Budaya Pop

Taman Budaya sebagai Lumbung Kebudayaan di Daerah

Admin — Asumsi.co

featured image
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin di Kompleks Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta/Portal Pemprov Jakarta

Pasca-Reformasi, tanggung jawab pengelolaan Taman Budaya diserahkan kepada pemerintah daerah. Desentralisasi pengelolaan Taman Budaya sebenarnya menciptakan peluang bagi pemerintah di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi untuk mengembangkan kebudayaan di wilayahnya dalam upaya membentuk identitas kedaerahannya. Namun, desentralisasi juga menyebabkan pengelolaan Taman Budaya menjadi tergantung pada kemauan politik (political will) para kepala daerah. 

Imbasnya, Taman Budaya di beberapa daerah berakhir terbengkalai. Misalnya, Taman Budaya Osing Banyuwangi dikabarkan rusak berat pada 2001 lalu. Nahasnya, Taman Budaya dengan fasilitas bermain anak-anak, panggung pementasan, kolam renang, masjid, sampai rumah anjungan itu terbengkalai karena pembangunan dan pengelolaannya tidak melibatkan masyarakat.

Pembangunan Taman Budaya yang menghabiskan biaya Rp 1 miliar itu dianggap melanggar adat istiadat Osing. Yaitu, kamar mandi berada di dalam ruangan dan pemasangan atap tidak disesuaikan dengan bahan dasar kayu yang penanggalannya perlu dihitung terlebih dahulu disertai upacara ritual khusus.

Atau, Taman Budaya Raja Ali Haji di Senggarang, Tanjungpinang, Kepulauan Riau, yang telah beberapa kali dikabarkan terbengkalai dalam satu dekade terakhir. Di tahun 2017, berbagai media lokal melaporkan Taman Budaya dengan nama seorang pahlawan nasional yang dikenal sudah tidak terawat serta malah disalahgunakan untuk tempat mesum dan pesta miras. Nasibnya semakin terpuruk usai terjadi kebakaran pada 2018.

Selain itu, Taman Budaya juga menghadapi berbagai permasalahan yang menghambat perkembangannya dalam memajukan kebudayaan di daerah. Meski tantangan Taman Budaya cukup beragam, tetapi umumnya berurusan dengan dukungan dari pemerintah daerah. Padahal, Taman Budaya tidak hanya bermanfaat untuk masyarakat, tetapi juga para kepala daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi. 

Para kepala daerah dapat memanfaatkan Taman Budaya sebagai jembatan untuk mempererat hubungan antara masyarakat dengan pemerintahan yang dipimpinnya. Sebagai ruang publik, Taman Budaya juga berpotensi meningkatkan partisipasi publik dalam pelaksanaan pembangunan daerah. Misalnya, pelibatan masyarakat dalam revitalisasi Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) di Jalan Sriwijaya Nomor 29, Tegalsari, Kecamatan Candisari, Kota Semarang.

Wali Kota Semarang, Hevearita Gunaryanti mengakomodasi berbagai saran dari para seniman dan budayawan, terutama terkait pendingin ruangan dan kursi untuk bangunan-bangunan baru di TBRS. Revitalisasi TBRS merupakan bagian dari upaya meningkatkan Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK) Kota Semarang, yang pada 2023 masih 50,7 atau di bawah rata-rata nasional sebesar 55,13. Apalagi, capaian IPK mencerminkan kontribusi kebudayaan terhadap pembangunan daerah sekaligus menggambarkan perluasan pilihan hidup individu maupun masyarakat dan kemampuannya dalam beradaptasi dengan perubahan. 

Revitalisasi TBRS meliputi pembangunan wisma seniman, gedung teater, amphitheater, plaza pertunjukan outdoor, dan creative hub. Bahkan, demi menghidupkan kegiatan kesenian dan kebudayaan di TBRS, revitalisasi juga mencakup membenahi Taman Hiburan Rakyat Wonderia, merenovasi makam Mbah Kiai Genuk, dan menata pedagang kaki lima (PKL). Seperti TBRS, Taman Budaya Embung Giwangan (TBEG) di Jalan Tegalturi Nomor 54 Desa Giwangan, Kecamatan Umbulharjo, Yogyakarta, juga mengintegrasikan sejumlah tempat dalam satu kawasan.

TBEG terhubung dengan, mini galeri, gedung Graha Budaya, amphitheater, ruang rapat, perkantoran, sampai embung, yang dilengkapi tempat parkir cukup luas. TBEG dirancang sebagai destinasi wisata budaya sekaligus menjadi epicentrum perkembangan wilayah Yogyakarta bagian selatan. Berbagai kegiatan di TBEG seperti festival budaya, kuliner, dan industri kreatif, pada akhirnya menguatkan identitas Yogyakarta sebagai kota pariwisata berbasis budaya.

