Selama lima tahun terakhir, para seniman dan budayawan dari berbagai daerah di Indonesia melawan upaya alih fungsi Taman Budaya menjadi kawasan komersial. Yang paling gaduh dan berjilid-jilid adalah revitalisasi Taman Ismail Marzuki (TIM). Mulai dari rencana pembangunan hotel bintang lima di kawasan TIM, nasib planetarium dan observatorium yang terabaikan, hingga penunjukan BUMD PT Jakarta Propertindo (Jakpro) untuk menjalankan revitalisasi dan mengelola TIM.
Bahkan, para seniman dan budayawan menggugat penunjukan Jakpro ke Mahkamah Agung pada Agustus 2022. Mereka mengkritik hasil revitalisasi TIM yang menyisakan berbagai masalah bagi ekosistem kesenian Jakarta, terutama terkait mempersempit aksesnya. Apalagi, belakangan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyatakan Jakpro terbukti bersalah dalam kasus persekongkolan tender revitalisasi TIM.
Di akhir tahun 2022, para seniman dan budayawan memprotes rencana Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumatera Barat (Sumbar) mengubah Zona C di kawasan Taman Budaya menjadi hotel. Zona C awalnya dirancang sebagai ruang terbuka untuk mendukung Zona A dan Zona B yang diperuntukkan sebagai gedung pertunjukan seni, galeri, sampai ruang dokumentasi dan pengarsipan secara digital maupun konvensional. Namun, Zona A saat ini masih dimanfaatkan sebagai ruang perkantoran Dinas Kebudayaan dan UPT Taman Budaya Sumbar.
Sedangkan pembangunan Zona B dan Zona C berakhir mangkrak serta dikabarkan tersangkut kasus hukum, sehingga kekhawatiran para seniman dan budayawan kehilangan ruang untuk berkegiatan pun terjadi. Jejak daring perjuangan para seniman dan budayawan Sumbar terekam dalam petisi di change.org berjudul Stop, Pembangunan Hotel di Kawasan Taman Budaya Sumatera Barat. Terkini, para seniman dan budayawan Sumatera Utara (Sumut) juga bernasib sama dan jejak daringnya dapat ditelusuri melalui petisi di change.org bertajuk Kembalikan Fungsi Taman Budaya Medan sebagai Ruang Publik Kesenian!.
Berdasarkan keterangan laman petisi tersebut, terjadi berbagai pembatasan dalam kegiatan kesenian dan kebudayaan usai pergantian pengelola yang mengiringi perubahan nama dari UPT Taman Budaya Sumut menjadi Taman Budaya Medan. Setelah Taman Budaya itu dipasang portal atau palang, para seniman dan budayawan mengeluhkan aturan-aturan terbaru yang menyertainya seperti ketentuan syarat administrasi, pembatasan waktu pemakaian ruang latihan, hingga harus membayar untuk bisa mengaksesnya.
Taman Budaya Bukan Alat Penghasil PAD
Mulanya, konsep Taman Budaya mengadopsi peran lembaga-lembaga di Eropa yang mendorong pariwisata sekaligus melestarikan seni dan kebudayaan. Direktur Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan periode 1968-1978, Ida Bagus Mantra membangun Pusat Kebudayaan sebagai model percontohan pertama. Sementara itu, model percontohan kedua adalah TIM, yang pada awal tahun 1970-an menjadi tuan rumah bagi mayoritas pertunjukan di Indonesia.
Menurut buku Belajar Advokasi Kebijakan Seni yang diterbitkan Koalisi Seni, terdapat sebelas provinsi yang telah mempunyai Taman Budaya pada 1978, menyusul keberhasilan Pusat Kebudayaan dan TIM. Yaitu, Provinsi Aceh, Sumut, Sumbar, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, dan Bali. Di tahun 1980-an, jumlahnya bertambah usai berdiri Taman Budaya Bengkulu, Taman Budaya Kalimantan Selatan, dan Taman Budaya Lampung.
Bahkan, jumlah Taman Budaya kembali bertambah pada 1990-an. Yaitu, dengan berdirinya Taman Budaya Jawa Barat, Taman Budaya Riau, Taman Budaya Nusa Tenggara Barat, Taman Budaya Sulawesi Tengah, Taman Budaya Maluku, Taman Budaya Papua Barat, Taman Budaya Jambi, dan Taman Budaya Kalimantan Barat.
Merebaknya Taman Budaya erat kaitannya dengan dukungan pemerintah Orde Baru yang memasukkannya ke dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) III periode 1979-1984. Kini, pemerintah pusat masih tetap mengemban tugas untuk menyediakan Taman Budaya sebagai bagian dari sarana dan prasarana kebudayaan yang diatur dalam Pasal 43 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Selain itu, pemerintah daerah juga wajib menyediakan Taman Budaya bagi masyarakat, sebagaimana diatur dalam Pasal 44 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Maka, semestinya pemerintah daerah (Pemda) menyediakan Taman Budaya yang memadai dan mudah diakses masyarakat, bukan malah memperlakukannya sebagai bukan alat penghasil pendapat asli daerah (PAD).
Mengubah ataupun menambah fungsi Taman Budaya dengan motif untuk menghasilkan PAD berarti menghapus esensinya sebagai ruang publik sekaligus berpotensi menyingkirkan semangat kreativitas dalam berkesenian dan berkebudayaan. Pengalihfungsian Taman Budaya menjadi kawasan komersial demi menghasilkan PAD juga bertentangan dengan ruang publik yang inklusif.
