Isu Terkini

Adu Gaya Citayam Fashion Week, Mengapa Bukan di Jaksel?

Manda Firmansyah — Asumsi.co

featured image
Ilustrasi Antara

Viral remaja asal Citayam hingga Bojonggede ‘nongkrong’ di sekitar Stasiun Sudirman, Dukuh Atas, hingga Terowongan Kendal, Jakarta Pusat (Jakpus). Gaya berpakaian khas remaja itu disebut ‘Citayam Fashion Week’. Bahkan, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyinggung keberadaan remaja yang videonya viral melalui konten Instagram dan TikTok itu. 

Pengamat sosial dari Universitas Indonesia Devie Rahmawati menilai, fenomena anak Citayam hingga Bojonggede ‘nongkrong’ di Jakpus merupakan pengaruh dari media sosial. Remaja merupakan entitas individu yang sedang dalam masa pencarian identitas. Dalam mencari identitas, remaja cenderung mengikuti rujukan referensi gaya hidup. 

“Anak-anak di era digital sekarang mau tidak mau akhirnya menjadi tawanan dari kepungan visual yang mana banyak menunjukkan referensi gaya hidup, referensi tayangan. Tayangan yang mampu menyedot perhatian publik dan mendapatkan apresiasi masyarakat digital yang biasanya merupakan produk dari individu yang berasal dari kota-kota besar,” ucapnya kepada Asumsi.co, Selasa (5/7/2022). 

Menurut Devie, media sosial mengukuhkan kota sebagai rujukan referensi gaya hidup. Karakter kota sebagai kiblat referensi gaya hidup ditransmisikan melalui ruang digital. Lalu, ditangkap remaja dari luar Jakarta. 

Kemudahan transportasi memungkinkan para remaja dari luar Jakarta mewujudkan angan-angannya untuk menjadi orang dalam berbagai tayangan visual melalui konten di media sosial. Disisi lain, kehadiran UMKM, seperti starling (starbuck keliling) memfasilitasi keberadaan para remaja itu. Jadi, mereka dapat menikmati makanan dan minuman dengan harga terjangkau. 

Dalam menentukan lokasi ‘nongkrong’ di Jakarta, para remaja mengaktualisasikan dirinya sesuai dengan cara dan kemampuan mereka. 

“Ini menjadi pola yang biasa. Bagaimana anak muda kemudian selalu mencari kiblat. Ketika mereka bisa mengakses hal tersebut, mereka mengaktualisasikannya (sesuai) dengan cara dan kemampuannya,” ujar Devie. 

Ia menganggap, kiblat kebudayaan populer di Indonesia bukan hanya Jakarta Selatan (Jaksel), melainkan seluruh ibukota Jakarta (Jaksel, Jakpus, Jaktim, Jakbar, dan Jakput). Karakter sosial masyarakat Indonesia yang komunalitas menciptakan semacam hirarki. 

“Di dalam Jakarta sendiri, ada subkultur yang juga menunjukkan ada kultur tertentu seperti Jaksel yang dianggap menempati hirarki tertinggi. Bahkan di Jakarta yang sudah menjadi atau memiliki tingkat sosial yang dianggap paling tinggi di seluruh Indonesia,” tutur Devie.

Ia menilai, fenomena remaja remaja asal Citayam hingga Bojonggede ‘nongkrong’ di Jakpus tidak ada kaitannya dengan upaya menggugat dominasi anak gaul Jaksel. Rezim Orde Baru menempatkan pembangunan di Indonesia secara tersentral di Jakarta. Sehingga, Jakarta menjadi barometer – yang mana seluruh kemajuan perkembangan dimulai dari Jakarta. 

“Bicara soal Jaksel ini, 5 tahun sebelum 2018-an, muncul perilaku menggunakan bahasa inggris. Ini bisa dipahami karena secara geografis sekolah-sekolah asing banyak ada disana, karena tadi ini karakter masyarakat kita yang hirarkis berbeda dengan masyarakat Barat yang individualis,” ucapnya. 

Baca Juga:

Kala Cuitan Warganet Turut Tentukan Nasib Shin Tae-yong 

TikTok Didugat Imbas Tren Blackout Challenge Makan Korban 

Rambut Bondol jadi Tren Perempuan di Arab 

Share: Adu Gaya Citayam Fashion Week, Mengapa Bukan di Jaksel?