahkan ke mana! (tertawa) Amarah itu kekayaan batin. Rasa putus asa itu kekayaan batin. Kemarin gue dibawa masuk ke kantor polisi, terus–

Gue cuma beberapa jam di dalam. Masih banyak yang lebih parah dari gue. Ada yang sampai diasingkan ke pulau Buru, dan gue enggak kebayang betapa sakitnya. Gue cuma diperkenankan Tuhan untuk merasakan teaser-nya, dan itu sangat… anjing. Muncul emosi yang bahkan seumur hidup lo enggak pernah lo rasakan. Lo enggak tahu namanya apa, tapi lo bisa rasakan betul.

Perasaan bahwa lo tercerabut dari kemanusiaan lo, bahwa kemanusiaan lo dilecehkan. Segala sesuatu yang lo pelajari dan agung-agungkan selama ini, bahwa kita sesama manusia mesti berlaku baik kepada satu sama lain, semua itu dilecehkan oleh orang-orang yang entah apa motivasinya. Lo enggak rela, tetapi semuanya kejadian. Nasib tidak bisa ditolak.

Mungkin gue bisa bilang, kemarin itu pertama kalinya gue benar-benar merasakan dendam. Secara pribadi, gue tipe orang yang peacemaker. Jadi dendam itu sesuatu yang asing buat gue. Tapi kemarin rasa itu muncul begitu saja. Oh, ini ya yang namanya dendam? Kenapa ya gue harus merasakan ini? Masuk akal atau enggak gue merasakan ini? Selama di dalam, gue terus berdialektika. Mungkin itu yang dimaksud ketika gue bilang ada kekayaan batin.

Bagaimana lo memproses emosi yang luar biasa membebani itu?

Di dalam penjara, gue tidak tahu apa-apa. Mungkin baru baca berita dan lihat lebih jernih sehari setelah bebas. Kemudian gue sadar ternyata teman gue banyak juga. Mulai dari kawan-kawan bekas sekantor dulu di Tempo, semuanya telepon ke jejaring mereka di pemerintahan. Orang-orang di “atas” itu mengira mereka telepon karena kasus penangkapan Dandhy Dwi Laksono, lalu pada kaget karena mereka enggak pernah dengar nama gue. Jadi, ini operasinya siapa, ya?

Yang bikin gue tetap berani dan terus mau berbicara itu karena gue tahu gue punya teman. Atau paling tidak, orang yang sudah berinteraksi dengan gue sedemikian rupa sehingga kami saling membangun kepercayaan. Kita saling kenal, saling paham, silakan jawab sendiri apakah perkara ini patut dibela. Gue terus bersyukur bahwa banyak sekali yang kemudian memutuskan untuk membantu.

Utang gue banyak sekali ke mereka semua. Dan gue ingin membayar utang itu dengan memanfaatkan kebebasan yang gue peroleh untuk membalas kebaikan semua orang. Bikin sesuatu yang bermanfaat juga untuk publik.

Yang “membebaskan” lo itu pastinya berharap setelah diberi teaser tempo hari, lo bakal diam.

Justru enggak mungkin. Gue tahu gue enggak salah. Silakan publik nilai sendiri apakah penangkapan gue kemarin etis atau tidak.

Sejak sebelum aksi tanggal 23 September, gue sudah berkabar ke Nyokap bahwa gue mau bikin penggalangan dana untuk membantu mendukung aksi-aksi tersebut. Via telepon, beliau bilang, “Selama kamu benar, maju terus.” Pas kami ketemu lagi di kantor Amnesty International setelah gue dibebaskan, Nyokap nyamperin gue dari Bandung. Kami ketemu, berpelukan, dan dia mengucapkan kalimat yang persis sama. Mau kamu ditangkap, diapa-apain, selama kamu yakin kamu benar, maju terus.

