Isu Terkini

Kapal Rusia Berlabuh di Laut Cina Selatan, Gimana Nasib Indonesia?

Hafizh Mulia — Asumsi.co

featured image

Dua kapal perang perusak dan satu kapal tanker Rusia berlabuh di perairan Filipina. Kapal Perusak Laksmana Tributs dan Vinogradov, yang merupakan kapal perusak anti-kapal selam besar, berada di perairan Manila bagi bersama kapal tanker Laksmana Irkut pada Senin, 8 April 2019 waktu setempat, seperti dilaporkan kantor berita Phillipine News Agency, dikutip dari CNN (9/4).

Ini adalah kali kedua kapal Rusia mengunjungi Filipina di tahun 2019. Bulan Januari lalu, tiga kapal perang Rusia juga berlabuh di Manila. Kedatangan kali ini dilakukan dengan tujuan ‘goodwill visit’ atau ‘kunjungan niat baik’. Selama lima hari, kapal-kapal Rusia tersebut akan mengadakan kerja sama militer dengan Angkatan Laut Filipina. Hal ini seperti diungkapkan oleh Kepala Misi Rusia Kapten Sergey Alantiev.

“Tujuan utama adalah meningkatkan kerja sama Angkatan Laut kita,” ujarnya, seperti dilansir oleh Phillipine News Agency.

Kepala Angkatan Laut Filipina Constancio Reyes Jr juga setuju bahwa kerja sama ini adalah upaya berkelanjutan untuk memperkuat hubungan kedua negara, khususnya di sektor militer. Hal ini dilakukan untuk mempromosikan perdamaian dan stabilitas di kawasan sekitar Laut Tiongkok Selatan, tepatnya di sekitar perairan Filipina.

“kedatangan rekan-rekan kami dari Angkatan Laut Rusia menggarisbawahi upaya berkelanjutan untuk lebih memperkuat hubungan antara pemerintah kami dan angkatan laut. Ini akan semakin meningkatkan dan mempertahankan promosi perdamaian dan stabilitas dan kerja sama maritim,” ujar Kapten Angkatan Laut Filipina Constancio Reyes Jr, dilansir dari Rappler.

Ke depannya, kedua negara diperkirakan akan menandatangani perjanjian kerja sama angkatan laut di bulan Juli mendatang. Kedatangan Armada Pasifik ini menjadi bagian menuju terciptanya kerja sama tersebut. Kerja sama Angkatan Laut ini akan menyepakati hal terkait latihan bersama dan kunjungan pelabuhan timbal balik akan lebih sering dilakukan.

Duterte Minta Pasukan Siap Hadapi Tiongkok

Banyak pihak berspekulasi bahwa kerja sama maritim Filipina-Rusia ini dilakukan seiring memanasnya kembali kondisi di Laut Tiongkok Selatan. Sebelumnya, Presiden Filipina Rodrigo Duterte sudah meminta Pemerintah Tiongkok untuk menjauhi Pulau Pagasa dan Thitu yang diakuinya sebagai milik Filipina. Filipina melakukan protes karena diperkirakan ada 200 kapal Tiongkok yang berada di dekat pulau-pulau tersebut.

“Saya tidak akan memohon, tapi saya hanya mengatakan kepada anda untuk menjauhi Pulau Pagasa karena saya kirim pasukan di sana. Jika anda sentuh itu, maka ceritanya jadi lain. Saya akan katakan kepada para tentara agar bersiap ‘melakukan misi bunuh diri’ (prepare for suicide mission),” ujar Duterte dalam sebuah pidato, seperti dilansir oleh SCMP pada Jumat, 5 April 2019.

Duterte mengatakan misi tersebut akan menjadi misi bunuh diri karena ia tahu bahwa kekuatan militer Filipina tidak dapat menyaingi Tiongkok. Ia juga mengungkapkan bahwa peringatan ini adalah sebatas peringatan kepada teman.

