General

Rentannya Kabinet Theresa May, Serupa dengan Demokrasi Parlementer Indonesia

Hafizh Mulia — Asumsi.co

featured image

Beberapa hari ke belakang, kondisi di parlemen Inggris Raya sedang memanas. Pemicunya adalah perdebatan mengenai Brexit. Per tanggal 29 Maret 2019 nanti, Inggris Raya akan keluar sepenuhnya secara resmi dari Uni Eropa. Itu artinya, peraturan dan kebijakan apa yang akan berlaku pasca Brexit sudah harus siap selambat-lambatnya sebelum tanggal tersebut. Selain dipersiapkan, peraturan dan kebijakan tersebut pun sudah harus disetujui oleh 27 negara anggota Uni Eropa dan parlemen Inggris Raya. Namun, kurang dari empat bulan, anggota-anggota parlemen Inggris Raya tersebut belum dapat mencapai konsensus mengenai apa peraturan dan kebijakan yang harus diimplementasikan pasca Brexit. Bahkan perdebatan ini masih terjadi antar sesama anggota parlemen dari petahana.

Belum tercapainya kesepakatan bersama terkait  peraturan dan kebijakan yang akan diimplementasikan pasca Brexit, bahkan dari kubu petahana, membuat parlemen yang kini dipimpin Theresa May pun semakin goyah. Jacob Rees-Mogg, anggota parlemen dari kubu petahana, sudah mengingatkan di bulan November lalu bila perdebatan ini tidak menemui titik temu, Theresa May akan mendapatkan mosi tidak percaya dari anggota parlemen petahana (backbenches). Perpecahan di kubu petahana ini sendiri diakibatkan adanya ketidaksetujuan dari sekelompok backbenches terkait isu customs union dan perbatasan Irlandia Utara-Irlandia yang diusulkan oleh Theresa May.

Baca Juga: Maju-Mundur Inggris Raya Sejak Brexit

Apa yang diucapkan Rees-Mogg pun menjadi kenyataan. Rabu kemarin (12/12), jumlah backbenches yang mengirimkan mosi tidak percaya kepada Theresa May telah memenuhi quorum sebesar 15 persen. Itu artinya, nasib May digantungkan pada pemungutan suara dari backbenches yang dilaksanakan di hari yang sama. Beruntungnya, Theresa May masih mendapatkan kepercayaan dari backbenches dengan total 200 suara yang mendukung melawan 117.

Meski begitu, bayangkan jika Theresa May ternyata tidak didukung oleh mayoritas backbenches dan turun dari kursi perdana menteri. Dengan waktu kurang dari empat bulan tersisa, perdana menteri pengganti harus kembali mempersiapkan segalanya dari awal. Menyusun kabinet, mempersiapkan rancangan peraturan dan kebijakan pasca Brexit, kembali negosiasi ulang dengan Uni Eropa, dan segala hal yang berkaitan dengan keluarnya Inggris Raya dari Uni Eropa. Rencana Theresa May, yang sudah dipersiapkan selama hampir dua tahun lamanya, langsung kandas begitu saja. Melihat kondisi parlemen Inggris Raya yang begitu ringkih saat ini, mengingatkan kembali pada zaman Indonesia di tahun 1950-1959. Kala itu, serupa dengan Inggris Raya, Indonesia menganut demokrasi parlementer.

Ringkihnya Demokrasi Parlementer Ketika Adanya Perpecahan Internal Fraksi

Mengingat kembali demokrasi parlementer – atau demokrasi liberal – yang pernah diterapkan Soekarno di tahun 1950-1959, ingatan yang paling pertama muncul di kepala adalah tentang betapa seringnya pergantian perdana menteri Indonesia. Melalui UUDS 1950, Soekarno kala itu mengubah sistem pemerintahan dari presidensial menjadi parlementer. Perubahan ini mengakibatkan adanya pergeseran tanggung jawab kepala pemerintahan dari presiden ke perdana menteri. Mohammad Natsir dari partai Masyumi didapuk menjadi perdana menteri Indonesia yang pertama. Kala itu, Masyumi berkoalisi dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) dalam membentuk kabinet. Namun, hanya 6 bulan berselang dari tanggal 6 September 1950, mosi tidak percaya diberikan PNI pada Natsir, membuat ia turun dari jabatan perdana menteri. Efektif, parlemen harus segera membentuk kabinet baru dengan perdana menteri yang baru.

Sebulan berselang, tepatnya di tanggal 27 April 1951, Presiden Soekarno menunjuk Soekiman dari Masyumi dan Sidik Djojosukatro dari PNI untuk membentuk ulang parlemen. Dipimpin oleh Soekiman, kabinet Soekiman hanya bertahan sampai 3 April 1952. Parlemen kembali menjatuhkan mosi tidak percaya pada Soekiman karena dianggap melanggar kaidah politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif. Soekiman dianggap condong ke blok barat ketika diduga menerima bantuan ekonomi dan militer dari pemerintah Amerika Serikat dalam ikatan Mutual Security Act (MSA). Parlemen pun dikembalikan Soekiman pada Soekarno.

Tidak hanya sampai di Soekiman, keretakan koalisi partai pendukung atau mosi tidak percaya parlemen telah membuat seluruh perdana menteri berhenti dari tugasnya dalam kurun waktu yang relatif sebentar. Kabinet Wilopo diberikan mosi tidak percaya setelah satu tahun dua bulan. Keretakan koalisi membuat Kabinet Ali Sastro I mengembalikan mandat ke presiden setelah dua tahun. Begitu pun dengan Kabinet Burhanuddin dan Kabinet Ali Sastro II yang hanya bertahan kurang dari satu tahun. Relatif, hanya Kabinet Djuanda lah yang benar-benar pernah berhasil melakukan sesuatu. Kala itu, Kabinet Djuanda berhasil mengeluarkan Deklarasi Djuanda yang mengatur batas terluar wilayah kepulauan Indonesia. Meski begitu, ketidakstabilan yang mewarnai demokrasi parlementer selama kurang lebih sembilan tahun membuat Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959. Dalam dekrit tersebut, Soekarno menghentikan demokrasi parlementer berbasis UUDS 1950 dan mengembalikan Indonesia ke sistem pemerintahan presidensial di bawah UUD 1945.

Mosi Tidak Percaya Menghambat Program Pembangunan Negara

Berkaca dari kondisi yang begitu ringkih di Indonesia selama 9 tahun dari tahun 1950 hingga 1959, ditambah dengan kondisi yang begitu ringkih di Inggris Raya saat ini, benang merah yang dapat diambil adalah mosi tidak percaya dalam demokrasi parlementer dapat berbahaya untuk program pembangunan yang sifatnya berkepanjangan. Belum satu kali masa jabatan diselesaikan, seorang perdana menteri bisa-bisa sudah diturunkan. Hal ini begitu berbeda di sistem presidensial. Di sistem yang saat ini sedang diberlakukan di Indonesia, mekanisme impeachment atau menurunkan presiden secara paksa hanya dapat dijatuhkan pada presiden ketika ia terbukti melakukan tindakan kriminal. Parlemen tidak bisa tiba-tiba menurunkan seorang presiden hanya karena kebijakannya dianggap berbeda. Hal ini membuat kebijakan yang direncanakan untuk setidaknya satu kali masa jabatan dapat dilaksanakan dengan kepastian yang lebih jelas.

Share: Rentannya Kabinet Theresa May, Serupa dengan Demokrasi Parlementer Indonesia