Pemimpin de facto Suriah, Ahmed al Sharaa menyebut negaranya perlu waktu selama empat tahun untuk menggelar pemilihan umum guna memilih kepala negara dan pemerintahan di negara yang lebih dari satu dekade dilanda perang itu.
Hal itu disampaikan Sharaa saat diwawancara secara eksklusif oleh stasiun televisi Al Arabiya, stasiun TV yang dimiliki Kerajaan Arab Saudi, pada Minggu (29/12/2024).
“Pemilihan dapat memakan waktu hingga empat tahun, karena memerlukan sensus populasi yang komprehensif,” kata Sharaa dalam wawancara tersebut, sebagaimana dikutip melalui TRT World, Selasa (31/12/2024).
Dalam wawancara itu, Sharaa juga menyinggung mengenai pembubaran faksi bersenjata di negaranya, termasuk faksi yang dipimpinnya, Hayat Tahrir al Sham (HTS). Pembubaran sediannya dilakukan dalam acara “konferensi dialog nasional” yang akan datang, yang juga bertujuan untuk memfasilitasi pembentukan pemerintahan transisi.
“Konferensi tersebut akan melibatkan partisipasi luas dari masyarakat Suriah, dengan pemungutan suara yang membahas isu-isu kunci seperti pembubaran parlemen dan konstitusi,” menurut pemimpin Suriah tersebut.
Sharaa menggambarkan tahap saat ini bagi Suriah sebagai awal dari pemerintahan sementara yang lebih panjang. Ia membela keseragaman penunjukan dalam pemerintahan transisi meskipun ada kritik, dengan mengatakan pendekatan tersebut penting untuk menjaga koherensi selama periode kritis ini.
“Penunjukan saat ini sangat penting untuk periode ini dan tidak dimaksudkan untuk mengecualikan siapa pun,” ujarnya.
Sharaa menolak gagasan untuk mendistribusikan kekuasaan politik di antara berbagai kelompok atau faksi pada tahap saat ini. Dia berargumen bahwa hal itu dapat mengganggu proses transisi.
Pemimpin Suriah itu juga menekankan perlunya menyusun ulang konstitusi Suriah, yang menurutnya dapat memakan waktu dua atau tiga tahun.
Selama kunjungan bulan ini, utusan khusus PBB Geir Pedersen menyatakan harapannya bahwa Suriah akan mengadopsi konstitusi baru dan akhirnya mengadakan pemilihan yang bebas dan adil setelah fase transisi.
Diplomat dari Amerika Serikat, Türkiye, Uni Eropa, dan negara-negara Arab juga sebelumnya telah menyerukan pembentukan pemerintahan yang inklusif, non-sektarian, dan representatif yang dibentuk melalui proses yang transparan.
Perang saudara yang berlangsung selama 13 tahun telah menghancurkan banyak infrastruktur di Suriah. Sehingga mengakibatkan akses masyarakat terbatas ke layanan penting seperti kesehatan, listrik, pendidikan, transportasi umum, air, dan sanitasi.
Kepemimpinan transisi di bawah Shara telah berjanji untuk melakukan perbaikan, seperti mengintegrasikan kemitraan internasional untuk mendukung rekonstruksi. Sharaa memprediksi bahwa akan diperlukan sekitar satu tahun untuk melihat perbaikan drastis dalam layanan publik di seluruh negara.
Türkiye telah menunjukkan rencananya untuk mengambil peran penting dalam memenuhi kebutuhan energi Suriah, berdasarkan penyediaan listrik yang saat ini dilakukan ke beberapa wilayah di negara yang bertahun-tahun dilanda perang tersebut.
Sebuah delegasi Turki baru-baru ini melakukan perjalanan ke Damaskus untuk menilai infrastruktur energi Suriah. Pejabat itu menyatakan kesediaan untuk memperluas pasokan listrik ke Suriah dan Lebanon.
Sharaa menjadi figur utama dalam Revolusi Suriah yang berhasil menggulingkan kepimpinan lebih dari dua dekade Presiden Bashar al Assad. Sharaa merupakan pimpinan HTS yang mengorkestrasi faksi-faksi bersenjata lain untuk melancarkan perlawanan terhadap rezim Assad.
Pada Minggu (8/12/2024) pagi, HTS bersama sejumlah faksi lain berhasil merebut Damaskus sampai membuat Assad melarikan diri ke Rusia untuk mencari suaka politik kepada Presiden Rusia, Vladimir Putin.
Baca Juga:
Hay’at Tahrir al-Sham (HTS) Bungkam Soal Bombardir Israel terhadap Suriah
Google Kritik Rancangan Perpres Publisher Rights, Dinilai Ancam Masa Depan Media Indonesia
Apa Itu Revenge Porn dan Bagaimana Menghadapinya? – Asumsi Insights