Pemerintah Iran tidak mau ambil pusing untuk memikirkan konsekuensi kemenangan mantan Presiden Donald Trump atas rivalnya, Wakil Presiden Kamala Harris dalam Pilpres Amerika Serikat (AS) 2024, bagi negaranya.
Juru Bicara Pemerintah Iran, Fatemeh Mohajerani menyatakan, pihaknya tidak melihat adanya perbedaan antara Trump dengan Harris. Sebab Mohajerani meyakini keduanya sama-sama konsisten untuk memberikan sanksi terhadap negaranya.
“Pemilihan presiden AS tidak ada hubungannya dengan kami. Kebijakan umum AS dan Iran bersifat konstan,” kata Mohajerani kepada para jurnalis di Iran, Rabu (6/11/2024), dikutip melalui Mehr News Agency.
“Tidak masalah siapa yang menjadi presiden di Amerika Serikat karena semua perencanaan yang diperlukan telah dibuat sebelumnya,” kata Mohajerani, menjelaskan bahwa Iran siap menghadapi sanksi baru apa pun.
Mohajerani mengklaim bahwa sanksi AS yang diterapkan selama lebih dari lima dekade ini membuat Iran menjadi negara yang lebih tangguh. Sebab itu, pihaknya mengaku tidak merasa khawatir atas kemenangan Trump, pemimpin AS yang mencabut negaranya dari kesepakatan Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA).
“Pada dasarnya, kami tidak melihat adanya perbedaan antara kedua orang ini [Trump dan Harris]. Sanksi telah memperkuat kekuatan internal Iran dan kami memiliki kekuatan untuk menghadapi sanksi baru,” ujarnya.
Iran telah bertahun-tahun menghadapi sanksi beragam bentuk, mulai dari ekonomi hingga diplomasi, dari AS atas program nuklir mereka. Negara itu mengklaim bahwa program nuklir mereka untuk tujuan damai, tetapi banyak negara, termasuk AS, khawatir bahwa program tersebut dapat digunakan untuk memproduksi senjata nuklir.
Pada tahun 2015, Iran dan enam negara besar (AS, Inggris, Prancis, Jerman, Rusia, dan China) mencapai kesepakatan yang dikenal sebagai Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA), yang membatasi program nuklir Iran dengan imbalan pengurangan sanksi.
Sebelum kesepakatan JCPOA, AS memberlakukan sanksi yang sangat ketat terhadap Iran, termasuk larangan perdagangan, pembekuan aset, dan pembatasan pada sektor energi dan keuangan. Sanksi ini bertujuan untuk memaksa Iran menghentikan program nuklirnya.
Setelah JCPOA ditandatangani, beberapa sanksi dicabut, memungkinkan Iran untuk kembali berpartisipasi dalam perdagangan internasional dan mengakses pasar global.
Namun pada 2018, Presiden Donald Trump mengumumkan penarikan AS dari JCPOA dan mengembalikan sanksi yang telah dicabut. Penarikan ini diikuti oleh penerapan kembali sanksi yang lebih ketat, termasuk sanksi sekunder yang menargetkan negara atau perusahaan yang melakukan bisnis dengan Iran.
Sanksi yang diterapkan mencakup larangan ekspor minyak Iran, pembekuan aset pemerintah Iran di luar negeri, dan pembatasan pada sektor perbankan dan keuangan. Sanksi ini bertujuan untuk mengurangi pendapatan Iran dan membatasi kemampuannya untuk mendanai program nuklir dan aktivitas regional lainnya.
Baca Juga:
Pramono-Rano Kebanjiran Dukungan Ulama, Janji Rampungkan Pergub Pesantren dalam Sebulan
Serangan Israel ke Iran Tewaskan 4 Tentara
Bocoran Dokumen Rahasia AS: Israel Tengah Siapkan Serangan ke Iran