Koalisi Masyarakat Sipil menganggap negara telah abai dalam mengungkap kasus Tragedi Kanjuruhan secara gamblang. Tragedi Kanjuruhan merujuk pada insiden berdarah yang terjadi pada 1 Oktober 2022.
Insiden itu terjadi setelah pertandingan Arema FC vs Persebaya, di mana penembakan gas air mata oleh aparat memicu kepanikan suporter yang berdesakan keluar stadion. Insiden ini menyebabkan 135 orang tewas, menjadikannya salah satu bencana sepak bola terburuk di dunia.
“Dua tahun pascatragedi mengerikan ini terjadi, negara masih juga belum dapat mengungkap dan mengusut tuntas peristiwa ini. Ketidakseriusan dan keengganan untuk mengusut tuntas membuat negara gagal untuk memberikan rasa keadilan bagi para korban,” tulis Koalisi Masyarakat Sipil melalui keterangannya, seperti dikutip pada Rabu (2/10/2024).
Koalisi menilai hal tersebut berdasarkan sejumlah indikator, pertama respons polisi terhadap salah satu laporan korban tragedi tersebut. Koalisi bercerita bahwa polisi menolak laporan model B milik Devi Athok Yulfitri dan Rizal Pratama Putra. Kepolisian berdalih bahwa setelah melalui proses gelar perkara, tidak memenuhi pasal yang dilaporkan oleh para pelapor yakni berkaitan dengan tindak pidana pembunuhan dan pembunuhan berencana.
Di samping itu, pengabaian ini terbaca dari keengganan negara dalam mengusut tuntas peristiwa ini juga terlihat dari respons lembaga negara lainnya seperti Komnas HAM. Koalisi mencatat bahwa setidaknya sebanyak tiga kali keluarga korban mendatangi Komnas HAM guna mendorong adanya penyelidikan pro justisia dan penetapan tragedi Kanjuruhan sebagai kasus Pelanggaran HAM Berat.
“Tidak hanya itu, hasil kajian serta legal opinion pun telah diberikan guna membantu Komnas HAM dalam menganalisis peristiwa ini,” katanya.
Namun sayangnya, Komnas HAM berpendapat bahwa peristiwa Kanjuruhan tidak dapat dikatakan sebagai peristiwa pelanggaran HAM berat. Hal ini tentu menimbulkan kritik dari masyarakat dan keluarga korban, yang berharap adanya pengakuan resmi terhadap pelanggaran hak asasi manusia dalam insiden tersebut.
Koalisi yang terdiri dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), LBH Pos Malang, LBH Surabaya, serta Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) itu juga menuding negara telah berupaya menghilangkan barang bukti insiden berdarah tersebut dengan merenovasi Stadion Kanjuruhan.
Dengan berbagai pengabaian di atas, Koalisi mendesak Presiden Joko Widodo atau Jokowi untuk dapat memenuhi janjinya mengusut tuntas tragedi Kanjuruhan. Mereka menilai bahwa kelima pelaku yang diadili hanya pelaku lapangan, sehingga perlu adanya pengungkapan dan pertanggungjawaban oleh para aktor tingkat atas. Serta dibukanya ruang-ruang dialog terhadap keluarga korban atas kebijakan yang nanti akan diambil berkaitan dengan peristiwa Kanjuruhan.
Koalisi juga mendesak Polri untuk kembali melakukan penyelidikan dan penyidikan lanjutan keterlibatan aktor lain secara transparan dan akuntabel. Dan memberikan hukuman yang setimpal bagi mereka yang terbukti terlibat dalam tragedi ini.
“Serta melakukan evaluasi dan reformasi di tubuh Kepolisian agar mampu memiliki anggota Kepolisian yang ideal dan memiliki akan konsep pemajuan Hak Asasi Manusia,” katanya.
Mereka juga mendesak Komnas HAM untuk dapat melakukan pengkajian dan penyelidikan Pro-Yustisia dugaan pelanggaran HAM Berat HAM sesuai dengan ketentuan yang termuat dalam UU 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Serta mendesak Komisi Kepolisian Nasional untuk melakukan pengawasan secara ketat dalam setiap tugas-tugas yang dijalankan oleh Kepolisian.
Koalisi itu juga mendesak Menpora, PSSI, dan PT.LIB untuk dapat segera memperbaiki pengelolaan sepakbola di Indonesia dan memastikan peristiwa seperti ini tidak terulang di masa yang akan datang.
Baca Juga:
Dua Tahun Tragedi Kanjuruhan, Pak Midun Kembali Gowes ke Jakarta Tuntut Keadilan
MA Batalkan Vonis Bebas Dua Polisi Terdakwa Kasus Kanjuruhan