General

Adu Strategi Ma’ruf Amin dan Sandiaga Uno di Debat Pilpres, Mana yang Bisa Melawan Stunting?

Winda Chairunisyah Suryani — Asumsi.co

featured image

Menjelang 30 hari sebelum hari Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, dua calon wakil presiden (cawapres), Ma’ruf Amin dan Sandiaga Uno masih diberi kesempatan bertemu dalam satu satu panggung debat. Mereka kebagian membahas soal pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, sosial, dan kebudayaan. Ketika itu, Ma’ruf Amin bertanya ke Sandiaga soal program di visi misi yaitu sedekah putih untuk mengatasi stunting.

Stunting adalah perawakan pendek yang diakibatkan oleh kekurangan nutrisi pada anak. Sehingga menyebabkan tinggi badan anak tidak sesuai dengan umurnya, dan lebih pendek jika dibandingkan dengan anak normal lainnya. Berdasarkan hasil riset kesehatan, penderita stunting di Indonesia terbagi dalam 2 kategori. Kategori dewasa mencapai 29,9 persen dengan detil 17,1 persen terlihat pendek dan 12,8 persen terlihat sangat pendek. Sementara untuk kategori balita, ada 30,1 persen anak balita Indonesia menderita penyakit ini.

Sebagai cawapres, Sandiaga punya program sedekah putih untuk mengatasi itu. Kata putih diartikan sebagai susu. Program sedekah putih itu adalah bagian dari Indonesia Emas yang digagas Prabowo-Sandiaga.

Tapi, program sedekah putih itu dikritik oleh Ma’ruf. Menurutnya, program itu dianggap sebagai pemberian susu setelah anak disusui ibunya. Padahal, program pencegahan stunting seharusnya diberikan 1.000 hari pertama setelah lahir. “Apalagi diberikan setelah 2 tahun, maka tidak lagi berpengaruh mencegah stunting,” kata Ma’ruf.

Sandiaga menjawab kritik Ma’ruf dengan menceritakan pengalaman istrinya saat melahirkan putra bungsu di usia 42 tahun. Setelah bulan keenam, ASI untuk Sulaiman berhenti. Cerita itu menjadi contoh bahwa perlu ada bantuan susu untuk ibu-ibu tersebut. “Ini bukan tentang Prabowo-Sandi, bukan tentang Pilpres, ini generasi emas akan hilang jika 1/3 tidak diberi asupan susu,” kata Sandiaga.

Faktor dan Pencegahan Stunting Pada Anak

Seorang dosen departemen Gizi Masyarakat, Institut Pertanian Bogor (IPB) dr. Karina Rahmadia Ekawidyani, S.Ked.,M.Gizi menerangkan bahwa stunting disebabkan oleh faktor langsung dan tidak langsung. Faktor langsung yang menyebabkan stunting adalah kekurangan asupan makanan dalam jangka waktu yang lama dan terjangkit penyakit infeksi. Faktor yang secara tidak langsung menyebakan stunting adalah lingkungan terdekat mencakup pola asuh, pengetahuan gizi pengasuh, sanitasi lingkungan, dan kondisi ekonomi sosial keluarga.

Anak bawah lima tahun (balita) yang mengalami stunting akan mengalami gangguan perkembangan. Dalam jangka panjang stunting berdampak pada penurunan kapasitas belajar dan peningkatan resiko obesitas dan berbagai penyakit tidak menular seperti hipertensi, diabetes, dan penyakit jantung. Selanjutnya, hal ini berdampak pada produktivitas dan kualitas sumberdaya di masa depan. Dampak ini bersifat permanen atau tidak dapat kembali. Maka dari itu penting untuk melakukan pencegahan.

“Stunting merupakan kurang gizi yang kronis, jadi seharusnya dicegah supaya tidak stunting,” terang dr Karina.

Pencegahan stunting dimulai dari sebelum ibu mengandung. Seorang wanita perlu merencanakan kehamilannya dengan memastikan tubuhnya siap untuk mengandung dan memiliki gizi yang cukup baik. Hal ini dapat diketahui dari lingkar lengan ibu lebih dari 23 cm. Jika lingkar lengan masih kurang dari 23 cm, artinya ibu mengalami kekurangan energi kronis (KEK) yang akan berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan janin.

“Kehamilan harus direncanakan, karena organogenesis atau pembentukan organ terjadi selama 8 minggu kehamilan dimana biasanya ibu belum sadar kalau dia hamil jadi sebaiknya sebelum hamil, sudah memperbaiki status gizi. Berat badan jadi normal,” terang dr Karina.

Setelah mulai mengandung, terdapat beberapa poin penting yang harus diperhatikan pada kondisi ibu hamil, salah satunya menjaga status gizi ibu tetap normal. Status gizi yang berlebih ataupun kurang pada ibu hamil beresiko pada kehamilan dan kesehatan anak. Kurangnya zat gizi pada ibu selama kehamilan akan berdampak negatif pada anak untuk jangka panjang. Anak bisa mengalami kerusakan perkembangan otak, menghambat pertumbuhan fisik, serta lebih rentan untuk terkena infeksi, dan penyakit.

Kemudian, saat bayi sudah lahir, atau sekitar usia 0-6 bulan. Jika tahap sebelumnya sang ibu yang menjadi fokus utama, di tahap ke-3 inilah bayi yang membutuhkan perhatian khusus. Seperti pemberian air susu ibu (ASI) secara ekslusif. Namun ada juga kondisi yang menyebabkan bayi harus minum susu formula. Hal inilah yang sempat disinggung Sandiaga dalam debat Pilpres ketiga.

“Memang kita mendukung ASI Ekslusif, tapi jika keadaannya tidak memungkinkan, setelah di assess ternyata anaknya kurang, tidak usah memaksakan ASI ekslusif. Harus segera diperhatikan karena ini penting untuk pertumbuhan anak. Suplementasi juga tidak harus selamanya, jika sudah normal, suplementasi bisa dikurangi,” tegas dr Karina.

Kemudian, anak dengan umur 6-24 bulan adalah periode penting karena anak mulai dikenalkan dengan makanan selain ASI. Faktor lingkungan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. Memberikan Makanan Pendamping ASI (MP ASI) dengan gizi seimbang.

Mengacu pada pedoman pemberian MP ASI dari WHO, pemberian MP ASI harus memperhatikan jumlah, tekstur, dan frekuensi sesuai dengan umur. Makanan yang diberikan harus bervariasi untuk memastikan kebutuhan gizi terpenuhi. Pentingnya juga memperhatikan kebersihan perlengkapan makan anak. Kebersihan berperan penting dalam mencegah penyakit yang dapat berdampak pada stunting.

Share: Adu Strategi Ma’ruf Amin dan Sandiaga Uno di Debat Pilpres, Mana yang Bisa Melawan Stunting?