Isu Terkini

Alih-alih Melarang Plastik Sepenuhnya, Kurangi Penggunaan Plastik yang Tidak Perlu

Advertorial — Asumsi.co

featured image

Foto: Unsplash/Jonathan Chng

Bisakah kita hidup tanpa plastik? Larangan penggunaan plastik semakin gencar diterapkan saat ini. Hingga Juli 2018, laporan dari Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) menunjukkan bahwa setidaknya 127 negara tetap mengadopsi peraturan yang meregulasi penggunaan kantong plastik di negaranya, termasuk yang menetapkan untuk melarang penggunaan kantong plastik seluruhnya atau yang mendorong penggunaan kantong belanja reusable.

Di DKI Jakarta sendiri, larangan penggunaan kantong plastik telah diterapkan kembali. Sejak 1 Juli 2020, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengeluarkan kebijakan larangan penggunaan kantong plasti sekali pakai di toko, swalayan, maupun di pasar.

Di satu sisi, dibatasinya penggunaan kantong atau kemasan plastik sekali pakai dapat berperan besar dalam mengurangi sampah plastik yang tertimbun di tempat pembuangan akhir (TPA), selokan, hingga mengurangi polusi mikroplastik yang membunuh hewan liar. Masyarakat pun dapat menjadi semakin sadar lingkungan.

Namun, pelarangan kemasan atau kantong plastik sepenuhnya juga dinilai merupakan upaya yang kontraproduktif. Dengan melarang penggunaan plastik sekali pakai, seseorang akan beralih menggunakan kantong belanja lain yang bisa jadi justru lebih berbahaya terhadap lingkungan.

Kantong belanja dari kertas, misalnya, membutuhkan 400% lebih banyak energi untuk diproduksi. Untuk menjadi ramah lingkungan, kantong ini mesti dipakai berkali-kali dan tidak dibuang ke TPA. Begitu pula dengan kantong berbahan dasar katun yang mesti dipakai 50-150 kali jika ingin memiliki dampak lingkungan yang lebih rendah dari kantong plastik sekali pakai.

Sementara itu, berdasarkan pengamatan selama beberapa bulan ke belakang, larangan penggunaan kantong plastik di DKI Jakarta justru membuat pengguna layanan pengantar makanan, contohnya, mesti membeli kantong belanja berbahan kertas ataupun kain berkali-kali. Akhirnya, konsep “reusable” itu sendiri pun tidak tercapai.

Berdasarkan hasil studi pada 2016 di Amerika Serikat, diestimasikan bahwa peralihan dari plastik ke alternatif-alternatif kemasan lain justru dapat meningkatkan beban lingkungan hingga 3,8 kali lipat. Oleh karena itu, daripada melarang penggunaan plastik sepenuhnya, sejumlah ahli merekomendasikan untuk lebih berfokus pada mengurangi kemasan-kemasan plastik yang tidak dibutuhkan.

Mitos Segel Plastik Membuat Minuman Lebih Aman

Kita pasti sering melihat segel plastik yang biasanya membungkus tutup botol produk minuman dalam kemasan. Mungkin kita pernah mendengar fungsi segel plastik ini adalah untuk menjaga kualitas isi produk. Padahal, penggunaan segel plastik sebenarnya tidak diperlukan lagi karena tutup kemasan botol biasanya telah dilengkapi dengan cincin pengaman (tamper evident band) dan kunci pengaman di antara tutup dan cincin (biasanya disebut bridge) yang menjamin keamanan air di dalam kemasan.

Menurut Edwin M. Irish, sang penemu cincin pengaman, bentuk cincin pengaman di botol plastik telah didesain sedemikian rupa sehingga mutu dan keamanan produk terjamin. Air minum di dalam kemasan pun jadi aman dikonsumsi. Selama cincin pengaman tersebut belum terlepas atau terpisah dari tutup botol, dapat dipastikan produk tersebut belum pernah dibuka sebelumnya. Sebagai tanda cincin pengaman terlepas dari tutup botol untuk pertama kalinya, biasanya kita mendengar suara retakan tutup botol.

Banyak produk masih menggunakan segel plastik semata-mata untuk menambah jaminan rasa aman bagi konsumennya. Namun, di Indonesia sendiri, ada beberapa perusahaan air minum dalam kemasan yang sudah meniadakan segel plastik dengan tujuan lebih bijak dalam penggunaan plastik di lini produksinya. Sebagai gantinya, perusahaan yang telah menghapus penggunaan segel plastik mencari alternatif sistem keamanan lain untuk jaminan keamanan tambahan bagi konsumen. Di antaranya dengan menambahkan kode ganda di tutup dan badan botol, kode QR, atau desain kunci unik di cincin pengaman untuk mencegah pemalsuan isi kemasan.

Kendati demikian, perusahaan dirasa masih perlu terus berinovasi dan meninjau materi yang digunakan untuk kemasan produknya tanpa mengesampingkan keamanan konsumen. Tidak menutup kemungkinan cincin pengaman juga dapat berevolusi, tidak lagi terpisah dengan tutup botol, sehingga semakin mengurangi keberadaan plastik berukuran kecil yang mudah tercecer.

Head of Strategic Partnerships WRAP, lembaga non-profit yang bergerak dalam mendorong pemanfaatan sumber daya secara berkelanjutan, Peter Skelton, berkata bahwa, “Tidak ada bahan yang buruk, hanya pemakaiannya saja yang tidak tepat.”

Untuk itu, alih-alih melarang penggunaan plastik seluruhnya, upaya untuk menjaga kelestarian lingkungan dapat diterapkan dengan mulai memetakan jejak plastik yang kita gunakan: periksa produk-produk yang kita pakai dan konsumsi, dan cari tahu apakah ada elemen tertentu di produk yang dapat dikurangi sehingga produk dapat lebih ramah lingkungan.

Dalam kata lain, menjadi konsumen yang lebih cermat dan bertanggung jawab dapat menjadi kunci untuk menjaga kelestarian lingkungan—baik dengan secara cermat memilih produk yang ramah lingkungan maupun dengan terus mendorong perusahaan-perusahaan agar tidak berhenti berinovasi demi kepentingan kita bersama.

Share: Alih-alih Melarang Plastik Sepenuhnya, Kurangi Penggunaan Plastik yang Tidak Perlu