Israel dan Hamas telah menyetujui gencatan senjata di Jalur Gaza setelah saling menyerang selama 16 bulan terakhir. Kesepakatan ini berpotensi mengakhiri perang Israel yang menghancurkan di wilayah tersebut. Gencatan senjata ini akan mulai berlaku pada Minggu (19/1/2025), sehari sebelum pelantikan Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS).
Perdana Menteri Qatar Mohammed bin Abdulrahman bin Jassim Al Thani mengumumkan kesepakatan tersebut dalam konferensi pers pada Rabu (15/1/2025) di Doha, Qatar. Surat kabar Israel, Haaretz, melaporkan, Qatar bersama dengan Mesir, membantu menegosiasikan kesepakatan dengan Israel, sementara pemerintahan AS yang akan datang di bawah Presiden terpilih Donald Trump memberikan tekanan pada pihak Israel.
Trump telah memperingatkan bahwa akan ada “konsekuensi berat” jika kesepakatan untuk membebaskan warga Israel yang ditahan tidak tercapai sebelum pelantikannya pada 20 Januari. Di antara para tahanan tersebut terdapat warga negara AS.
Isi Kesepakatan
Rincian kesepakatan menyoroti fase awal gencatan senjata selama enam minggu yang mencakup penarikan bertahap pasukan Israel dari Gaza utara dan pembebasan tawanan yang ditahan oleh Hamas serta kelompok bersenjata lainnya sebagai imbalan atas pembebasan tahanan Palestina di Israel.
Menurut rincian kesepakatan yang diperoleh oleh Middle East Eye, 33 tawanan Israel yang ditahan di Gaza akan dibebaskan sebagai bagian dari fase pertama, termasuk sembilan orang yang sakit atau terluka. Sementara Israel akan membebaskan 1.000 tahanan Palestina yang ditangkap sejak 8 Oktober 2023.
Dari 33 tawanan Israel, beberapa pria berusia di atas 50 tahun akan dibebaskan dengan pertukaran tahanan Palestina yang menjalani hukuman seumur hidup dengan rasio 1:3, serta tahanan Palestina lainnya dengan rasio 1:27.
Hisham al-Sayed dan Avera Mengistu, yang telah ditahan di Gaza sebelum perang Israel, akan dibebaskan sebagai imbalan atas 60 tahanan Palestina dan 47 warga Palestina yang ditangkap kembali setelah dibebaskan pada 2011 dalam kesepakatan pertukaran tahanan Gilad Shalit.
Sebagai bagian dari fase pertama, Israel akan mulai menarik diri dari Jalur Gaza, bergerak ke arah timur dari daerah padat penduduk, termasuk dari Koridor Netzarim dan bundaran Kuwait. Koridor Netzarim sepanjang enam kilometer, yang disebut sebagai “poros kematian” oleh warga Palestina, didirikan oleh militer Israel selama perang saat ini.
Koridor ini membentang dari perbatasan Israel dengan Kota Gaza hingga Laut Mediterania dan digunakan oleh pasukan Israel untuk memantau dan mengontrol pergerakan warga Palestina antara Gaza utara dan selatan.
Pada musim panas, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyatakan bahwa dalam kesepakatan gencatan senjata, tidak akan ada penarikan pasukan Israel dari wilayah tersebut.
Pasukan Israel akan mundur ke perimeter sejauh 700 meter dari perbatasan dengan Gaza, kecuali di lima titik lokal di mana perimeter akan bertambah 400 meter tambahan, sebagaimana ditentukan oleh Israel.
Adapun Koridor Philadelphi selebar 14 km, yang membentang sepanjang perbatasan Gaza dengan Mesir, Israel akan mengurangi pasukannya dari zona penyangga selama fase pertama.
Respons Trump dan Biden
Presiden AS terpilih Donald Trump dengan cepat mengklaim kredit atas kesepakatan tersebut, dengan memposting di platform TruthSocial miliknya.
“Kesepakatan gencatan senjata yang epik ini hanya bisa terjadi sebagai hasil dari Kemenangan Bersejarah kami pada November, yang memberi sinyal kepada seluruh Dunia bahwa pemerintahan saya akan mencari Perdamaian dan menegosiasikan kesepakatan untuk memastikan keamanan semua warga Amerika,” kata Trump melalui platform itu, seperti dikutip melalui Middle East Eye.
“Tim Keamanan Nasional saya, melalui upaya Utusan Khusus untuk Timur Tengah, Steve Witkoff, akan terus bekerja sama dengan Israel dan sekutu kami untuk memastikan Gaza TIDAK PERNAH lagi menjadi tempat perlindungan teroris. Kami akan terus mempromosikan PERDAMAIAN MELALUI KEKUATAN,” tulis Trump melanjutkan.
Tak lama setelah itu, presiden AS yang akan lengser, Joe Biden, mengeluarkan pernyataannya yang juga mengklaim kredit atas kesepakatan tersebut, dengan menegaskan bahwa Hamas yang menyebabkan keterlambatan, bukan Israel.
“Saya telah menguraikan secara rinci kerangka rencana ini pada 31 Mei 2024, setelah itu disetujui secara bulat oleh Dewan Keamanan PBB. Ini adalah hasil tidak hanya dari tekanan ekstrem yang dialami Hamas dan perubahan persamaan regional setelah gencatan senjata di Lebanon dan melemahnya Iran — tetapi juga dari diplomasi Amerika yang gigih dan penuh ketelitian,” kata Biden.
Pada bulan Juni, Hamas menyatakan telah menerima kesepakatan yang diusulkan oleh Biden. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyatakan tidak akan menyetujuinya, meskipun Washington saat itu mengklaim bahwa ia sudah setuju.
“Kami semua menunggu kepulangan saudara-saudari kami,” kata Presiden Israel Isaac Herzog sesaat setelah gencatan senjata diumumkan. Ia juga mendesak kabinet keamanan Netanyahu untuk mendukung kesepakatan tersebut.
Pemerintah Israel diperkirakan akan memberikan pernyataan mengenai kesepakatan ini pada hari ini Kamis (16/1/2025). Sementara itu, penjabat pemimpin Hamas, Khalil al-Hayya, mengatakan pada hari Rabu bahwa Israel gagal mencapai tujuannya di Gaza, menunjukkan bahwa serangan selama 16 bulan tersebut telah berubah menjadi perang gesekan yang terlalu mahal secara politik bagi Tel Aviv.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres pada hari Rabu menyatakan harapannya agar kesepakatan ini dapat menghilangkan hambatan keamanan dan politik yang signifikan yang telah menghalangi pengiriman bantuan kemanusiaan ke Gaza. Ia menambahkan bahwa PBB siap meningkatkan pengiriman bantuan sebagaimana diwajibkan oleh kesepakatan tersebut.
Baca Juga:
Hamas Disebut Setuju dengan Proposal Gencatan Senjata di Jalur Gaza
Zionis Israel Telah Hancurkan Hampir 1.000 Masjid di Jalur Gaza
Israel Serang Mobil Jurnalis Gaza, Tewaskan 5 Orang