Isu Terkini

Aher di Pusaran Kasus Meikarta

Winda Chairunisyah Suryani — Asumsi.co

featured image

Meikarta adalah proyek besar dengan cita-cita membangun sebuah kota terencana di Bekasi. Namun, berbagai persiapan yang dibuat oleh PT Lippo Karawaci Tbk itu kini terhenti. Mereka terjerat kasus korupsi. Usaha suap menyuap yang dilakukan oleh pengelola hingga deretan birokrasi, satu persatu mulai dipreteli.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun terus mencari saksi baru. Kini, nama Mantan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan (Aher) pun ikut tersandung. Dia dipanggil sebagai saksi untuk Bupati Bekasi nonaktif Neneng Hassanah Yasin, yang saat ini telah menjadi tersangka kasus suap Meikarta.

“Iya sebagai saksi untuk NHY (Neneng Hassanah Yasin),” kata Kabiro Humas KPK Febri Diansyah pada media, Kamis, 20 Desember 2018 kemarin.

Pada awalnya Aher dijadwalkan memberikan keterangan kepada KPK pada Rabu, 19 Desember 2018 lalu. Namun, Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu tak datang memenuhi panggilan. Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengaku pihaknya belum dapat informasi mengapa Aher tak datang.

“Tidak hadir tanpa pemberitahuan,” ujar Febri.

Febri mengaku bahwa keterangan Aher sangat diperlukan oleh KPK. Demi membongkar perkara suap menyuap perizinan Meikarta tersebut, pihak lembaga antirasuah akan menjadwalkan ulang pemanggilan. Mereka berharap Aher bersedia memberikan keterangannya.

“Nanti akan dipanggil kembali sesuai dengan aturan yang berlaku. Jadi kami harap ketika dipanggil agar datang memenuhi panggilan dan berbicara secara benar dengan memberikan keterangan pada penyidik,” ujar Febri.

Aher Mengaku Tidak Mangkir

Aher membantah mangkir dari panggilan KPK. Pria kelahiran Sukabumi, Jawa Barat, 19 Juni 1966 ini mengatakan bahwa pihak KPK keliru dalam memberikan surat padanya. Surat yang diterima Aher berisi untuk orang lain.

“Mohon maaf saya tidak bisa disebut mangkir karena hakikatnya saya tidak menerima surat panggilan,” katanya saat dihubungi wartawan di Bandung, Kamis, 20 Desember 2018 malam.

Memang surat dari KPK sempat datang, namun kata Aher, isi di dalam amplop itu salah nama. Surat tersebut justru memanggil sesorang yang berdomisili di Bandung dan untuk kasus di luar Meikarta. Kemudian, setelah berkonsultasi dengan sejumlah pihak, Aher memutuskan untuk mengembalikan surat tersebut kepada KPK pada Rabu siang.

“Jadi sama sekali isi suratnya tidak kaitan dengan saya, sebagai Ahmad Heryawan. Setelah saya konsultasi ke kiri dan kanan kemudian dikembalikan aja segera. Bisa salah alamat,” ujarnya.

Dia mengaku siap memenuhi panggilan dari KPK guna menjelaskan tugas dan perannya saat pemberian rekomendasi untuk proyek Meikarta.

Peran Aher di Meikarta Saat Masih Menjabat Sebagai Gubernur

Nama Aher muncul dalam dakwaan terdakwa kasus dugaan suap Meikarta, Billy Sindoro, dan kawan-kawan. Aher disebut mengeluarkan surat keputusan tentang Delegasi Pelayanan dan Penandatanganan Rekomendasi Pembangunan Komersial Area Proyek Meikarta di Kabupaten Bekasi. Dalam surat bernomor 648/Kep.1069- DPMPTSP/2017 itu, Aher mendelegasikan Kepala Dinas PMPTSP Provinsi Jawa Barat.

Lalu Dinas PMPTSP (Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu) Jawa Barat mengeluarkan surat yang ditujukan kepada Bupati Neneng. Isi surat itulah yang harus ditindaklanjuti Pemkab Bekasi sesuai dengan rapat pleno Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) Jawa Barat. Dari situlah, akhirnya KPK menetapkan 9 orang tersangka, termasuk Bupati Bekasi nonaktif Neneng Hassanah Yasin.

Dari 9 tersangka itu, ada 4 orang yang kini telah masuk ke proses persidangan, yaitu Billy Sindoro, Henry Jasmen P Sitohang, Fitradjaja Purnama, dan Taryudi. Mereka diduga memberikan uang kepada jajaran pejabat di Pemerintah Kabupaten Bekasi berkaitan dengan perizinan proyek Meikarta.

“Memberikan sesuatu berupa uang yang seluruhnya sejumlah Rp 16.182.020.000 dan SGD 270.000,” kata jaksa KPK membacakan surat dakwaan di Pengadilan Tipikor Bandung, Rabu, 19 Desember 2019 kemarin.

Pemberian duit dari Lippo inilah yang sedang ditelusuri KPK. Febri sempat menyebut kalau penyidik ingin mengetahui apakah duit yang diberikan kepada Yani Firman dan Neneng Hasanah Yasin murni untuk personal, atau dialirkan kepada sejumlah orang terkait, termasuk Ahmad Heryawan.

“Nanti tentu kami telusuri,” kata Febri.

Aher sendiri mengaku, sebagai Gubernur saat itu, ia memiliki kewenangan dalam menentukan rekomendasi. Ia menyebutkan hal itu telah diatur dalam UU. “Yang jelas, pergub yang disebut dalam berita, isinya pendelegasian kewenangan ke dinas. Itu perintah Undang-undang. Jadi di zaman sekarang, gubernur dan walikota, tidak lagi tandatangan rekomendasi. Itu sudah didelegasikan kepada kepala dinas perizinan satu pintu. Di mana-mana gitu,” katanya.

Share: Aher di Pusaran Kasus Meikarta