Menteri Kebudayaan (Menbud) Fadli Zon menyarankan agar dibangun bioskop di Aceh menyusul ekosistem dunia perfilman Indonesia yang dinilai sedang moncer. Selama ini, Aceh menjadi salah satu provinsi yang tidak memiliki bioskop sejak diberlakukannya darurat militer pada awal 2000-an, yang menyebabkan situasi keamanan memburuk dan mengakibatkan penurunan jumlah penonton.
Selain juga dipengaruhi oleh penerapan Syariat Islam di Aceh, di mana beberapa kelompok masyarakat menganggap keberadaan bioskop tidak sesuai dengan nilai-nilai syariat. Ia mengaku telah mengusulkan hal itu kepada Wakil Gubernur Aceh terpilih serta Wali Nangroe Aceh.
“Saya memang menyampaikan, menyarankan (bioskop di Aceh) karena memang secara nasional kita ini ekosistem film kita nih lagi bagus-bagusnya,” kata Fadli Zon di Kota Yogyakarta, DI Yogyakarta, pada Jumat (17/1/2025).
Politisi Partai Gerindra itu bilang bahwa pembangunan bioskop di Serabi Mekkah memang akan menghadapi sejumlah tantangan. Hal itu mengingat Aceh merupakan satu-satunya provinsi yang diberi keistimewaan untuk menerapkan Syariat Islam atau hukum Islam parsial. Sehingga menurut dia, pembangunan bioskop di sana memerlukan adaptasi.
“Tapi tentu ini karena Aceh ini agak spesifik. Karena Aceh ini menggunakan syariat Islam. Jadi perlu ada mungkin penyesuaian dan adaptasi di situ,” katanya.
Menurut dia, aturan di Aceh yang mengadopsi hukum Islam secara parsial dapat mengakomodasi pembangunan bioskop. Mantan aktivis era reformasi itu menyinggung kehadiran bioskop di sejumlah negara di Timur Tengah yang juga menerapkan hukum Islam, misalnya seperti Arab Saudi.
“Coba, kalau kita lihat di Doha (Qatar), di Arab Saudi, banyak bioskop. Jadi bioskop-bioskop itu menurut saya masih diperlukan sebagai sebuah platform,” katanya.
Ditentang Sineas Lokal
Usulan Fadli Zon ini mendapat penentangan dari lokal di Banda Aceh, Davi Abdullah dengan mengatakan, pernyataan tersebut menunjukkan ketidakpahaman menteri itu terhadap perkembangan zaman dan tren budaya digital yang tengah berkembang pesat.
“Bang Menteri Kebudayaan sepertinya tidak mengikuti perkembangan zaman. Kini kita hidup di era digital di mana orang lebih memilih menonton film melalui platform OTT atau over the top di rumah mereka, bukan lagi bergantung pada bioskop tradisional,” ujar dia.
Davi Abdullah mengatakan dunia hiburan kini telah memasuki era baru yang dipengaruhi oleh teknologi, dengan kemudahan mengakses film dan tayangan lainnya dari berbagai platform streaming.
“Orang-orang sudah berlomba-lomba menikmati hiburan melalui home cinema dan layanan streaming digital. Ini adalah perubahan besar mengonsumsi film dan hiburan secara umum dan mendunia,” ujarnya.
Ia juga menilai bahwa pandangan kebudayaan untuk Aceh bukan hanya sebatas mendirikan Bioskop, Jika hanya berpandangan terkait bioskop, menteri berpandangan mundur. Tentang bioskop dan syariat Islam memang penting, tetapi kita tidak bisa menafikan kenyataan bahwa cara orang menonton film sekarang jauh lebih fleksibel. Banyak penonton kini memilih untuk menikmati film melalui platform digital.
Menurut dia, dengan berkembangnya OTT (over the top), pembuat film dan penonton tidak lagi terkungkung oleh konsep bioskop konvensional.
“Platform digital memberikan peluang yang lebih luas untuk karya-karya film, tidak hanya dari segi distribusi, tetapi juga untuk memberikan akses yang lebih mudah kepada penonton di seluruh Indonesia, bahkan dunia,” ujarnya.
Diketahui, bioskop di mulai tutup satu per satu sejak diberlakukannya darurat militer pada awal 2000-an, yang menyebabkan situasi keamanan memburuk dan mengakibatkan penurunan jumlah penonton. Puncaknya, bencana tsunami pada 26 Desember 2004 menghancurkan infrastruktur, termasuk gedung-gedung bioskop, sehingga bioskop di Aceh tidak beroperasi lagi sejak saat itu.
Akibat ketiadaan bioskop, sebagian warga Aceh yang ingin menonton film di bioskop memilih pergi ke Medan, Sumatera Utara, yang berjarak sekitar 12 jam perjalanan darat dari Banda Aceh.
Bioskop di Saudi
Arab Saudi telah mencatat sejarah besar dalam dunia hiburan setelah mencabut larangan operasional bioskop yang telah berlangsung selama lebih dari 35 tahun. Kebijakan ini merupakan bagian dari reformasi sosial dan ekonomi yang diprakarsai oleh Putra Mahkota Mohammed bin Salman melalui visi ambisius Vision 2030. Langkah ini tidak hanya mengubah lanskap budaya negara itu, tetapi juga membuka peluang ekonomi baru yang signifikan.
Sejak awal 1980-an, bioskop dilarang di Arab Saudi sebagai bagian dari kebijakan konservatif yang diperkenalkan oleh ulama konservatif. Hiburan publik, termasuk film, dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam tradisional yang dijaga ketat oleh negara. Selama beberapa dekade, masyarakat Saudi harus bepergian ke negara tetangga seperti Bahrain dan Uni Emirat Arab untuk menonton film.
Pada Desember 2017, pemerintah Saudi mengumumkan rencana mencabut larangan bioskop. Bioskop pertama secara resmi dibuka pada April 2018 di Riyadh, menayangkan film blockbuster Hollywood, Black Panther. Pembukaan ini menjadi simbol perubahan besar di negara tersebut, menarik perhatian internasional.
Keputusan ini adalah bagian dari program reformasi yang dirancang untuk mendiversifikasi ekonomi Saudi, yang selama ini sangat bergantung pada minyak. Dengan mengembangkan sektor hiburan, pemerintah berharap dapat menciptakan lapangan kerja baru dan mengurangi tingkat pengangguran, terutama di kalangan generasi muda.
Baca Juga:
Arab Saudi Berencana Bangun Bioskop Dekat Kabah
DPR Usul Pemerintah Bangun Bioskop di Setiap Kecamatan untuk Genjot Perekonomian
PDIP Luncurkan Mobil Bioskop Keliling ke Seluruh Pelosok Indonesia