Internasional

Pemerintah Palestina ‘Ngemis’ Pendanaan Keamanan dari AS untuk Berangus Kelompok Perlawanan

Yopi Makdori — Asumsi.co

featured image
Flickr/World Economic Forum/Presiden Otoritas Palestina (PA), Mahmoud Abbas

Otoritas Palestina (PA) di bawah kepemimpinan Presiden Mahmoud Abbas meminta Amerika Serikat (AS) untuk menyetujui rencana pemberian bantuan senilai $680 juta (Rp10,9 triliun) selama empat tahun. Bantuan itu bakal digunakan PA untuk meningkatkan pelatihan pasukan khusus mereka serta memperkuat pasokan amunisi dan kendaraan lapis baja.

Sumber AS dan sumber dekat PA yang diungkapkan kepada Middle East Eye (MEE) menyatakan bahwa permintaan tersebut diajukan pada pertengahan Desember 2024 dalam sebuah pertemuan dengan pejabat keamanan AS di Kantor Kementerian Dalam Negeri PA, Ramallah, Tepi Barat yang diduduki.

Dalam pertemuan tersebut, pejabat keamanan PA menyatakan frustrasi atas apa yang mereka anggap sebagai kegagalan AS memenuhi komitmennya kepada otoritas tersebut dengan tidak memperbarui pasokan senjata dan pelatihan pasukan khusus.

“Pejabat Otoritas meminta dalam pertemuan tersebut agar kebutuhan mereka akan kendaraan lapis baja dan amunisi segera dipenuhi mengingat kesulitan dalam bentrokan serta ketidakmampuan mereka menyelesaikan situasi di kamp Jenin,” kata salah satu sumber kepada MEE.

Mereka juga mengeluhkan bahwa AS belum menyetujui pendanaan untuk renovasi penjara di Bethlehem dan Nablus, Tepi Barat yang diduduki.

Pertemuan tersebut berlangsung saat PA meluncurkan tindakan keras terhadap pejuang Palestina yang tergabung dalam Hamas dan Jihad Islam Palestina di Jenin. Pertempuran di kota utara Tepi Barat, yang telah lama menjadi basis perlawanan Palestina, telah menewaskan sedikitnya delapan orang menurut laporan media lokal.

Patuhi Arahan AS untuk Tekan Kelompok Perlawanan

Seorang mantan pejabat intelijen AS mengatakan kepada MEE bahwa permintaan PA untuk pendanaan tambahan dan senjata masuk akal karena AS telah menekan PA selama berbulan-bulan untuk meningkatkan operasi keamanan di Tepi Barat yang diduduki.

Sejak musim panas, AS telah mencoba meningkatkan koordinasi dengan PA. Sebuah panel think tank yang diisi oleh mantan pejabat AS bahkan mempresentasikan rencana untuk membawa kerja sama dengan pasukan keamanan PA di bawah pengawasan Centcom, salah satu dari sebelas komando tempur terpadu Departemen Pertahanan AS.

Menurut laporan media Israel, Koordinator Keamanan AS (USSC) untuk Israel dan Otoritas Palestina, Jenderal Michael Fenzel, bertemu dengan pejabat PA dan meninjau perencanaan mereka untuk serangan di Jenin.

AS mulai memberikan bantuan keamanan kepada Otoritas Palestina (PA) sejak tahun 1990-an. Setelah Intifada Kedua, AS mendirikan United States Security Coordinator (USSC) untuk melatih pasukan keamanan PA. Meski kantor USSC di Yerusalem terkait dengan Departemen Luar Negeri AS, badan intelijen dan Departemen Pertahanan AS memiliki kontak paling rutin dengan pasukan PA.

“Hubungan ini bukanlah hubungan yang bahagia. Hubungan ini dangkal, intinya hanya sebatas hubungan keamanan,” kata William Usher, mantan pejabat CIA yang pernah bertugas di Israel, kepada Middle East Eye sebelumnya.

Permintaan PA untuk mendapatkan senjata dari AS menjadi rumit karena Israel memiliki hak veto terhadap bantuan keamanan kepada otoritas tersebut. Menurut Axios, AS meminta Israel untuk menyetujui paket bantuan ini pada bulan Desember.

Pemerintahan AS saat dipimpin Donald Trump sebelumnya menurunkan tingkat hubungan dengan PA, dan mantan pejabat keamanan AS meragukan bahwa Presiden AS akan menekan Israel untuk menyetujui bantuan ini saat ia kembali menjabat pada akhir Januari.

Perpecahan Fatah-Hamas

PA lahir dari pembicaraan damai Oslo pada awal 1990-an. Kepemimpinannya berasal dari Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), yang sebelumnya melakukan perjuangan bersenjata melawan Israel selama beberapa dekade. Sebagai imbalan atas pemerintahan sendiri terbatas di Tepi Barat yang diduduki dan Gaza, PLO mengakui hak Israel untuk eksis dan meninggalkan perlawanan bersenjata.

PA didominasi oleh partai sekuler Palestina, Fatah. Pada 2007, pertempuran pecah antara Fatah dan Hamas, kelompok Islamis, setelah Hamas memenangkan pemilu legislatif Palestina setahun sebelumnya. Pada akhirnya, Hamas menguasai Gaza, sementara Fatah tetap menguasai Tepi Barat yang diduduki. Upaya rekonsiliasi keduanya hingga kini belum berhasil.

PA Dianggap Korup

PA dipandang oleh banyak warga Palestina di Tepi Barat yang diduduki sebagai lembaga yang tidak efektif, korup, dan berkolaborasi dengan Israel.

Setelah PA meninggalkan perlawanan bersenjata terhadap Israel, ia gagal memberikan solusi politik dan mendirikan negara Palestina yang merdeka, sementara pembangunan permukiman ilegal di Tepi Barat yang diduduki dan Yerusalem Timur yang diduduki terus meningkat.

Ketika Perjanjian Oslo ditandatangani, sekitar 250.000 pemukim tinggal di Tepi Barat yang diduduki. Jumlah tersebut kini hampir mencapai 700.000, termasuk di Yerusalem Timur yang diduduki, yang banyak pihak harapkan menjadi ibu kota negara Palestina di masa depan.

Israel secara rutin melakukan penggerebekan sepihak di Tepi Barat yang diduduki, termasuk di Area A yang seharusnya berada di bawah kendali penuh PA. Israel juga telah membangun sistem penghalang yang luas serta jaringan pos pemeriksaan yang harus dilewati oleh warga Palestina dalam kehidupan sehari-hari, menghancurkan kebebasan bergerak di wilayah yang secara nominal berada di bawah kendali PA.

Baca Juga:

Panji Gumilang Gugat Anwar Abbas dan MUI ke Pengadilan

Prabowo Serukan Persatuan Negara Muslim: Bagaimana Kita Mendukung Palestina Jika kita Selalu Berselisih?

Warga Palestina Gugat Pemerintah AS karena Terus Bantu Militer Israel

Share: Pemerintah Palestina ‘Ngemis’ Pendanaan Keamanan dari AS untuk Berangus Kelompok Perlawanan