Sebagai ruang publik, Taman Budaya seyogianya mengutamakan aksesibilitas dan partisipasi dari masyarakat dengan keberagaman kebudayaannya. Taman Budaya selayaknya menjadi ruang interaksi sosial sekaligus panggung kegiatan kebudayaan, sehingga dapat menciptakan kebersamaan antara pelaku budaya (seniman dan budayawan) dengan penonton sebagai sesama warga dari daerah tersebut.
Bagi para seniman dan budayawan, Taman Budaya bukan sekadar ruang publik, melainkan juga tempat untuk mengekspresikan dan mengapresiasi karya-karyanya. Jadi, Taman Budaya harus menjadi tempat untuk pertukaran pengetahuan dan kolaborasi sekaligus ruang aman untuk segala bentuk ekspresi. Taman Budaya dapat menjadi epicentrum kebudayaan yang mempengaruhi karakter suatu daerah.
Taman Budaya tidak hanya memiliki fungsi secara fisik saja, tetapi keberadaan juga memberikan makna tersendiri bagi masyarakat. Khususnya, makna yang membentuk jati diri suatu daerah dan kehidupan sosial budaya masyarakat di dalamnya. Jadi, sebagai salah satu ikon suatu daerah, sudah seharusnya Taman Budaya tidak mempertontonkan karakter eksklusivitas dengan memberlakukan tarif yang terlampau mahal untuk berbagai fasilitas yang disediakan di dalamnya.
Jangan sampai ada masyarakat yang kesulitan dalam mengakses Taman Budaya untuk kegiatan seni dan kebudayaan karena tidak mampu membayar biaya sewa. Sebagai ruang publik, memang idealnya Taman Budaya dapat diakses masyarakat secara gratis. Di sisi lain, tak bisa dipungkiri, Taman Budaya membutuhkan banyak biaya untuk menyelenggarakan layanan secara prima, sehingga terpaksa harus memberlakukan tarif untuk biaya sewa beberapa fasilitasnya.
Namun, sebaiknya Taman Budaya menetapkan tarif yang terjangkau atau sesuai kemampuan masyarakat dan sebanding dengan layanan yang diberikan. Setidaknya, Taman Budaya berupaya mewujudkan akses yang berkeadilan. Yaitu, dengan memberlakukan tarif kepada para seniman dan budayawan yang mampu membayar sesuai tarif. Sedangkan para seniman dan budayawan yang masih membutuhkan dukungan bisa mengajukan keringanan tarif atau bahkan digratiskan.
Yang terpenting logika pengelolaan Taman Budaya bukan untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya, melainkan menjadikannya etalase dari berbagai inisiatif pemajuan kebudayaan di daerah terkait. Terlebih, kegiatan yang terjadi di Taman Budaya berpotensi menjadi praktik baik yang dapat menginspirasi masyarakat di daerah lain.
Kolaborasi Mengelola Taman Budaya
Sebaiknya, Taman Budaya diposisikan sebagai ruang publik untuk meningkatkan partisipasi publik dalam pelaksanaan pembangunan di daerah. Taman Budaya bisa menjadi jembatan yang mempererat hubungan antara Pemda dan masyarakatnya. Syaratnya, masyarakat dan Pemda harus aktif terlibat dalam berbagai kegiatan seni dan kebudayaan yang menghidupkan Taman Budaya sebagai ruang publik.
Untuk mencegah Taman Budaya terbengkalai, manajemen pengelolaannya perlu dilakukan secara bersama-sama antara Pemda dan masyarakat. Salah satunya dengan dibentuknya Dewan Kesenian. Misalnya, Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) yang didirikan pada 1968 atas inisiatif para seniman dan budayawan.
DKJ membentuk beberapa komite berdasarkan wilayah kerja kesenian dan kebudayaan secara profesional melalui seleksi uji kompetensi. DKJ bermarkas di TIM yang saat ini dilengkapi berbagai fasilitas seperti gedung seni pertunjukan, galeri pameran seni rupa, sampai perpustakaan.
Bahkan, kehadiran DKJ dan TIM menginspirasi terbentuknya kelembagaan serupa di berbagai kota di Indonesia. Namun, keberhasilan Jakarta menjadi pusat kebudayaan dan kesenian modern di Indonesia tidak bisa ditiru kota-kota lain lantaran awal perkembangan DKJ serta TIM didukung gubernur saat itu, Ali Sadikin.
Untuk bisa setidaknya mengikuti jejak Jakarta, daerah-daerah lain di Indonesia perlu mengembalikan peran Taman Budaya sebagai ruang publik. Selain itu, para kepala daerah harus berkolaborasi dengan masyarakat di wilayahnya dalam mengelola Taman Budaya sebagai ruang publik. Jadi, sudah saatnya para kepala daerah menganggap Taman Budaya sebagai fasilitas yang perlu disediakan untuk masyarakat dalam menyokong perkembangan kesenian dan kebudayaan di wilayahnya.
Baca Juga:
Pekan Kebudayaan Daerah untuk Peningkatan Mutu Program Kebudayaan di Daerah
Pekan Kebudayaan Nasional sebagai Platform Jejaring Pemangku Kepentingan Budaya
Demi Lindungi Budaya Nasional, Negara Mayoritas Muslim Tajikistan Larang Penggunaan Hijab