Isu Terkini

Inses Jadi Sumber Kekerasan, Rumah Bukan Tempat yang Aman Bagi Perempuan?

Rosa Cindy — Asumsi.co

featured image

Meski hidup di tahun 2019, yang katanya era modern, nyatanya kekerasan terhadap perempuan masih banyak terjadi. Bahkan, pada peluncuran Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2019, Rabu (6/3/2019) lalu, angka kekerasan terhadap perempuan yang terlapor tercatat sebanyak 406.178 kasus, alias meningkat sekitar 14 persen dari tahun lalu.

Ya memang sih, meningkatnya angka terlapor itu artinya kesadaran masyarakat akan isu ini terus tumbuh, yang ditandai dengan kemauan masyarakat untuk melapor. Tapi kenyataan ini enggak seharusnya membuat kita berlega hati atas lebih dari 400 ribu kasus yang terjadi tersebut. Belum lagi pada kasus yang enggak terlapor.

Mirisnya lagi, CATAHU 2019 kembali menyatakan bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan yang paling banyak terjadi di ranah personal adalah inses. Yep, hubungan seksual yang terjadi pada orang-orang yang bersaudara atau sedarah itu. Dan pelaku terbanyaknya adalah ayah dan paman.

Kasus inses ini sendiri tercatat di angka 1.071 dari 2.988 kasus di ranah personal selain kekerasan yang dilakukan mantan pacar. Ada pula kasus lainnya seperti perkosaan, pencabulan, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, perkosaan dalam perkawinan (marital rape), dan lainnya.

Meski angka kasus inses tercatat menurun dari tahun sebelumnya, namun kasus ini perlu perhatian lebih. Sebab, baik korban dan pelaku terikat dalam sebuah relasi keluarga, yang membuat kasus ini sulit dilaporkan korban dan ditindaklanjuti.

“Biasanya jika korban adalah anak perempuan, ibu korban sulit menyoal pelaku yang notabene adalah suaminya. Bisa dibayangkan bagaimana kesulitan korban melaporkan kasusnya karena menjaga nama baik keluarga masih menjadi budaya di Indonesia,” tulis Komnas Perempuan dalam CATAHU 2019.

Selain sulit dilaporkan, kebanyakan kasus inses juga enggak sampai ke pengadilan, melainkan berhenti di kepolisian. “Kalau yang dari kami terima dan pantau kasusnya, kebanyakan hanya sampai ke kepolisian, dan dari kepolisian tidak lanjut lagi,” tutur Mariana Amiruddin, Komisioner Komnas Perempuan. Umumnya, hal ini terjadi karena korban mencabut laporannya ke polisi, masih dengan alasan bahwa korban dan pelaku terikat hubungan keluarga.

Lanjut Mariana, kasus kekerasan di ranah privat ini sulit ditindaklanjuti dan justru paling rumit, karena dianggap tidak seharusnya menjadi masalah besar. CATAHU ini sendiri menunjukkan bahwa kekerasan seksual terhadap perempuan bisa dilakukan oleh siapapun, termasuk orang di lingkaran terdekatnya. Ini juga menunjukkan bahwa baik ayah maupun paman belum tentu menjadi pelindung dalam keluarga.

“Fakta yang mengkhawatirkan di tengah kuatnya konstruksi sosial yang menempatkan laki-laki sebagai wali dan pemimpin keluarga,” ujar Wakil Ketua Komnas Perempuan, Yuniyanti Chuzaifah.

Kasus-kasus ini juga membuktikan bahwa ungkapan “kodrat perempuan adalah di rumah” atau “perempuan yang baik adalah yang tinggal di rumah” itu enggak tepat. Nyatanya, rumah pun enggak jadi tempat yang aman bagi perempuan.

Pelaku memang pihak yang harus bertanggung jawab. Dalam konteks inses sebagai kekerasan terhadap perempuan, harus ada edukasi bagi laki-laki untuk menghargai perempuan, mampu menahan nafsu, dan tidak menyalahgunakan relasi kuasa yang dimiliki. Namun, di sisi lain, penting juga adanya edukasi bagi anak mengenai kesehatan seksual dan reproduksi. Tanpa bermaksud victim blaming, nyatanya pendidikan seksual dan reproduksi yang dianggap tabu di masyarakat berujung pada anak yang tidak paham pada batasan-batasan yang ada. Apalagi, kebanyakan korban inses adalah anak perempuan, yang belum memahami consent.

Lalu, kapan waktu yang tepat untuk mengenalkan anak pada pendidikan seksual dan reproduksi, serta consent?

Menurut Psikolog Klinis Inez Kristanti pada roadshow kampanye #AkuDewasa di China Construction Bank (CCB), pengenalan anak pada pendidikan seksual dan reproduksi harus dimulai sedini mungkin. Inez kemudian melanjutkan, bahwa sejak usia 0 sampai 2 tahun, anak sudah harus dikenalkan pada organ-organ tubuhnya, termasuk alat kelamin, dengan nama yang sesungguhnya. Enggak perlu malu atau mengubah namanya menjadi nama lain yang sering kita dengar, seperti “anu”, “burung”, dan lain sebagainya, karena memang penis dan vagina adalah nama aslinya.

Saat anak tumbuh lebih besar, sekitar usia 3 sampai 5 tahun, mulai kenalkan anak ada hak privasinya, agar anak awas pada bagian-bagian yang boleh disentuh orang lain atau tidak. Tindakan ini bisa dilakukan dengan cara yang lebih menyenangkan bagi anak, misalnya mewarnai tubuh manusia. Ajak anak untuk mewarnai bagian-bagian yang tidak boleh disentuh orang lain dengan warna merah, agar ia lebih mudah paham.

Pemahaman mengenai hak privasi ini juga baik dipahami orang tua juga, agar tidak memaksa anak melakukan hal-hal yang mungkin tidak dikehendakinya, seperti mencium om atau tantenya. Tanamkan hal ini agar anak tumbuh besar memahami bahwa ia memiliki kendali atas tubuhnya sendiri. Dengan demikian, baik anak laki-laki maupun perempuan akan tumbuh besar dengan mampu mengontrol tubuhnya, nafsunya, serta bisa menolak pada hal-hal yang sekiranya tidak diinginkan.

Pemahaman ini sendiri memang tidak menjamin bahwa kekerasan terhadap perempuan, termasuk inses, akan hilang dalam sekejap. Tapi setidaknya, hal ini diharapkan dapat membuat anak tumbuh dengan pemahaman bahwa ia memiliki kendali atas tubuhnya sendiri, dan hak persetujuan alias consent. Saat ia tidak mau, ia bisa berkata tidak.

Langkah lain yang bisa kita lakukan? Ya, dukung terus RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

Rosa Cindy adalah penyuka isu sosial dan jalan-jalan. Bukan feminis garis keras, tapi juga enggak terima pada kenyataan tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan. Coba sapa dia melalui akun media sosial Instagram dan Twitter, @rosacindys. Ajak diskusi juga boleh.

Share: Inses Jadi Sumber Kekerasan, Rumah Bukan Tempat yang Aman Bagi Perempuan?