Taman Budaya menumbuhkan apresiasi masyarakat terhadap kesenian dan kebudayaan daerah. Keberadaan Taman Budaya semestinya lebih dari sekadar representasi dari upaya merawat citra Indonesia yang dikenal dunia internasional sebagai negara super power di bidang kebudayaan. Taman Budaya harus bisa menjadi pusat pertukaran ide dan pengetahuan dari para seniman dan pelaku kebudayaan di daerah.

Taman Budaya mengemban peran strategis sebagai lumbung kebudayaan di daerah. Filosofi lumbung terinspirasi tradisi masyarakat agraris di Indonesia. Lumbung biasanya digunakan para petani tradisional untuk menyimpan kelebihan hasil panen sebagai cadangan pangan ketika terjadi situasi krisis. Bangunan lumbung sengaja dibuat bertingkat agar hasil panen terhindar dari gangguan hama dan serangga.

Bahkan, terdapat beberapa lapisan pada setiap bagian lumbung yang mempunyai perannya masing-masing. Pertama, bagian teratas menyimpan hasil panen dan cadangan pangan. Kedua, bagian tengah sebagai ruang untuk kegiatan domestik. Ketiga, bagian paling bawah sebagai ruang untuk bertukar kabar dan bersantai.

Filosofi lumbung mencerminkan gotong royong, urun rembuk, urusan domestik, dan semangat kolektivitas. Jadi, lumbung kebudayaan juga bermakna tempat untuk mewadahi kerja bersama dalam memajukan kebudayaan daerah  Dalam konteks ini, sebagai lumbung kebudayaan di daerah, Taman Budaya juga harus menjadi ruang kolektif bagi masyarakat dalam berkarya secara kolaboratif.

Bahkan, filosofi lumbung memposisikan Taman Budaya bukan sekadar sebagai ruang untuk berekspresi, melainkan juga tempat memupuk kepekaan individu terhadap berbagai isu sosial yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Lebih dari itu, harapannya Taman Budaya bisa menjadi pusat pertukaran ide dan pengetahuan sebagai bagian dari ikhtiar menjawab tantangan zaman di tingkat daerah maupun nasional.

Daya Hidup Taman Budaya

Taman Budaya perlu memiliki strategi tata kelola yang mampu menghidupkan ekosistem kebudayaan di daerah. Taman Budaya perlu menyusun kalender program untuk menjadwal kegiatan selama setahun. Program tersebut bisa diselenggarakan sendiri oleh pengelola Taman Budaya atau memposisikan sebagai fasilitator untuk kegiatan inisiatif masyarakat.

Optimalisasi kalender program memungkinkan berbagai fasilitas Taman Budaya senantiasa produktif. Taman Budaya dapat mengumpulkan dana dari menjadi fasilitator untuk kegiatan inisiatif masyarakat. Dana yang terkumpul dapat digunakan untuk pemeliharaan fasilitas dan membiayai berbagai program yang diselenggarakan pengelola Taman Budaya.

Dana tersebut juga diharapkan bisa meringankan biaya operasional Taman Budaya yang biasanya ditanggung anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Umumnya, pengelola Taman Budaya kesulitan menyelenggarakan program setiap hari karena permasalahan dana untuk membiayainya, yang biasanya hampir sepenuhnya dari APBD. Padahal, pengelolaan Taman Budaya sudah sangat mahal, yang tentunya belum termasuk biaya lain lain seperti membayar petugas kebersihan.

Taman Budaya memang harus dikelola dengan profesional, dalam artian mencari keuntungan agar sebisa mungkin mandiri secara finansial atau setidaknya mengurangi ketergantungan dari dana APBD. Yang patut digarisbawahi, logika pengelolaan Taman Budaya bukan mencari keuntungan sebanyak-banyaknya dengan memperlakukannya sebagai alat penghasil pendapatan asli daerah (PAD), melainkan menjadikannya etalase dari berbagai inisiatif pemajuan kebudayaan di daerah terkait.

Taman Budaya berpeluang mandiri secara finansial kalau dapat menambah perannya bukan hanya sebagai lumbung kebudayaan di daerah, tetapi juga menjadi destinasi wisata yang bisa mendatangkan efek berganda, terutama terkait menggerakkan perekonomian masyarakat. Dalam hal ini, pemerintah daerah perlu mendukung Taman Budaya dengan menyediakan berbagai fasilitas yang dapat menjadikannya sebagai lokomotif pembangunan ekonomi lokal, setidaknya seperti TBRS dan TBEG.  .

Maka, sudah saatnya pemerintah daerah membantu Taman Budaya mengoptimalkan potensi sumber daya dari kegiatan di dalamnya agar bisa menjalankan tugasnya sebagai lumbung kebudayaan dengan lebih baik.

Baca Juga:

Mengembalikan Peran Taman Budaya sebagai Ruang Publik

Pekan Kebudayaan Daerah untuk Peningkatan Mutu Program Kebudayaan di Daerah

Taman Safari Bali Perkenalkan Varuna, Sensasi Piknik di Bawah Air Sembari Kulineran!

Share: Taman Budaya sebagai Lumbung Kebudayaan di Daerah