Lembaga survei Poltracking Indonesia menyatakan mundur dari keanggotaan Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi), Selasa (5/11/2024). Langkah ini diambil setelah lembaga survei itu mendapat sanksi oleh Dewan Etik Persepi buntut perbedaan hasil survei elektabilitas tiga kontestan Pilgub Jakarta 2024, dengan Lembaga Survei Indonesia (LSI).
Direktur Poltracking Indonesia Masduri Amrawi menegaskan, lembaganya keluar dari Persepi bukan karena melanggar etik, namun karena pihaknya merasa bahwa sejak awal terdapat anggota Dewan Etik Persepi yang tendensius terhadap Poltracking Indonesia.
Masduri memastikan bahwa hengkangnya Poltracking Indonesia dari Persepi lantaran pertaruhan integritas. Hal itu, kata dia sama seperti 10 tahun lalu, ketika Poltracking Indonesia pada 2024 diajak bergabung ke Persepi.
“Pada 2024 Poltracking keluar dari Persepi juga karena pertaruhan integritas,” ujar Masduri dalam keterangannya, Selasa (5/11/2024).
Masduri mengklaim bahwa selama ini lembaganya kerap memberikan hasil survei yang mendekati akurat. Sehingga menurutnya, hal yang naif jika Poltracking Indonesia mempertaruhkan integritas mereka hanya karena Pilkada Jakarta.
“Betapa naifnya, kalau Poltracking harus mempertaruhkan rekam jejak dan reputasinya selama 12 tahun hanya gara-gara satu survei Pilkada Jakarta,” ujarnya.
Sebelumnya, Dewan etik Persepi menjatuhkan sanksi terhadap Poltracking Indonesia terkait hasil survei elektabilitas para kontestan Pilgub Jakarta 2024 periode Oktober 2024. Hasil survei Poltracking Indonesia menjadi soal lantaran bertolak belakang dengan hasil LSI yang sama-sama anggota Persepi.
“Dewan Etik memberikan sanksi kepada Poltracking Indonesia untuk ke depan tidak diperbolehkan mempublikasikan hasil survei tanpa terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dan pemeriksaan data oleh Dewan Etik. Kecuali bila Poltracking Indonesia tidak lagi menjadi anggota Persepi,” demikian bunyi keputusan Dewan Etik Persepi.
Sebelum memberikan sanksi tersebut, Dewan Etik Persepi telah meminta Poltracking untuk membeber 2.000 data responden yang dirilis dalam survei publiknya. Namun, lembaga itu sempat tidak dapat menunjukkan data tersebut dengan alasan sudah terhapus. Sebelum kemudian data itu berhasil dipulihkan.
Namun, setelah Dewan Etik membandingkan data-data responden milik Poltracking Indonesia, ditemukan ketidaksesuaian. Walhasil Dewan Etik Persepi tidak bisa memverifikasi keakuratan implementasi metodologi survei lembaga tersebut.
Hal sebaliknya tidak ditemukan pada LSI, sehingga membuat Dewan Etik menganggap LSI telah melakukan survei sesuai dengan prosedur operasi standar (SOP) survei opini publik.
Diketahui dalam survei LSI, tingkat keterpilihan alias elektabilitas Pasangan Calon (Paslon) 03, Pramono Anung-Rano Karno mengungguli dua pasangan calon lainnya. Temuan LSI merekam elektabilitas Pramono-Rano berada di angka 41,6 persen meninggalkan Paslon 01, Ridwan Kamil-Suswono (Rido) dan Paslon 02, Dharman Pongrekun-Kun Wardana.
Dalam survei LSI Ridwan-Suswono hanya meraup elektabilitas sebesar 37,4 persen. Sementara elektabilitas Dharman-Kun lebih kecil lagi, yakni di bawah 10 persen.
Hasil kebalikan justru ditemui pada hasil survei Poltracking Indonesia yang mengunggulkan Ridwan-Suswono dengan perolehan elektabilitas sebesar 51,6 persen. Sementara Pramomo-Rano hanya sebesar 36,4 persen; dan Dharma-Kun sebesar 3,9 persen.
Baca Juga:
Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2022 Turun Drastis
‘Kekhawatiran’ Jokowi dan Potensi Hasil Survei yang Bisa Saja Meleset
Kredibilitas Lembaga Survei: Pentingnya Data Mentah dan Efek ke Persepsi Publik