General

Kenapa Jargon ‘Lawan Korupsi’ di Spanduk Jadi Andalan Banyak Caleg?

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Jika jeli melihat, dari pemilu ke pemilu, jargon atau tagline ‘lawan korupsi’ bisa dibilang paling mendominasi spanduk-spanduk kampanye para calon legislatif (caleg) yang berlomba menjadi wakil rakyat. Sebisa mungkin para caleg meyakinkan masyarakat dengan misi memberantas korupsi, itu pun kalau enggak khilaf. Secara alamiah, sebenarnya ada maksud baik di balik jargon ‘lawan korupsi’ tersebut.

Di Indonesia, korupsi jadi masalah akut yang mengakar selama bertahun-tahun dan sulit untuk diberantas. Sejauh ini tindakan konkret pemerintah baru sebatas mencegah lewat komisi anti rasuah, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Atas masalah klasik tersebut, caleg pun berbondong-bondong ingin jadi ‘pahlawan’ pemberantas korupsi.

Nyaris di setiap spanduk atau baliho kampanye, para caleg memasukkan jargon ‘lawan korupsi’ sebagai jualan andalan untuk menggaet simpati rakyat. Ide melawan korupsi memang sangat mulia dan tentu hal itu sangat didukung seluruh rakyat Indonesia. Pasalnya, apakah jargon tersebut akan terealisasi atau hanya jadi lip service semata ketika nanti para caleg sudah berstatus anggota DPR/DPRD?

Nah, inilah yang kemudian mengkhawatirkan. Menempatkan jargon ‘lawan korupsi’ memang semudah membuat caption di postingan Instagram; tinggal tulis dan publish. Lantas, kalau memang harus melihat secara utuh jargon tersebut tanpa melihat ada siapa (caleg) di balik spanduk atau baliho dengan jargon ‘lawan korupsi’, tentu kampanye melawan korupsi ini jadi ide bagus dan punya makna mendalam.

Lalu, apa sebenarnya alasan yang ada di balik penyertaan jargon ‘lawan korupsi’ dalam agenda kampanye para caleg di setiap kontestasi pemilu? Memangnya enggak ada program lain yang lebih bernilai bagi masyarakat dan konkret? Apa yang harus dilawan itu cuma korupsi aja?  Mari kita simak bersama penjelasan di bawah ini.

Catatan Kerugian Negara dari Kasus Korupsi di Indonesia

Melawan korupsi tentu jadi misi penting bahkan genting di negeri ini. Apalagi berdasarkan hasil kajian Laboratorium Ilmu Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) yang diterbitkan pada Selasa, 5 April 2016 lalu, nilai kerugian negara akibat tindak pidana korupsi di Indonesia selama rentang 2001-2015 mencapai Rp203,9 triliun. Hasil kajian itu juga menghitung hukuman berupa denda dan sita aset yang hanya terkumpul senilai Rp21,26 triliun saja.

Lebih rinci, total kerugian negara (biaya sosial eksplisit) yang mencapai Rp203,9 triliun itu berasal dari 2.321 kasus yang melibatkan 3.109 terdakwa. Namun, kerugian negara ini belum menghitung biaya sosial korupsi. Sayangnya, nilai denda hanya mencapai Rp21,26 triliun tersebut, itu berarti masih ada sisanya yang harus disubsidi sebesar Rp182,64 triliun.

Lalu yang jadi pertanyaan adalah siapa yang menanggung kerugian sebesar Rp203,9 T – Rp21,26 T = Rp182,64 triliun tersebut? Dengan berat hati, yang harus menanggung kerugian tersebut ya tentu saja para pembayar pajak yang budiman, ibu-ibu pembeli susu formula untuk bayi mereka, mahasiswa dan pelajar yang membeli buku teks mereka, orang sakit yang membeli obat-obatan di apotek dan toko obat, generasi di masa datang yang mungkin saat ini belum lahir.

Sebenarnya, dampak korupsi tersebut akan jauh lebih besar jika dihitung berdasarkan biaya sosial korupsi daripada hanya sekedar kerugian negara saja. Sementara untuk perkiraan biaya sosial korupsi bisa dilihat dengan mengalikan kerugian negara dengan angka pengali 2,5 kali lipat.

Perlu diketahui, hukuman finansial adalah gabungan nilai hukuman denda, hukuman pengganti dan perampasan barang bukti (aset). Dalam hal ini, aset non-moneter tidak dimasukkan karena tidak ada nilai taksiran dari aset tersebut di putusan pengadilan.

Menyedihkan ya, betapa kasus korupsi ini bisa menyebabkan kerugian masif. Apalagi hukuman finansial kepada para terpidana korupsi cenderung berat sebelah, lebih rendah dari kerugian negara yang diakibatkan. Hasil kajian itu pun menegaskan bahwa sepertinya hanya di Indonesia saja para koruptornya disubsidi oleh rakyat dan generasi muda di masa mendatang!

