Isu Terkini

Warga Dunia Ramai-Ramai Ikut Aksi Protes di Jalan. Ada Apa?

Permata Adinda — Asumsi.co

featured image

Rakyat Chili melakukan demonstrasi memprotes kenaikan harga transportasi umum di negaranya. Ditembak gas air mata oleh polisi, para demonstran berhasil memadamkan gas tersebut. Mereka belajar dari cara para demonstran di Hong Kong memadamkan gas air mata. “Terima kasih atas pelajarannya, Hong Kong!” kata salah satu demonstran di media sosial.

Sementara itu, demonstran Hong Kong menyemangati warga Indonesia yang berdemo pada September lalu. Di media sosial, demonstran asal Hong Kong bernama Alex mengatakan, “Tetap semangat! Kami orang Hong Kong berdiri bersama Indonesia! Semoga demokrasi dan kebebasan menang.”

Demonstrasi tengah marak terjadi di berbagai negara di dunia. Selain Hong Kong dan Chili, aksi protes juga terjadi di Perancis, Barcelona, Lebanon, Haiti, dan negara-negara lain. CNN mencatat bahwa terdapat lebih dari 20 negara di dunia yang telah atau sedang melakukan aksi protes selama 2019—menjadikan tahun ini sebagai tahunnya demonstrasi.

Demonstran di berbagai negara saling mendukung dan menyemangati demonstrasi di negara lain. Namun, tak hanya itu, permasalahan dan tuntutan para demonstran di seluruh dunia ini juga punya benang merah.

Sebagaimana di Indonesia, ada ketidakpercayaan dan kekecewaan masyarakat terhadap kinerja pemerintah di masing-masing negara. Penyelewengan kekuasaan, kasus korupsi, pembatasan kebebasan berekspresi, kesenjangan sosial dan ekonomi, dan krisis lingkungan telah jadi kekhawatiran global.

Bukan Hanya tentang WhatsApp, Kenaikan Harga, atau Seks

“Proses ini tidak hanya karena kenaikan tarif metro, tetapi penindasan bertahun-tahun lamanya yang telah merugikan orang miskin,” kata seorang warga Chili.

“Protes kami bukan hanya tentang WhatsApp, tetapi semua hal lain: bahan bakar, makanan, semuanya,” kata seorang demonstran Lebanon.

Aksi protes Chili dan Lebanon bisa jadi dipicu karena hal yang terdengar remeh: Chili karena kenaikan tarif transportasi publik, Lebanon karena penetapan pajak yang sewenang-wenang. Namun, ada amarah dan rasa kecewa yang telah bertumpuk sejak dulu dan kini mencapai puncaknya.

Chili dan Lebanon sama-sama mengalami krisis ekonomi. Di Chili, ada jurang yang lebar antara yang kaya dan miskin. Sementara di Lebanon, negara mengimpor dan berutang terlalu banyak. Persentase utang yang ditanggung negara ini adalah 155% dari GDP mereka. Anggaran negara pun diperkirakan akan mengalami defisit sebesar 10% GDP tahun ini.

Pemerintah meminjam dana kepada bank negara, dan bank memberikan bunga yang besar. Kedua pihak kongkalikong untuk saling memberikan keuntungan. Dampaknya, bank menolak memberikan pinjaman pada sektor-sektor lain.

Penyelesaian utang dibebani ke warga lewat pajak yang semakin besar. Anggaran negara yang terbatas pun membuat negara tak mampu memperbaiki krisis-krisis lingkungan dan sosial: negara tak mampu mengelola sampah, para politikus tak menemukan solusi berkelanjutan untuk menangani krisis lingkungan, dan kebakaran hutan terjadi di pegunungan-pegunungan Lebanon.

Seperti di Lebanon dan Chile, aksi protes di Indonesia di-mispersepsikan sebagai persoalan seks belaka. Namun, seperti di Lebanon dan Chili pula, protes di Indonesia adalah kulminasi dari kekecewaan masyarakat yang telah bertumpuk. Masyarakat kecewa atas penyelewengan kekuasaan dan keabaian negara selama ini: pembungkaman kebebasan berpendapat, kriminalisasi aktivis, kasus pelanggaran HAM yang tak kunjung diselesaikan, korupsi, hingga krisis lingkungan dan kebakaran hutan.

Sebagaimana solusi pemerintah Lebanon yang berfokus pada mempermudah donor-donor asing memberikan bantuan dana, kepengurusan Jokowi saat ini juga berfokus pada melancarkan arus investasi asing ke Indonesia.

Solusi pemerintah Lebanon dan Indonesia sama-sama berpihak pada kepentingan penguasa. Bergantung pada lembaga donor internasional membuat mereka punya wewenang untuk mengatur kebijakan politik dan ekonomi Lebanon, seperti pengurangan dana di sektor publik dan membatasi layanan masyarakat.

Sementara itu, Jokowi tak menyinggung pelanggaran-pelanggaran HAM yang selama ini terjadi atas nama pembangunan: pembangunan bandara yang menggusur paksa penduduk Kulon Progo, pembangunan pabrik semen yang merugikan petani Kendeng, hingga kebakaran-kebakaran hutan yang disebabkan oleh pembukaan lahan kelapa sawit. Padahal, Jokowi telah menyebut bahwa pembangunan dan peningkatan sumber daya manusia sebagai visi dan misi pemerintahannya.

Eka Kurniawan, penulis novel, menulis kritiknya pada Jokowi di Jawa Pos. “Lima tahun terakhir, hak asasi manusia merupakan salah satu bidang dalam pemerintahannya yang bernilai buruk, merah, jika kita harus memberikan rapor kepadanya,” kata Eka. Eka juga mengatakan bahwa utang-utang terhadap berbagai kasus HAM perlu diselesaikan sebelum Jokowi berniat untuk meningkatkan sumber daya manusia.