Amerika Serikat dan Inggris Lakukan Latihan Gabungan Pertama Kali di Laut Tiongkok Selatan

Bukti lain bahwa adanya tensi yang memanas di Laut Tiongkok Selatan adalah mulai berdatangannya kapal-kapal Inggris dan Amerika Serikat di Laut Tiongkok Selatan pada bulan Januari 2019 yang lalu. Latihan gabungan Amerika Serikat-Inggris ini melibatkan kapal penghancur USS McCampbell yang berbasi di Jepang, dan kapal frigat Angkatan Laut Kerajaan Inggris, HMS Argyll, yang sedang melakukan Tur Asia. Latihan gabungan Amerika Serikat-Inggris ini adalah yang pertama kalinya dilakukan kedua negara di kawasan Laut Tiongkok Selatan.

“Tidak ada catatan dalam sejarah baru-baru ini mengenai operasi bersama terutama di kawasan Laut Tiongkok Selatan,” ujar juru bicara Angkatan Laut Amerika Serikat.

Kehadiran Rusia Belum Berbahaya

Terkait kehadiran Rusia di Laut Tiongkok Selatan, Muhammad Arif selaku peneliti dari The Habibie Center menuturkan bahwa kehadiran Rusia ini belum berbahaya. Hal ini karena Rusia belum memiliki kapabilitas yang cukup untuk dapat benar-benar berpengaruh di Laut Tiongkok Selatan. Namun, kehadiran Rusia yang lebih besar akan semakin membuat dinamika di kawasan ini semakin kompleks.

“Bahasanya mungkin bukan ‘berbahaya’. Setidaknya dalam jangka pendek. Rusia masih belum memiliki kapabilitas yang cukup untuk dapat mengambil peran di power play LTS (Laut Tiongkok Selatan). Namun, kehadiran Rusia jelas akan membuat dinamika di LTS semakin kompleks,” ujar Arif untuk Asumsi.co pada Selasa, 9 April 2019. Ia pun melanjutkan, “apa yang dilakukan Rusia adalah untuk menunjukkan, khususnya untuk Amerika Serikat, bahwa Rusia adalah sebuah kekuatan yang masih perlu diperhitungkan.”

Arif juga merasa bahwa apa yang dilakukan Filipina memang menjadi strategi khas Duterte selama ini. Strategi tersebut adalah hedging. Strategi ini berarti melakukan dua kebijakan kontradiktif demi mengurangi risiko terlalu berkomitmen pada satu arah kebijakan saja.

“Untuk Filipina, itu sesuai dengan strategi hedging yang memang dilakukan Duterte selama ini,” lanjut Arif.

Apa Efek untuk Indonesia?

Tensi yang kian memanas ini juga membahayakan Indonesia. Bagi Arif, keadaan Indonesia bisa terancam akibat perselisihan ini, terlebih jika perang terbuka benar-benar terjadi.

Meski demikian, ancaman tersebut bukan lah ancaman militer. Arif menyebutkan bahwa ancaman utama jika perang terbuka terjadi di Laut Tiongkok Selatan adalah justru pada sektor ekonomi. Ekonomi Indonesia yang sedang begitu baik akan terganggu lajunya jika konflik benar-benar terjadi.

“Risiko terbesar buat Indonesia adalah disrupsi ekonomi. Akan sangat merugikan Indonesia jika pertumbuhan ekonominya justru terganggu akibat konflik yang terjadi di LTS,” tutup Arif.

Apa yang diucapkan Arif benar adanya. Seperti dilansir dari Kompas kepulauan Natuna yang berada di bagian utara Indonesia bersebelahan langsung dengan LTS. Hal ini berarti Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia akan terdampak langsung jika perang terbuka terjadi.

Selain itu, LTS merupakan jalur laut dengan total nilai ekonomi sebesar US$5,3 triliun per tahun. Jika perang terjadi di wilayah ini, kondisi perekonomian Indonesia yang salah satunya bergantung dengan jalur pelayaran di LTS ini akan sangat terdampak.

Share: Kapal Rusia Berlabuh di Laut Cina Selatan, Gimana Nasib Indonesia?