General

Ancaman “Big Data” Terhadap Pemilu

Hafizh Mulia — Asumsi.co

featured image

Perlindungan mengenai data pribadi merupakan satu hal yang penting. Namun, masih banyak yang belum sadar bahwa seringkali, seseorang mengumbar-umbar data yang sebenarnya rahasia. Ahmad Zakaria, seorang pengacara dan pemerhati keamanan data dan internet, menuturkan bahwa yang menjadi permasalahan ketika suatu data bocor bukan lagi kebocorannya itu sendiri. Namun, suatu kebocoran data menjadi permasalahan tergantung dari si pengguna yang mempermasalahkannya atau tidak.

“Jadi poinnya adalah ketika suatu data pribadi itu bocor, dan misalnya enggak ada kehebohan, mungkin bagi orang yang data pribadinya bocor itu data pribadinya enggak ada harganya,” ujar Zaka, sapaan akrabnya, ketika berbincang dengan Rayestu dalam episode terbaru podcast Asumsi Bersuara with Rayestu, tayang Selasa (9/4).

Sudah Ada Jalur Hukum Indonesia yang Bisa Ditempuh

Jika ternyata seseorang mempermasalahkan kebocoran data pribadinya, Zaka menuturkan bahwa ada jalur hukum yang bisa ditempuh di Indonesia. Namun kembali lagi, masyarakat pun menurut Zaka belum mengetahui banyak soal jalur hukum ini.

Nah, itu sebenernya dari hukum Indonesia bisa dia menempuh satu proses hukum sendiri, cuman isunya adalah apakah orang yang merasa data pribadinya itu penting, terus dibocorkan oleh pihak lain, dia tau di Indonesia itu sebenarnya sudah ada perlindungan data pribadi? Karena secara faktanya kayaknya engga banyak di Indonesia yang tahu bahwa data pribadi kita tuh sebenarnya dilindungi hukum,” tutur Zaka, sapaan akrab Achmad Zakaria.

Konsultan Politik Indonesia Harus Tanggap menggunakan Data sebagai Strategi Kampanye

Kemudian, Zaka pun berbicara mengenai pemakaian data-data pengguna internet ini untuk pelaku konsultan politik di Indonesia. Menurut Zaka, data di internet itu jumlahnya sangat besar dan variasinya begitu banyak. Hal ini lah yang membuat data-data itu sebenarnya tidak ada gunanya, kecuali ada yang paham bagaimana memanfaatkannya. Ia berharap konsultan politik di Indonesia mulai menggunakannya.

“Jadi gini, gue sendiri sebenarnya berharap di Indonesia konsultan-konsultan politik itu sudah mulai memanfaatkan big data, jadi kalau kita bicara big data itu kan kita bicara kumpulan data yang benar-benar jumlahnya besar sekali, terus kecepatan perolehannya cepat, dan variasi datanya begitu banyak, kalau kita bicara big data tuh, big data itu sendiri tidak akan ada manfaat sampai dengan ada orang yang memiliki tujuan khusus dia mau targetnya apa, dari data itu baru datanya diolah memenuhi target yang dia capai,” ujar Zaka. Ketika data tersebut diolah, nilai dari data tersebut begitu berharga selayaknya emas.

“Kalau kita olah, data itu benar-benar kayak emas,” terangnya.

Kesalahan Cambridge Analytica dalam Pemanfaatan Data

Meski mendorong untuk para pelaku konsultan politik di Indonesia menggunakan big data, Zaka merasa bahwa hal tersebut harus dilakukan secara legal. Ia mengambil contoh bagaimana Cambridge Analytica gagal meminta persetujuan pengguna dan akhirnya menjadi masalah dalam Pemilu Amerika Serikat 2016 yang lalu.

“Si Cambridge Analytica dia tuh kasusnya awalnya dari dia memanfaatkan aplikasi-aplikasi seperti itu, jadi untuk aplikasi-aplikasi yang ada di Facebook, dia beli tuh datanya … dia mempelajari pola orang dan behaviour orang dalam men-sharing berita, kepribadian orang, untuk menentukan sebenarnya kampanye seperti apa, atau topik-topik apa yang diinginkan masyarakat Amerika waktu itu,” tutur Zaka. Ia pun melanjutkan, “data-data seperti itu diambil, akhirnya Presiden Trump, coba lihat kampanye dia, anti-imigran, bikin tembok di antara amerika sama meksiko.”

Dalam cara yang dilakukannya, kesalahan Cambridge Analytica adalah tidak meminta persetujuan pengguna bahwa data itu akan digunakan pihak ketiga untuk kepentingan politik. Pengguna hanya memberikan persetujuan bahwa datanya akan dimanfaatkan dalam permainan tersebut, bukan oleh pihak ketiga, terlebih yang berkaitan dengan politik.

“Kalau pertanyaannya salah (atau) enggak salah, jawabannya enggak salah. Sama sekali enggak salah. Yang salah adalah kalau mereka menggunakan data kita tanpa persetujuan. Kata kuncinya tentang perlindungan data pribadi adalah persetujuan kita untuk pemanfaatan data kita. Nah si Cambridge Analytica ini, tidak mendapatkan persetujuan user datanya digunakan untuk tujuan politik. Jadi ketika user memberikan persetujuan, itu dia memberikan persetujuan untuk ikutan my personality app, my personality app itu enggak pernah ngomong bahwa datanya bisa dimanfaatkan untuk tujuan politik,” ungkap Zaka.

Melihat Pola Interaksi Pengguna dalam Proses Analisis Data

Dalam menganalisis data, cara yang dilakukan adalah dengan menganalisis pola interaksi pengguna. Termasuk apa pun yang dibagikan oleh pengguna di media sosialnya.

“Jadi contoh gampangnya gini deh, kita ambil contoh politik di Indonesia, kalau misalnya saya setiap hari nge-share di Facebook saya, berita-berita tentang kesuksesan pemerintah tentang infrastruktur, jalan tol, udara, darat, laut, langit, kalian yang ngedenger bisa tau enggak kira-kira preferensi politik saya apa, saya akan memilih presiden yang seperti apa, … dari situ lah, dari pola-pola kita berinteraksi di media sosial, data-data itu lah yang diambil dipelajarin, dan digunakan untuk manfaat politik,” sebut Zaka.

Penggunaan Micro-Targeting Sudah Dilakukan Sejak Era George W Bush

Dalam penggunaan big data, ternyata tidak hanya Presiden Donald Trump yang melakukannya. Luthfi Baskoroadi, seorang Analis Media dan Politik Indonesia, menuturkan bahwa dua presiden Amerika Serikat sebelumnya, yakni Obama dan George W Bush, sudah pernah melakukan micro-targeting berbasis big data dan terbukti sukses.

Di negara lain, penggunaan big data juga sudah dilakukan dalam kampanye politik. Hal ini seperti dilakukan oleh Narendra Modi pada Pemilu 2014 dan Pemilu Kenya 2013. Menarik untuk melihat bagaimana lanskap politik Indonesia setelah big data digunakan secara masif.

Share: Ancaman “Big Data” Terhadap Pemilu