Kerugian Negara Alami Peningkatan

Jika melihat tren kasus korupsi dan kerugian negara yang ditimbulkan, maka terjadi peningkatan jumlah kasus dan kerugian negaranya. Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut nilai kerugian negara yang timbul akibat kasus korupsi meningkat signifikan dari 2016 ke 2017. Hal itu disampaikan Staf Divisi Investigasi ICW Wana Alamsyah, Senin, 19 Februari 2018.

Wana membeberkan bahwa sepanjang 2017 terdapat 576 kasus korupsi dengan kerugian negara mencapai Rp 6,5 triliun dan suap Rp 211 miliar. Bahkan, jumlah tersangka kasus korupsi mencapai 1.298 orang. “Dibandingkan dengan 2016, penanganan kasus korupsi tahun 2017 mengalami peningkatan signifikan, terutama dalam aspek kerugian negara,” kata Wana di Kantor ICW.

Berdasarkan catatan ICW, pada 2016 kerugian negara dalam 482 kasus korupsi mencapai 1,5 triliun. Hal ini disebabkan karena adanya kasus dengan kerugian negara yang besar seperti kasus korupsi KTP elektronik serta kasus penjualan kondensat oleh PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI).

Tak hanya itu saja, jumlah tersangka kasus korupsi juga tercatat mengalami peningkatan signifikan. Pada 2016, terdapat 1.101 tersangka dan meningkat hingga 1.298 tersangka pada 2017. Selain itu, jumlah kepala daerah yang melakukan tindak korupsi pun juga meningkat dari tahun sebelumnya yang sebanyak 21 orang menjadi 30 orang pada 2017.

Terkait modus korupsi, Wana menjelaskan bahwa modus korupsi yang paling banyak digunakan pada 2017 yakni penyalahgunaan anggaran yang mencapai 154 kasus dan menyebabkan kerugian negara mencapai Rp 1,2 triliun. Lalu, diikuti dengan modus penggelembungan harga atau mark up dan pungutan liar berturut-turut sebanyak 77 kasus dan 71 kasus.

Kemudian, modus suap tercatat mencapai 42 kasus dengan total nilai suap mencapai Rp 211 miliar. Modus korupsi yang sering dilakukan oleh pelaku korupsi dan ditangani oleh penegak hukum adalah penyalahgunaan anggaran. “Namun nilai kerugian negara paling besar terjadi pada modus penyalahgunaan wewenang yang mencapai Rp 2,3 triliun,” ujar Wana.

Catatan-catatan miris itulah yang membuat Indonesia masih bertengger dalam daftar negara paling korup di dunia. Dalam hal Corruption Perceptions Index, Indonesia meraih 37 poin pada 2016 dan 2017, membaik satu poin dibandingkan 2015 yang tercatat mengantongi 36 poin.

Uang Korupsi Harusnya Bisa Buat Apa Aja?

Setelah kita mengetahui betapa besarnya uang negara yang hilang akibat korupsi di Indonesia, jargon kampanye ‘lawan korupsi’ menjadi sangat penting keberadaannya. Ada alasan yang masuk akal bahwa jargon tersebut disuarakan, yakni perihal kerugian negara yang berimbas ke masyarakat.

Padahal, andai saja uang hasil korupsi tersebut dimanfaatkan untuk banyak sektor, maka masyarakat dipastikan akan mendapatkan dampak baik yang sangat besar hingga bertahun-tahun mendatang. Dalam kajian itu, terdapat hitung-hitungan soal realokasi dari uang negara yang sudah dikorupsi.

Bayangkan aja, jika uang itu selamat dari korupsi, maka seluruh rakyat Indonesia bisa gratis biaya BPJS hingga Rp60.000/bulan, pembangunan 600 rumah sakit standard internasional. Dana sebesar itu juga bisa untuk meluluskan 182.000 magister luar negeri atau 45.500 doktor luar negeri. Bisa juga untuk meluluskan 546.000 sarjana dengan standard kampus paling top di Indonesia.

Tak hanya itu saja, dari sisi infrastruktur, uang sebanyak itu juga digunakan untuk pembangunan jalan tol 10.000 km, pembangunan transportasi massal MRT sepanjang 202 km. Lalu, bagi para pecinta olahraga tentu akan bisa bernapas lega, lantaran uang sebesar itu bisa dimanfaatkan untuk bidang olahraga, yang digunakan untuk pembangunan 182 stadion sepakbola berstandar internasional, hingga membiayai 20 orang seperti Rio Haryanto selama 40 tahun.

Jadi sudah tau kan berapa besar kerugian negara yang disebabkan oleh kasus korupsi yang dilakukan para koruptor berdasi di Indonesia? Wajar rasanya jika jargon ‘lawan korupsi’ jadi andalan para caleg di baliho kampanyenya. Ya asalkan enggak blunder aja sih, udah keren-keren bikin kampanye dan iklan “Katakan Tidak pada Korupsi”, eh tau-taunya malah jadi koruptor.

Share: Kenapa Jargon ‘Lawan Korupsi’ di Spanduk Jadi Andalan Banyak Caleg?