Maka, protes di Chili, Lebanon, Indonesia, dan berbagai negara lain saat ini bukan hanya tentang WhatsApp, kenaikan harga, apalagi tentang seks. Reformasi di berbagai belahan dunia sedang dikorupsi, dan rakyat memilih untuk melawan.

Tak Bisa Dibungkam Popor Senapan

Rakyat Indonesia kembali berdemo Senin ini (28/10/19). Seperti demonstrasi pada September lalu, demonstrasi bertajuk “Gerakan Indonesia Memanggil” punya tujuh desakan yang sama: menolak semua bentuk komersialisasi legislasi, membatalkan pimpinan KPK yang bermasalah, menolak TNI dan Polri menduduki jabatan sipil, stop militerisme, hentikan kriminalisasi aktivis, hentikan pembakaran hutan, dan tuntaskan pelanggaran HAM.

Selain tujuh tuntutan tersebut, masyarakat juga mendesak agar pemerintah mengusut tuntas sikap aparat yang brutal dan represif pada demonstrasi September lalu. YLBHI dan LBH mencatat terdapat 78 kasus pelanggaran HAM yang terjadi selama tahun 2019. Orang yang tewas akibat unjuk rasa berjumlah 51 orang, dengan 44 orang tidak diketahui sebabnya. Sebab, aparat keamanan dan pemerintah tidak memberikan keterangan resmi penyebab tewasnya mereka.

Manik Marganamahendra, Ketua BEM Universitas Indonesia, mengatakan bahwa para demonstran menuntut tanggung jawab negara terkait korban yang tewas akibat demonstrasi sepanjang 23-30 September lalu. Mereka juga akan membentuk tim independen untuk mengusut kasus tersebut.

Sebagaimana demonstrasi di Indonesia yang tak kunjung berakhir, Hong Kong dan negara-negara lain pun tetap melanjutkan aksi protes walaupun tuntutan awal mereka telah dipenuhi. Pemerintah Hong Kong telah mengabulkan desakan demonstran untuk tidak mengesahkan UU ekstradisi. Namun, warga Hong Kong masih melakukan aksi protes hingga kini. Seperti Indonesia, mereka memprotes praktik kekerasan yang dilakukan aparat polisi terhadap demonstran.

Lebih dari 2.000 orang Hong Kong ditangkap karena berpartisipasi dalam aksi protes. Aparat polisi juga memperlakukan demonstran secara brutal: menembakkan gas air mata, menembakkan water cannon yang mengandung larutan merica, hingga menembakkan peluru tajam. Jurnalis berkewarganegaraan Indonesia, Veby Indah, tertembak peluru karet hingga mata kirinya rusak.

Sementara itu, di Lebanon, pemerintah telah merespons tuntutan demonstrasi dengan mengeluarkan “paket reformasi”—beberapa di antaranya termasuk mempercepat langkah-langkah untuk memperbaiki sektor energi agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat Lebanon dan memotong gaji para menteri dan pembuat kebijakan untuk memperbaiki anggaran negara.

Namun, masyarakat Lebanon butuh lebih. Mereka menuntut agar seluruh kabinet menteri mengundurkan diri. “Kita sedang berhadapan dengan otoritas yang berbohong dan korup. Telah 30 tahun kita diberikan janji-janji. Mengapa saya harus mempercayai mereka kini?” kata seorang mahasiswa Lebanon.

Di Chili, para demonstran awalnya memprotes kenaikan tarif transportasi publik mereka. Namun, tuntutan mereka meluas: mereka juga memprotes biaya hidup yang terlalu tinggi dan masalah kesenjangan. Sebagai salah satu negara terkaya di Amerika Latin, Chili—ironisnya—juga negara dengan kesenjangan ekonomi terburuk: 20% orang terkaya di Chili berpendapatan 8,9 kali lebih tinggi dari 20% orang termiskin.

Seperti di Indonesia dan Hong Kong, demonstrasi di Chili juga memakan korban. Lebih dari 20 orang meninggal dunia, 584 orang luka-luka, dan 2.410 orang ditangkap. Militer Chili juga telah mengambil alih sistem keamanan Kota Santiago, mengerahkan 20.000 polisi ke jalan, dan menetapkan jam malam.

Presiden Chili, Sebastian Pinera, telah merespons aksi protes tersebut. Ia mengklaim telah mendengar tuntutan demonstran. Jam malam telah dihapus, dan seluruh anggota kabinet Sebastian Pinera diberhentikan. “Untuk memberlakukan tuntutan masyarakat, saya telah memberhentikan seluruh menteri saya dan akan merestrukturasi isi kabinet,” kata Presiden.

Seperti di Indonesia, Hong Kong, dan Lebanon pula, warga Chili tak berhenti berdemo. Tuntutan mereka belum dipenuhi seluruhnya—termasuk tuntutan agar Presiden Pinera mengundurkan diri. Kelompok pesepeda berseru di depan istana negara, mereka berkata, “Hei, Pinera: go to hell.”

Jika ada yang perlu dipelajari dari aksi protes di seluruh belahan dunia, kekerasan aparat tak akan meredam kemarahan warga. Sebagaimana kata Wiji Thukul di puisinya, “Di mana-mana ada Sofyan, ada Sodiyah, ada Bariyah. Tak bisa dibungkam kodim. Tak bisa dibungkam popor senapan.”

Share: Warga Dunia Ramai-Ramai Ikut Aksi Protes di Jalan. Ada Apa?