Budaya Pop

Akon Mau Bikin Kota Futuristik yang Terinspirasi Wakanda

Raka Ibrahim — Asumsi.co

featured image

Masih ingat Akon? Iya, rapper yang pernah tenar pada paruh pertama dekade 2000-an dengan lagu seperti “Lonely”, “Smack That”, serta “Don’t Matter”; Yang menyumbangkan suara melengkingnya untuk lagu bersama Lady Gaga, Eminem, David Guetta, dan The Lonely Island itu. Tahukah kamu apa yang sedang ia kerjakan? Pembaca yang budiman, ia tengah terlibat dalam konstruksi kota utopia futuristik di jantung Afrika.

Setiap detail baru dalam peristiwa ini dijamin akan membuat anda terjungkal dari kursi. Senin (31/8) lalu, Akon mengumumkan bahwa ia akan mengepalai konsorsium yang akan mendirikan kota baru di pesisir pantai Senegal, kampung halaman Akon di Afrika Barat. Bernama Akon City, kota tersebut digadang-gadang akan menyaingi kebolehan Wakanda, kota fiktif dari film Black Panther.

Rencana yang dijabarkan Akon sungguh ambisius. Kota tersebut akan dibangun di atas tanah seluas 800 hektar, dan sepenuhnya didukung oleh listrik tenaga surya. Akon City akan dilengkapi kondominium mewah, resor pinggir pantai, kompleks perkantoran, universitas kelas dunia, dan rumah sakit dengan fasilitas pilih tanding. Lebih gemilang lagi, mata uang yang digunakan di kota tersebut adalah Akoin–sebuah cryptocurrency yang diciptakan Akon dua tahun lalu, dan belum banyak dipakai di seluruh dunia.

Proyek raksasa ini tentu perlu dana yang tak sedikit–tepatnya enam miliar dollar. Namun, Akon enteng. Dalam jumpa pers bersama Menteri Pariwisata Senegal, Alioune Sarr, Akon mengaku pihaknya telah mengumpulkan empat miliar dollar investasi yang akan ditanamkan untuk fase pertama pembangunan.

Bila tak ada aral merintang, pembangunan fase pertama akan dimulai awal tahun 2021 dan selesai pada 2023. Akon sendiri telah mampir ke sana untuk menghadiri upacara peletakan batu pertama bersama perwakilan pemerintah Senegal.

Menurut Akon sendiri, kota tersebut akan menjadi surga untuk warga Senegal dan orang Afrika dari negara-negara lain yang ingin mencari peluang hidup lebih baik. Bahkan, Akon City juga menyasar audiens yang tak terduga: orang keturunan Afrika di AS dan Eropa yang muak dengan diskriminasi ras. “Sistem di AS memperlakukan kulit hitam dengan tak adil,” ucap Akon. “Kalau kamu berasal dari AS atau Eropa dan ingin kembali ke Afrika, kami ingin Senegal jadi tempat perhentian pertama.”

Niat baik sudah, ambisi jelas sudah, pendanaan juga sudah. Akon pun bukan sekadar bintang yang sok ide. Sebelumnya, ia pernah mewujudkan prakarsa ambisius untuk membantu warga miskin di benua Afrika. Pada 2014, ia memulai inisiatif “Light Up Africa” bersama World Bank dan pemerintah lokal untuk mensubsidi listrik bertenaga surya ke puluhan juta warga di pedesaan Afrika. Kini, program tersebut diklaim telah menjangkau 32 juta orang di 25 negara di Afrika.

Namun, Akon City tidak disambut baik oleh semua pihak. Persoalan pertama, tentu saja, adalah karena kota tersebut akan menggusur sebuah desa nelayan yang melarat. Akon sendiri mengakui bahwa “pekerjaan sebagai nelayan akan hilang”, tapi akan datang “pekerjaan baru yang lebih baik.”

Persoalan lain: untuk proyek yang katanya ingin mengibarkan nama Senegal, keterlibatan arsitek dan desainer setempat di proyek tersebut amat minim. Kontraktor proyek tersebut berasal dari AS, arsitek proyek tersebut berasal dari Uni Emirat Arab, dan Akon sendiri bekerja dari AS. Hasilnya, desain Akon City pun dianggap tak sesuai dengan konteks Senegal.

Bangunan yang terdiri dari beton, kaca, tembaga, dan besi dinilai tak pas dengan cuaca amat panas di Senegal. Konsekuensinya, AC harus menyala seharian penuh dan menjungkalkan klaim bahwa kota tersebut bakal ramah lingkungan. Desain kota tersebut pun dikritik.

“Bentuk-bentuk kota semacam ini bisa ada di AS ataupun Dubai,” keluh arsitek asal Senegal, Nzinga Mboup. “Kenapa kami tidak diberikan kesempatan untuk mengartikan modernitas dengan cara kami sendiri?”

Menanggapi kontroversi ini, Akon mengaku ia tadinya ingin mempekerjakan arsitek dari Afrika Barat. Namun, ia “tidak bisa menemukan arsitek yang pas dalam jangka waktu yang ditentukan.” Ia mengaku telah berkonsultasi dengan Pierre Goudiaby Atepa, penasihat arsitektur yang kerap bekerjasama dengan pemerintah Senegal, tetapi tidak menjelaskan apa pengaruh Atepa dalam desain proyek tersebut.

Sebagian khawatir Akon City hanya akan jadi tempat pelesir untuk turis asing dan warga elite Afrika, sehingga jutaan warga miskin yang sungguh-sungguh butuh pekerjaan, kesempatan, dan teknologi bakal tak kecipratan berkah Akon City. “Kota ini cuma maket pemasaran untuk menarik perhatian pecinta seks, laut, dan matahari,” kritik Abdou Khadre Sanoko. Singkat kata, ini cuma jadi resor turis. Bukan pengubah kehidupan orang banyak.

Kekhawatiran pihak lain agak lebih praktis. Mata uang yang berlaku di kota tersebut adalah Akoin, cryptocurrency yang dibikin Akon sejak 2018. Masalahnya, hanya sepertiga warga di Senegal yang memiliki ponsel pintar. Siapa juga yang bakal tinggal di Akon City dan memanfaatkan teknologi bejibun tersebut?

Terlepas dari pro kontranya, niat baik Akon patut diacungi jempol, bahkan patut dijadikan panutan bagi musisi-musisi Indonesia yang ingin melebarkan sayap dari dunia tarik suara tanpa mesti menjadi norak. Coba, seru bukan kalau kita semua tinggal di Ahmad Dhani City atau–glek–Giring City?

Share: Akon Mau Bikin Kota Futuristik yang Terinspirasi Wakanda