Internasional

Para Pemimpin Israel Mengaku Jika Mereka Orang Palestina, Mereka Bakal Berjuang Demi Kemerdekaan

Yopi Makdori — Asumsi.co

featured image
Dampak Serangan Israel terhadap Gaza 2014/IG @wissamgaza

Sejumlah pemimpin Israel mengakui bahwa mereka akan berjuang demi kemerdekaan jika mereka orang Palestina. Baru-baru ini, mantan Kepala Organisasi Intelijen Israel Shabak, Ami Ayalon mengaku kepada surat kabar negara itu, Maariv, dirinya bakal berjuang mati-matian untuk kemerdekaan jika ia warga Palestina.

“Sejauh menyangkut Palestina, mereka telah kehilangan tanah mereka, itulah sebabnya ketika orang bertanya kepada saya, apa yang akan Anda lakukan jika Anda orang Palestina? Saya katakan bahwa jika seseorang datang dan mencuri tanah saya, tanah Israel, saya akan melawannya tanpa batas,” ujar Ayalon, seperti dikutip melalui Middle East Eye, pada Selasa (17/9/2024).

Ayalon menegaskan bahwa orang -orang Palestina melihat diri mereka sebagai suatu bangsa, sementara Israel melihat mereka sebagai individu-individu yang menganggap sebagian dari mereka baik, sementara yang lain jahat.

Di tengah gencarnya kecaman Israel dan pro-Israel terhadap Palestina sebagai kaum barbar , antisemit , pengacau, teroris, orang biadab , dan binatang buas, dan julukan-julukan rasis lainnya yang banyak dilontarkan para pemimpin Israel demi keuntungan propaganda, banyak pemimpin Israel yang paling menonjol, seperti Ayalon, selalu mengidentifikasi diri dengan perjuangan Palestina dan mengakui secara terbuka bahwa jika mereka orang Palestina dan bukan penjajah Yahudi, mereka akan dengan senang hati bergabung dalam perjuangan melawan Zionis dan Israel.

Pernyataan Ayalon baru-baru ini bukanlah hal baru. Dalam sebuah wawancara bulan Maret dengan jaringan televisi Amerika ABC, ia menyatakan bahwa jika dirinya seorang Palestina, ia akan melawan Israel dan akan melakukan apa saja untuk mencapai kemerdekaan.

Ayalon bukanlah pemimpin Israel pertama yang memahami dengan baik perjuangan Palestina untuk mengakhiri kolonialisme pemukim Zionis dan apartheid Israel. Bahkan, ia adalah bagian dari daftar panjang pemimpin Zionis dan Israel yang tanpa ragu-ragu menyatakan pemahaman mereka atau bahkan identifikasi mereka dengan perjuangan Palestina.

Bahkan Menteri Pertahanan Israel yang terkenal, Moshe Dayan memahami perjuangan warga Palestina di Gaza dan perlawanan mereka terhadap kolonialisme Israel. Pada April 1956, pejuang perlawanan Palestina membunuh seorang petugas keamanan di Nahal Oz, sebuah koloni yang didirikan satu mil dari perbatasan Gaza pada tahun 1953.

Petugas itu telah memukuli beberapa warga Palestina beberapa hari sebelumnya ketika ia memergoki sejumlah warga Gaza berusaha kembali ke tanah mereka, setelah Israel mengusir mereka.

Pada pemakaman petugas itu, Dayan mengingatkan para pelayat yang pada intinya ajakan untuk tidak menyalakan para pembunuh, warga Gaza.

“Janganlah kita hari ini menyalahkan para pembunuh. Siapakah kita sehingga kita akan menentang kebencian mereka? Selama delapan tahun mereka tinggal di kamp pengungsian di Gaza, dan di depan mata mereka, kita mengubah tanah dan desa tempat mereka dan nenek moyang mereka tinggal menjadi tempat tinggal kita… Kita adalah generasi pemukim, dan tanpa helm baja dan meriam, kita tidak dapat menanam pohon dan membangun rumah,” ujar Dayan kala itu.

Hal semisal juga diutarakan Vladimir Jabotinsky, pendiri Zionisme Revisionis, yang kemudian digantikan oleh Menachem Begin. Pada 1923, ia mengomentari perlawanan Palestina dengan mengakui bahwa perjuangan kemerdekaan bangsa Palestina murni dibangun di atas fondasi rasa cinta terhadap Tanah Air.

Sebab Jabotinsky menilai, penduduk asli di mana pun, termasuk orang-orang Arab, biasanya sangat mencintai tanah kelahiran mereka dan merasa sangat terhubung dengan tempat itu. Mereka tidak mudah menerima pendatang baru atau berbagi tanah mereka, apalagi mengizinkan penguasa baru datang.

Ada pandangan bahwa orang-orang Arab bisa saja menerima tawaran untuk menjual atau mengubah hak mereka atas Palestina demi keuntungan tertentu, tetapi menurut dia pandangan ini tidak akurat. Meskipun ada perbedaan budaya dan kemajuan antara Israel dengan mereka, orang-orang Arab, kata Jabotinsky sangat mencintai Palestina, sama seperti orang Aztec mencintai Meksiko atau suku Sioux mencintai tanah padang rumput mereka.

Jadi, menurut dia pandangan bahwa orang Arab bisa disuap atau dipengaruhi untuk menjual tanah mereka adalah salah dan meremehkan tekad dan cinta bangsa Arab terhadap Tanah Air mereka.

“Semua penduduk asli – semuanya sama, baik mereka beradab maupun biadab – memandang negara mereka sebagai tanah air nasional mereka, yang akan selalu menjadi tuan mereka sepenuhnya. Mereka tidak akan dengan sukarela mengizinkan, bukan hanya tuan baru, tetapi bahkan mitra baru. Begitu pula dengan orang-orang Arab,” ujar Jabotinsky.

Hal serupa juga disampaikan David Ben-Gurion, perdana menteri pertama Israel. Dia memahami sepenuhnya perjuangan Palestina, meskipun ia berkomitmen untuk menghancurkannya. Dalam sebuah pernyataannya, Ben-Gurion mengatakan jika dirinya pemimpin Arab, maka ia menolak untuk membuat kesepakatan dengan Israel.

“Jika saya seorang pemimpin Arab, saya tidak akan pernah membuat kesepakatan dengan Israel. Itu wajar, kami telah mengambil negara mereka. Tentu, Tuhan telah menjanjikannya kepada kami, tetapi apa pentingnya bagi mereka? Tuhan kami bukan milik mereka,” katanya.

“Kami berasal dari Israel, itu benar, tetapi itu terjadi dua ribu tahun yang lalu, dan apa artinya itu bagi mereka? Ada antisemitisme, Nazi, Hitler, Auschwitz, tetapi apakah itu salah mereka? Mereka hanya melihat satu hal: ‘kami telah datang dan mencuri negara mereka’. Mengapa mereka harus menerimanya?” tambahnya.

Baca Juga:

Nyanyian Rasis pada Pawai Bendera, Dominasi Sayap Kanan di Israel?

Indonesia Tolak Resolusi Pencegahan Genosida, Pengamat: Tak Berdampak Apa-apa

Konflik Palestina-Israel dan Sikap Pemerintah dari Masa ke Masa

Share: Para Pemimpin Israel Mengaku Jika Mereka Orang Palestina, Mereka Bakal Berjuang Demi Kemerdekaan