Isu Terkini

Kemenristek Dikti dan Anggapan Jurusan Humaniora dan Sosial yang Tak Penting

Hafizh Mulia — Asumsi.co

featured image

Direktur Pembinaan Kelembagaan Perguruan Tinggi Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) Totok Prasetyo baru-baru ini menjadi pembicaraan khalayak ramai. Pasalnya, ketika ditemui oleh wartawan di sela-sela sebuah acara, Totok mengungkapkan kalau rumpun sosial humaniora tidak memenuhi kebutuhan industri. Ia menuturkan kalau pendirian program studi di luar Science, Technology, Engineering, Arts, dan Mathematics (STEAM) serta vokasi masih belum akan diizinkan. “Kita masih menutup pendirian prodi selain STEAM dan vokasi, karena kayak gitu. Jangan sampai perguruan tinggi kita terlalu banyak yang humaniora dan sosial saja, tetapi kebutuhan industri sebetulnya bukan di situ,” ungkap Totok, setelah menghadiri acara peresmian laboratorium Co-Op di kampus Universitas Prasetiya Mulya, Kabupaten Tangerang, Selasa (12/3).

Totok berharap kalau perguruan tinggi seharusnya menyiapkan mahasiswa yang yang benar-benar bisa bekerja. Ia bahkan mengungkapkan harapannya agar perguruan tinggi tidak mencetak penggangguran intelektual. “Jadi perguruan tinggi itu mestinya menyiapkan betul-betul mereka untuk siap bekerja,” ujarnya. Ia pun melanjutkan, “jadi tidak mencetak pengganguran intelektual, tidak cuma cetak ijazah yang bodong-bodong gitu.”

Ah, Masa Enggak Siap Masuk Industri?

Mendengar pandangan di atas membuat pikiran menjadi tergelitik. Bagaimana bisa, rumpun sosial humaniora dianggap tidak berkontribusi pada industri? Ungkapan ini jelas bertentangan dengan apa yang diucapkan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di tahun 2017. Kala itu, LIPI sendiri yang menyebutkan kalau rumpun ilmu sosial dan humaniora memiliki peran penting dalam pembuatan kebijakan pemerintah. Menurut LIPI, hasil kajian ilmu sosial humaniora, khususnya di bidang kemasyarakatan dan kebudayaan, dapat menjangkau aspek cakupan sosiologis yang luas. Aspek tersebut seperti agama dan filsafat, multikulturalisme, hukum dan masyarakat, serta ekologi sosial dan kesejahteraan masyarakat. Aspek ini didalami oleh LIPI untuk mengkaji seperti apa permasalahan di masyarakat. “Kami melakukan kajian penelitian dan mengomunikasikan pada masyarakat sebagai salah satu tanggung jawab penelitian yang didanai oleh pemerintah,” ujar Sri Sunarti Purwaningsih, Kepala Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan kebudayaan (P2KK) LIPI, Rabu 29 November 2017.

Pada tahun 2018, LIPI kembali menegaskan argumentasi terkait signifikansi dari penerapan ilmu sosial humaniora. Kali ini, Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan (IPSK) LIPI, Tri Nuke Pudjiastuti, yang mengungkapkan kalau penerapan ilmu sosial humaniora berperan sangat signifikan dalam menyuksesan program pembangunan. Ilmuwan sosial juga dinilai dapat memberikan pencerahan dan mendorong kesadaran masyarakat. “Posisi ilmuwan sosial dan humaniora memiliki peran strategis dalam memberikan pencerahan dan mendorong kesadaran masyarakat,” ujar Tri, Selasa, 23 Oktober 2018.

Sanggahan yang serupa diungkapkan oleh Diana Sorensen, seorang Profesor Bahasa & Sastra Romanik dan Sastra Komparatif. Ia mengungkapkan kalau mempelajari humaniora adalah salah satu cara terbaik menghadapi dunia luar. Di rumpun ini diajarkan agar seseorang dapat lebih kritis, namun di waktu yang bersamaan tetap mampu memahami perbedaan pandangan.  “Humaniora memberikan kalian kebiasaan berpikir kritis, membuat argumentasi, dan terbiasa dengan kondisi opini-opini yang berbeda,” ujar Diana. Ia mengungkapkan kalau salah satu area kajian yang sedang berkembang adalah humaniora digital. “Satu area yang sedang berkembang adalah humaniora digital.”

Pemikiran Kuno yang Sudah Tidak Relevan, Gagasan Usang yang Mengerdilkan

Jika ditarik dalam konteks masyarakat Indonesia, sebenarnya mudah untuk mencari salah satu akar dari pemikiran bahwa ilmu sosial humaniora adalah rumpun yang ‘inferior’ dan ‘tidak sesuai dengan industri’. Semasa Sekolah Menengah Atas (SMA), terutama sebelum Kurikulum Tahun 2013 diterapkan, setiap siswa yang baru masuk memiliki kesempatan untuk mempelajari IPA dan IPS secara bersamaan selama 6 bulan hingga 1 tahun lamanya. Setelah itu, mereka dipisahkan berdasarkan nilai yang mereka dapatkan. Untuk peringkat-peringkat terbaik, mereka akan dimasukkan ke kelas IPA (dengan opsi boleh pindah ke IPS) dan sisanya dimasukkan ke IPS dan Bahasa, tanpa opsi pindah ke IPA. Mekanisme ini telah membentuk hegemoni pemikiran di masyarakat Indonesia kalau “IPA” memiliki kemampuan yang superior dibanding IPS.

Pemikiran tersebut jelas kuno dan mengerdilkan ilmu sosial dan humaniora. Siapa yang bisa memastikan kalau seorang fisikawan, tanpa belajar di rumpun ilmu sosial humaniora lebih lanjut, akan mampu menjawab secara sosiologis alasan dibalik meningkatnya tren main game PUBG di kalangan anak muda? Atau, secara lebih spesifik, siapa yang dapat memastikan kalau mahasiswa Ilmu Teknik Kimia akan lebih dibutuhkan oleh perusahaan rintisan, dibanding mahasiswa Ilmu Komunikasi yang jelas-jelas mempelajari pola dan interaksi masyarakat sebagai market? Jika memang benar tujuan utama saat ini adalah mencetak mahasiswa yang berorientasi industri, menegasikan rumpun ilmu sosial humaniora adalah sebuah kesalahan yang fatal.

Share: Kemenristek Dikti dan Anggapan Jurusan Humaniora dan Sosial yang Tak Penting