Keluarga gue sangat religius. Belakangan gue mengalami titik balik di keimanan gue, tapi gue belum se-taat mereka. Bokap gue kan penginjil–bedanya dengan pendeta, penginjil harus berkeliling. Bokap suka keliling bagi-bagiin Injil yang diterjemahkan ke bahasa daerah secara audio. Dia bikin tim, lalu begitu sudah jadi dia keliling ke daerah-daerah pelosok. Sumatera, Sulawesi, Papua, segala macam. Gue belajar bersikap radikal dari orang tua.

Makna radikal adalah jangan tanggung-tanggung. Gue lihat Bokap di usia 60-an masih keliling Papua dan Sulawesi, sekali perjalanan bisa berbulan-bulan dan menempuh sekian ribu kilometer. Kenapa? Hanya untuk membagi sesuatu yang dia percaya akan bermanfaat bagi orang banyak. Buat gue itu radikal. Ketika lo bikin sesuatu, percaya pada sesuatu, lo tidak tanggung-tanggung.

Kedua orang tualah yang membentuk gue sampai sekarang. Memang gue enggak membayangkan bahwa akhirnya gue harus mengalami ditangkap. Tetapi ya sudahlah. Gue belajar dari mereka untuk jalan terus. Selama lo yakin apa yang lo perjuangkan itu benar, jalan terus.

Apa pesan lo untuk kawan-kawan, baik yang kemarin turun ke jalan untuk demonstrasi maupun yang tidak?

Tonton TV dan buka-buka YouTube saja, pasti kesadaran lo terusik. Pasti lo paham bahwa ada yang tidak baik-baik saja. Jangan lakukan apa yang membuat lo tidak nyaman, tapi jangan sampai lo pasif. Jangan antipati dan acuh tak acuh. Sikap abai itu racun peradaban. Lo merasa hidup dalam gelembung lo sendiri. Itu berbahaya.

Buat apa lo hidup kalau bukan untuk kebaikan bersama? Memang terdengar klise, tapi memang begitu. Bagaimana cara lo menyintas secara emosional dan psikologis kalau seumur hidup lo cuma memikirkan diri lo sendiri? Buat gue itu enggak manusiawi. Lo enggak bisa menolak bahwa takdir lo adalah untuk hidup bermasyarakat. Takdir lo adalah untuk menjadi tidak apatis.

Buat lo, apa pelajaran yang bisa kita petik bersama dari rangkaian demonstrasi kemarin?

Kita bisa lihat bersama bahwa tak ada tanda-tanda situasi akan membaik. Terutama ketika kita melihat manuver para elite politik, masa depan demokrasi kita kayaknya suram banget.

Pada 1998, ada manuver dari elite yang bikin mahasiswa bisa menduduki Gedung DPR. Mereka bisa buka gerbang itu dan tembus ke dalam karena ada politikus di DPR yang mengatur agar gerbang tersebut dibukakan. Ada yang menyetujui manuver tersebut. Tetapi sekarang para elite kompak. Respons elite setelah unjuk rasa kemarin menunjukkan bahwa mereka yang ada di pemerintahan sedang memanfaatkan demokrasi untuk memberangus demokrasi.

Kita kayak dibodoh-bodohin. “Ayo ikut Pemilu, ayo pilih ini, pilih itu,” tetapi setelah mereka dilantik, mereka menghancurkan demokrasi dan bikin sistem baru yang antidemokrasi. Situasinya sudah genting banget. Benar-benar di ujung tanduk. Dan kalau kita diam saja, masa depan kita bersama akan makin suram. Memang kita merasa powerless, karena kita baru mau rapat saja sudah disusupi.

Gue ditangkap saja sudah jiper, sudah hilang dua minggu, sudah trauma. Padahal semua ini baru teaser. Enggak kebayang kalau sudah beneran otoriter. Semua ini terjadi di depan mata gue, mata lo. Masa kita mau diam?

Share: Ananda Badudu: “Sikap Abai Itu Racun”