General

Adakah Kawan Sejati Dalam Politik?

Kiki Esa Perdana — Asumsi.co

featured image

Mungkin banyak dari kita yang masih ingat kalau Pilpres 2014 lalu terdapat dua koalisi besar untuk mendukung dua calon presiden dan wakil presiden, Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Prabowo Subianto-Hatta Rajasa maju dalam Pilpres 2014 dengan dukungan penuh dari beberapa partai yang berkoalisi dengan nama Koalisi Merah Putih. Koalisi tersebut terdiri dari Partai Gerindra yang merupakan partai bentukan Prabowo bersama PAN, PPP, PKS, PBB, dan Golkar.

Sedangkan Jokowi-Jusuf Kalla maju dengan dukungan dari partai-partai yang bersatu dengan nama Koalisi Indonesia Hebat. Partai-partai tersebut termasuk PDI-P, PKB, Nasdem, Partai Hanura, dan PKP Indonesia. Namun, seiring waktu berjalan, Koalisi Merah Putih terpecah dan membuat tiga partai dari koalisinya berbalik arah, menjadi pendukung pemerintah yang dipimpin Jokowi. Ketiga partai tersebut adalah PPP, PAN, dan Golkar.

Karena Jokowi memenangkan Pilpres 2014 lalu, PDIP sebagai partai pengusungnya kemudian terlihat mendominasi kancah pemerintahan. Bukan hanya pemerintahan pusat, pemerintah daerah pun terlihat didominasi oleh poros baru ini. Lebih lagi, Koalisi Merah Putih yang dipimpin Gerindra sebagai oposisi pemerintah pun dapat memperlihatkan sepak terjangnya dalam membangun porosnya di kancah perpolitikan Indonesia. Baik koalisi PDIP maupun Merah Putih, keduanya sama-sama membangun pengaruh mereka masing-masing sampai perpolitikan di daerah.

Buktinya, pada Pilkada 2018 kemarin tercatat ada 17 provinsi yang memperlihatkan kekuatan kedua koalisi (Berikut Para Calon yang Diusung PDIP dan Gerindra di 17 Provinsi). Pembangunan kekuatan ini bisa dikatakan sebagai bentuk koalisi strategis untuk kelancaran Pilpres mendatang, terutama terkait dengan visi dan ideologi untuk memenangkan pertarungan tersebut.

Pengaruh-pengaruh yang berhasil mereka bangun sampai pelosok daerah pastinya membuat kekuatan tersendiri. Ya, semua memang berujung pada Pilpres berikutnya. Namun, berkaca dari perpindahan koalisi yang terjadi pasca Pilpres 2014 seperti yang sudah saya jelaskan di atas, memang tidak menjamin bahwa poros kekuatan politik pada pilkada kemarin akan sama untuk pilpres berikut.

Lihat saja sikap politik Partai Demokrat untuk sekarang ini. “Politik dua kaki” seakan sedang mereka lakukan. Meski sudah menyatakan diri bergabung dengan koalisi Prabowo untuk pilpres 2019, banyak kader partainya yang memiliki beda pandangan. Malahan, hal tersebut dibiarkan dan diberikan dispensasi bagi para kader yang memilih Jokowi.

Hal ini seakan memperlihatkan inkonsistensi kondisi politik. Namun, apalah arti politik kalau sikapnya tidak fleksibel seperti ini? Mungkin memang benar dengan apa yang dikatakan William Clay, “This is quite a game, politics. There are no permanent enemies, and no permanent friends, only permanent interests”. Alur cerita politik bisa berubah kapan saja dan gimana saja. Hari ini kawan, besok lawan. Memang politik betul-betul sulit untuk ditebak.

Politik dua kaki pun bisa terjadi di mana saja dan kapan saja. Mungkin juga komentar Dr. Arlan Siddha benar adanya, bahwa “konstelasi politik Indonesia sangat dinamis memasuki tahun politik, tidak menutup kemungkinan banyak partai yang bermain dua kaki, bisa saja di sisi lain tetap bertahan pada koalisi awal namun tidak menutup kemungkinan loncat pagar keluar dari koalisi,” ujarnya saat dihubungi langsung. Bahkan ia juga berpendapat kalau koalisi politik Indonesia tidak ada yang permanen sampai ke daerah.

Kalau dilihat-lihat, gejolak politik Indonesia memanglah sangat menarik. Kekuatan koalisi politik bisa dilihat dari organisasi-organisasi politik pendukungnya. Hal ini bisa menunjukkan kekuatan mereka dan bisa juga memperlihatkan ketidakstabilan pendirian politik mereka. Dari sini, kita bisa belajar bahwa pendirian politik para politikus kita disesuaikan dengan kebutuhan politik mereka. Ini juga memperlihatkan bahwa tidak ada kawan sejati dalam perpolitikan.

Kiki Esa Perdana adalah dosen Ilmu Komunikasi. Ia sangat antusias dengan isu komunikasi politik dan budaya.

Share: Adakah Kawan Sejati Dalam Politik?