Media Asing Kritisi Subsidi Pembelian Kendaraan Listrik Indonesia, Disebut Mending Buat Tingkatkan Layanan Kesehatan

Yopi Makdori — Asumsi.co

featured image
Unsplash/Ilustrasi kendaraan listrik

Mendia asing mulai mengkritisi langkah pemerintah Indonesia untuk memberikan subsidi terhadap pembelian kendaraan listrik. Media yang berbasis di Inggris, The Economist menganggap langkah itu sebagai hal yang sembrono, sembari menyarankan agar insentif itu dapat dialihkan untuk memperbaiki layanan kesehatan bagi masyarakat Indonesia.

“Jika Indonesia harus menyubsidi sesuatu, maka meningkatkan layanan kesehatan primer atau pelabuhan yang tidak efisien akan menjadi penggunaan dana yang lebih baik daripada taruhan sembrono pada EV (kendaraan listrik)” demikian tulis media itu, seperti dikutip pada Rabu (15/1/2025).

Usulan ini merupakan bagian dari kritikan besar media itu terhadap nafsu Indonesia yang berniat membangun rantai pasok kendaraan listrik dari hulu ke hilir. Selama ini Pemerintah Indonesia beralasan bahwa mereka hampir memiliki semua sumber daya alam yang diperlukan untuk membuat kendaraan listrik. Sehingga mereka berpikir mengapa harus membiarkan pihak lain mengambil keuntungan atas meningkatnya industri kendaraan listrik tersebut.

“Pemerintah kini mencoba mendorong permintaan domestik untuk EV dengan subsidi, dan mengincar investasi rantai pasok EV dari perusahaan seperti BYD dan Hyundai,” katanya.

Mimpi ini dibangun di atas keberhasilan Indonesia dalam mendominasi pasar nikel buntut kebijakan larangan ekspor bahan tambang itu yang mulai berlaku penuh sejak 2020. Kebijakan itu menumbuhkan puluhan smelter nikel lantaran para investor mematuhi aturan pemerintah demi mendapatkan logam tersebut.

Pangsa Indonesia dalam produksi nikel olahan dunia telah meningkat dua kali lipat sejak 2020, menjadi hampir separuh dari total produksi. Pada 2023, ekspor nikel olahan Indonesia mencapai $22 miliar (Rp359 triliun), atau 9 persen dari total ekspor negara tersebut, naik dari 2 persen pada 2019. Ledakan nikel ini mendorong surplus perdagangan Indonesia mencapai rekor tertinggi pada 2022.

Nasionalisme sumber daya Indonesia membuat tambang nikel dari Australia hingga Brasil gulung tikar. Media itu berspekulasi bahwa separuh dari tambang tersebut merugi.

Dari keberhasilan ini, Indonesia berupaya menerapkannya untuk menguasai rantai pasokan kendaraan listrik, Namun, kebijakan industri yang agresif ini dinilai salah arah.

Kekuatan pasar dalam nikel tidak berarti kekuatan serupa dalam seluruh rantai pasok kendaraan. Bahan mentah hanya merupakan sebagian kecil dari biaya rata-rata kendaraan listrik.

“Dan terkait faktor lain yang menentukan lokasi produksi mobil, seperti kapasitas logistik dan keahlian lokal, Indonesia kurang menarik dibandingkan negara tetangga seperti Vietnam dan Thailand,” katanya.

Belum lagi baterai berbasis nikel yang dibuat oleh Indonesia tidak sesuai dengan preferensi konsumen lokal. Mereka lebih menyukai kendaraan yang dibuat dengan baterai lithium-iron-phosphate yang murah. Sehingga membuat penjualan kendaraan listrik domestik masih minim.

The Economist mewanti-wanti bahwa pendekatan nasionalistik Indonesia kemungkinan menjadi kegagalan yang mahal. Berbeda dengan pemrosesan nikel, di mana kendali atas bijih memberikan kekuatan terhadap para penambang, dalam hal kendaraan listrik Indonesia mencoba menyubsidi jalannya menuju pangsa pasar. Meskipun keuangan publik Indonesia kuat, akan tetapi beban fiskal dari begitu banyak subsidi akan berat.

“Dengan cukup uang dan perhatian politik, rantai pasok semacam itu pasti akan terbentuk. Namun, biayanya bagi Indonesia bisa jauh melampaui manfaatnya. Pejabat berargumen bahwa produsen mobil asing akan melatih tenaga kerja Indonesia, tetapi hal ini tampaknya kecil kemungkinannya dalam skala besar,” katanya.

“Jumlah investasi yang direncanakan terlihat sederhana. Dan kurangnya keahlian lokal akan membuat perusahaan cenderung mengimpor tenaga kerja terampil asing,” sambungnya.

Spesialisasi

Ketimbang ingin menguasai seluruh rantai pasokan, media itu menyarankan supaya Indonesia melakukan spesialisasi dalam bagian tertentu dari rantai pasok kendaraan listrik, seperti prekursor baterai nikel.

“Dan jika Prabowo ingin mendorong kemakmuran, ia sebaiknya fokus pada reformasi yang lebih luas, seperti menekan korupsi, memangkas birokrasi, dan memperbaiki sistem pajak yang bocor,” saran mereka.

Baca Juga:

Amanah Lahirkan 17 Mekanik Bersertifikasi Konversi Kendaraan Listrik

Luhut: Pemerintah Bakal Bangun Pusat Riset Baterai Kendaraan Listrik di Morowali

Jokowi Resmikan Pabrik Baterai Kendaraan Listrik Terbesar di Asia Tenggara

Share: Media Asing Kritisi Subsidi Pembelian Kendaraan Listrik Indonesia, Disebut Mending Buat Tingkatkan Layanan Kesehatan